Home / Rumah Tangga / Dek Ajeng & Mas Abim / Satu kesalahan belum cukup bagi Ajeng

Share

Satu kesalahan belum cukup bagi Ajeng

Author: Ceeri
last update Huling Na-update: 2025-03-26 21:59:02

Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.

Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih.

Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menangani berbagai jenis tekstur dan volume rambut. Selain piawai menggunting dan mengolah gaya rambut, mereka juga kerap mendapatkan pujian dari pelanggan akibat keterampilan dalam mencuci rambut. Black Pearl memberi pelatihan pijat khusus untuk staf mereka.

Seolah merasa belum cukup, Ajeng tak pernah usai menerima servis dari beberapa staf yang bergilir. Dia menatap pantulan wajahnya dari cermin. Kantung mata merupakan bagian yang paling dia perhatikan. "Aku enggak tahu sejak kapan ini muncul, mukaku jadi jelek. Kamu lihat deh, Jes!" Dengan cemberut dia memutar wajahnya menghadap Jeslyn.

"Agak kelihatan, sih. Tapi enggak usah khawatir, nanti juga langsung berkurang setelah perawatan. Kamu bisa minta krim atau salep khusus untuk itu, mereka menyediakannya." Jeslyn menjawab apa adanya, sudah hafal seluk beluk dan tindakan treatment yang tersedia di salon tersebut.

"Kamu yakin bisa cepat hilang? Berapa lama? Bisa besok enggak?"

"Ajeng," Jeslyn mendengkus sebelum meletakkan majalah yang dia baca semula ke atas nakas di depannya. "Itu cuma kantung mata, enggak berpengaruh banget ke penampilan kamu. Kamu bisa samarkan dengan concealer juga bedak. Ya mustahil dalam sehari langsung hilang, tapi enggak pernah juga bertahan lama. Kalau kamu kelelahan atau kurang tidur, kantung mata memang bakal muncul."

Menarik pernapasannya dalam-dalam, Ajeng masih betah cemberut. "Aku selalu begadang dalam beberapa hari ini. Pantesan mataku menghitam, jelek banget, ih." Ajeng mencebik, merasa sungguh risi atas fenomena alami yang terjadi pada wajahnya.

"Kamu sibuk apa sampe begadang begitu?! Biasanya juga tinggal tidur dan makan doang. Istri konglomerat yang dipenuhi kegabutan."

"Jaga mulutmu, Jes! Bisa-bisanya mengata-ngatai sendiri." Ajeng melirik sinis.

"Iya, iya, maaf." Jeslyn spontan mendengkus jemu, malas juga memperpanjang percakapan tidak penting demikian. "Aku heran, kenapa dua makhluk nyebelin itu belum juga datang?" Namun, Jeslyn tidak akan berhenti memerankan sosok penggerutu.

"Mungkin masih sibuk."

"Enggak deh kayaknya. Aku udah memastikan sebelum mengajak mereka ketemu di sini—aku telepon Lisa dulu." Persis Jeslyn yang dikenal, dia berdecak jangka seseorang menyambut salamnya di seberang sana.

-----

"Pak, ini berkas semalam. Anda belum mengeceknya? Saya lihat belum ditandatangani." Dimas buru-buru datang setelah Abimana memanggilnya.

"Dim, persiapanmu gimana? Minggu nanti kita berangkat ke Kalimantan." Abimana mengumumkan selagi mengamati ulang laporan hasil rapat tempo hari.

"Udah, Pak. Saya siap pergi kapanpun diminta," kata Dimas. Jiwanya masih sungguh bersemangat.

"Spirit anak muda memang beda, ya?!"

"Saya seneng banget, Pak. Lumayan, bisa sekalian keliling kalau pekerjaan udah selesai."

"Semua tergantung kapabilitas kamu. Bekerja efektif bisa berefek mempersingkat waktu produktif, sisanya bebas-bebas aja jika mau digunakan untuk rencana pribadi." Abimana menyeringai tipis seraya menutup laporan yang lulus pemeriksaan dan menggesernya agak ke tepi meja.

"Saya mengerti, Pak. Saya pasti akan bekerja sebaik mungkin agar Bapak enggak menyesal memberi kesempatan kepada saya." Seringai Abimana selalu menyejukkan di mata, seakan siapapun menemukan keteduhan pada tatapannya.

-----

"Aku enggak menyangka akhirnya kamu mendapatkan peran itu, Gis."

"Semua berkat Lisa, Jes. Dia yang mengurus segalanya, bahkan dia juga yang temani aku ke kantor agensi," jawab Gisca seadanya dengan mata terpejam selagi menikmati pijat relaksasi pada kaki-kakinya.

"Selamat, ya. Kamu makin dekat sama mimpi-mimpi kamu," sambung Jeslyn lagi.

"Mimpi apa?" Ajeng bergabung ke percakapan saat dia sendiri sedang mengagumi transformasi rambutnya. Wajahnya tampak berubah. Dan itu menyebabkan dia berbinar-binar puas. Dia makin cantik setelah ujung-ujung rambutnya dibuat bergelombang.

Di samping Ajeng, Jeslyn mendesah pelan sebelum berkata, "Kamu ini bagaimana sih? Memangnya untuk apa dia pergi ke kantor agensi?"

"Serius, Gis? Jadi, sekarang kamu artis dong?!" Ajeng bertanya santai. Namun, dengan nada terdengar antusias seakan dia memang tertarik.

"Sudahlah, aku malas membicarakan itu. Lebih baik kita bahas liburan besok. Kalian enggak berubah pikiran 'kan? Kalau jadi, besok pagi-pagi kita harus sudah berangkat. Daripada--"

"Aku enggak bisa kalau menginap." Ajeng menyela, menampakkan kesungguhan di bola matanya. Kali ini dia enggan menuruti dengan mudah ajakan teman-temannya lagi jika hal itu justru bisa memicu kemarahan suaminya.

"Mendingan menginapnya dibatalkan aja, sore kita pulang. Aku juga enggak bisa, minggunya ada pertemuan dengan kepala agensi." Lipatan detik sekian, Ajeng kontan mendesah lega. Satu suara berada di sisinya. Dia sangat senang mengetahui hal ini. Tidak harus membatalkan jalan-jalan, dia pun bisa berlibur dengan perasaan tenang.

"Masa enggak menginap?" Ada yang gembira, tentu ada pula yang kecewa. Lisa salah satunya. Dia telanjur membayangkan kegembiraan yang bakal dikenang dalam liburan itu. Entah apa rencana perempuan ini, "Kalian tidak asyik, padahal aku pikir kita bisa seru-seruan sampai puas."

"Aku bahkan belum tahu harus bilang apa ke suami aku. Dia enggak mungkin beri izin kalau perginya ke tempat jauh." Ajeng mengungkap sedikit kegelisahannya, agak putus asa. "Kayaknya berat buat aku untuk pergi ke vila."

"Nyebelin juga ya suami kamu. Kamu itu perlu bebas, aku cape mendengar alasanmu yang terus-terusan sama, Ajeng. Memangnya kamu bakal kenapa sih misal pergi bareng kita? Ada yang culik, begitu? Berlebihan banget." Akhirnya Jeslyn emosi. Dia cenderung bosan akibat sering mendapati sikap manja Ajeng yang sangat kelihatan bergantung kepada suaminya.

"Bukan diculik, Jes. Suaminya takut terjadi apa-apa ke si Ajeng. Kalian tahu 'kan Ajeng itu permaisurinya dia, enggak boleh ada goresan sedikit pun." Bergantian Lisa yang mencibir.

"Jujur aja ya, Jeng, aku enggak bisa berkata apa-apa lagi. Semua keputusan ada di tangan kamu. Kami juga enggak mau jadi kambing hitam nantinya," tegas Lisa selanjutnya. Dia ingin memperjelas situasi bahwa di sini mereka tak lagi bersedia untuk mengalah kepada Ajeng. Semuanya harus sesuai dengan rencana yang mereka siapkan. "Kita udah ikuti mau kamu dengan ngebatalin acara menginapnya. Terus, untuk izinpun kami harus andil juga?! Ogah gue!" Kelihatan di hari ini Lisa lebih memperlihatkan kekesalannya, berbeda dari tempo hari.

Lantas, semua penuturan itu menyebabkan Ajeng kian bimbang. "Aku pikirin dulu caranya. Ya semoga suasana hati Mas Abim lagi bagus, biar ngomongnya juga enak."

"Terserah aja. Pokoknya kami bertiga enggak mau ikut campur." Cukup menohok ucapan tersebut, Jeslyn ucapkan dengan ekspresi acuh tak acuh.

-----

Dinginnya malam mendorong sejoli ini saling mendekap dengan posesif, mereka berbagi kehangatan. Salah satu keadaan yang paling Ajeng sukai ialah setiap ada kesempatan berdua dan dia dapat leluasa menempel sesuka hati ke tubuh Abimana.

"Mas ..." Suara Ajeng mendayu rendah seperti yang kerap menyapa telinga Abimana; disambut gumam pelan dari lelaki itu. "Teman Adek mengadakan pesta di vila pribadinya, dia mengundang Adek tadi siang. Wajib datang, katanya. Kalau enggak, dia bakal marah ke Adek. Soalnya dia ini salah satu teman dekat Adek, teman nongkrong. Makanya, dia berharap banget Adek datang."

"Enggak bisa, sayang. Hari minggu Mas berangkat ke Kalimantan."

"Ehm... Tapi, Adek perginya sendiri kok. Maksudnya, ini pesta khusus buat perempuan. Mereka enggak ada yang mengajak pasangannya, Mas." Ajeng putuskan bercerita terang-terangan, daripada mengelabui yang barangkali berdampak parah di belakang kelak.

"Dek, bisa 'kan kali ini Masnya yang didengar? Mas enggak mungkin ngebiarin Adek jauh dari pengawasan, Mas. Kalau cuma ke mal, duduk-duduk di kafe atau resto, Mas bisa pertimbangkan. Ini ke vila? Semisal di sana terjadi apa-apa?! Dan kalian perempuan semua, siapa yang mampu membantu? Tolong pahami Mas, sayang. Demi kebaikan Adek, Mas dan calon anak kita. Buat kedamaian kita, bukan untuk orang lain."

"Tapi, Mas ... Adek udah bilang iya."

"Udah malam. Tidur, sayang." Jawaban mutlak oleh Abimana seiring turun satu kecupan hangat di pelipis Ajeng.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Keinginan Arjuna

    Lobi hotel itu tampak sepi dengan hawa sejuk yang menggigit, bahkan di siang hari begini. Arjuna mengenali setiap sudutnya. Termasuk arah pantulan cahaya di lantai marmer. Tempat itu telah menjadi persinggahan sementara dalam hidupnya. Sejak Alyssa memilih menepi, langkah kakinya kerap berakhir di sana. Kadang dengan maksud jelas, ada pula cuma untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Pintu kamar terbuka setelah ketukan singkat.Alyssa berdiri di ambang, wajahnya tampak lelah namun tetap bersahaja. Rambutnya diikat longgar, gaun sederhana menutupi tubuh yang kian menampakkan usia kandungan. Tatapannya menyiratkan kejenuhan yang lunak."Kamu datang cepat." Sapaannya terdengar datar saat dia memberi jalan masuk.Arjuna melangkah ke dalam, sembari menutup pintu di belakangnya. Ruangan sunyi menyambut kehadiran dia, beriringan dengung AC berputar pelan. Pandangannya secara refleks menyapu seisi kamar itu—masih terlalu rapi untuk persinggahan."Aku cuma mau tahu kamu gimana. Wajar 'kan kh

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang mulai retak

    Kamar samar-samar masih dilingkupi wangi sabun pel. Seprai telah dirapikan, bantal disusun kembali, sebagai rutinitas mingguan demi menjaga kenyamanan dia dan suaminya. Tangannya bergerak otomatis—menarik sudut seprai dan meratakan lipatannya. Lalu, derap langkah pelan di ambang pintu membuatnya tersentak.Gerakannya terhenti. Sepasang telempap nya tengah menekan permukaan kasur, seiring jari-jarinya kaku. Ajeng mematung, tubuhnya membutuhkan jeda untuk mengenali kehadiran siapa yang baru saja datang."Boleh ibu masuk, Nak?"Suara tersebut lembut, sekaligus menyimpan beban. Di sana, ibunya berdiri di bingkai pintu, enggan langsung melangkah masuk. Pandangnya menyiratkan permohonan—dan perkara yang lebih dalam berupa kesedihan serta kegelisahan.Ajeng menelan ludah. Dadanya sesak akan perkara yang tidak bisa dia namai. Dia menengok lamban, memaksakan senyum tipis yang sesungguhnya juga mengandung sungkan. "Bu—" Kata itu menggantung, kehilangan kelanjutannya. Sejemang dia mengangguk, s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perang di antara penolakan dan konsistensi

    Abimana menatap layar komputernya, meski dia tak benar-benar membaca baris demi baris yang terpampang. Padahal kursor berkedip, seperti menyamai denyut pikiran yang berdentum ke banyak titik.Belakangan hari ada sesuatu yang mengganggu ritme kerjanya, berupa intuisi serta jenis kegelisahan yang sesungguhnya.Perubahan Diana terlalu halus jika disebut mencurigakan. Tetapi, dia kelewat konsisten untuk diabaikan. Abimana tidak menyukai hal-hal yang mengaburkan batas. Dan ketika batas itu mengabur, dia tahu dirinya perlu mengambil sikap.Panggilan internal dikirimnya ke meja personalia. Nama Dimas terlintas pertama kali. Pria muda itu pernah menggantikan posisi Diana saat cutinya beberapa waktu lalu—cepat, rapi, serta tidak pula mencampurkan urusan personal ke dalam pekerjaan.Tak lama berselang, pintu ruangannya diketuk."Masuk!" Dimas berdiri di ambang pintu dengan postur yang tegak. "Bapak manggil saya?""Duduk, Dimas," lanting Abimana sambil menutup dokumen di layarnya.Dimas duduk s

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Kegigihan Diana

    Kafetaria lantai bawah tampak lapang ketika Diana Sophia mengambil tempat di sudut yang agak tertutup. Dinding kaca memantulkan sinar mentari yang sedikit lembut di pagi ini, turun ke permukaan meja kayu berlapis pernis. Dia menyiasati segalanya. Salah satunya dengan membaca saat-saat situasi tidak ramai, supaya ranah yang dia punya cukup privat untuk percakapan yang ingin dia jaga agar tak didengar telinga lain. Dua cangkir latte mengepul halus di atas meja, ditemani sepiring ragam kue tradisional yang belum disentuh. Diana sibuk mengaduk minuman, lalu menyesapnya tipis-tipis. Rexa datang di beberapa menit kemudian. Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di seberang Diana, seiring pula napasnya berembus panjang. "Pagi-pagi banget lo ngajak ketemu, penting banget, ya?" Diana mengangkat pandangnya, sembari menyematkan seringai wajar. "Gue butuh suasana yang bersih, Rex. Makanya gue pilih jam segini.""Bersih?" Rexa menyipitkan mata usai dia mengamati sekitar mereka. "Lo gampan

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Canggung

    Meja makan malam terisi seperti biasa, diterangi cahaya remang jingga yang memantul ke permukaan set kayu sebagai pusat kebersamaan keluarga. Uap masakan mengepul dengan bau lezat yang seharusnya menggugah selera. Cahyani duduk di ujung meja, sedang merapikan serbet di pangkuannya. Mumu mondar-mandir sebentar sebelum akhirnya ikut duduk. Arjuna datang belakangan, wajahnya tenang tanpa cela. Sangat khas perawakan dia. Ajeng duduk di sisi Abimana. Tangannya bertaut di atas meja, jemarinya saling mengunci lebih erat. "Masakan hari ini luar biasa," ujar Abimana membuka percakapan, sekadar mengisi ruang yang tampaknya terlalu hening."Iya, Nak." Cahyani menyahut cepat. "Ini permintaan beberapa orang. Ibu dan Mumu memang dari siang sudah di dapur." Di seberang, Ajeng mengangguk lamban. "Makasih untuk makanan hari ini, Bu--tadi Ajeng enggak ikut bantu." Nada suaranya datar, tapi cukup sopan untuk tidak menimbulkan kecurigaan.Di samping, Abimana melirik istrinya itu sekilas. Singkat saj

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Sesuatu yang tertunda untuk diucapkan

    Suhu ruangan lebih bersahabat ketika obrolan mereka berpindah dari nada panik ke arah yang lebih tenang. Olivia menambahkan air putih ke gelas kosong, yang segera di minum oleh Ajeng. Tak lama berselang, dia mengangguk dan meneguk sedikit isinya. Sensasi hangat itu mereda di tenggorokan.Meskipun wajahnya masih menunjukkan bekas guncangan, tatapan Ajeng kini fokus. Napasnya teratur. Sesekali dia mengusap sisa basah di sudut matanya, tetapi nada suaranya tidak lagi bergetar semula."Sekarang gimana perasaanmu?" tanya Olivia, sedikit hati-hati agar ucapannya tidak memantik emosi Ajeng lagi."Aku masih pusing, tapi sekarang bisa mikir. Tadi itu ... terlalu tiba-tiba dan datangnya barengan. Aku enggak bisa bereaksi apa-apa, dan milih kabur. Untung aku langsung ingat kamu, Liv. Enggak kebayang kalau yang ku telepon Mas Abim." Olivia mengangguk, "Aku ngerti. Jadi, langkahmu sekarang apa? Kamu mau cerita ke Mas Abim?"Pertanyaan sekian membuat Ajeng terdiam beberapa detik. Dia tidak berkedi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status