/ Rumah Tangga / Dek Ajeng & Mas Abim / Romantika di malam yang indah

공유

Romantika di malam yang indah

작가: Ceeri
last update 최신 업데이트: 2025-03-25 23:02:22

Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang.

"Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."

Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.

Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu.

"Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturnya jangka mengayun langkah ke pintu keluar.

-----

Malam yang indah tengah beratapkan bintang-bintang di langit. Bagi pasangan kekasih, keadaan seperti ini merupakan malam istimewa, masa yang tepat untuk memadu cinta. Namun, agaknya tidak bagi Abimana, mungkin. Rautnya tampak tiada bergairah. Banyak pekerjaan menanti tentu pula tak dapat diabaikan, ditambah sikap istrinya yang akhir-akhir ini mengkhawatirkan.

Setibanya di rumah Abimana mendapati situasi sekeliling sepi. Langkahnya yang terasa berat dituntun menuju lantai dua. Dia melepas jas sembari ingin memastikan pintu-pintu terkunci rapat. Namun, belum sampai ke spot yang dituju dia praktis mendesah pelan saat tak sengaja menyaksikan Ajeng terlelap di sofa.

Cukup lama Abimana memperhatikan istrinya. Laki-laki itu berjongkok, menyingkirkan ponsel yang masih digenggam Ajeng. Senyum tipis sepintas singgah di wajahnya, sebelum dengan perlahan-lahan dia mengangkat tubuh istrinya menuju kamar mereka.

Masa yang mereka lalui kala masih perkenalan dulu sungguhlah singkat. Ketertarikannya pada Ajeng sudah cukup menjadi bekal keyakinan untuk menikahi istrinya itu. Senyum Abimana mengembang bertepatan benaknya mengulang lagi pertemuan setahun silam. Tak banyak kenangan, tetapi tetap menjadi memori terindah di hatinya.

Tutur kata Ajeng begitu manis, ramah juga sederhana. Segelintir pesona dari istrinya itu dan paling dia sukai. Bahkan dirinya tak punya kesempatan untuk berpikir ulang. Ketika hati bicara ... segalanya dengan sukarela memilih. Dalam hitungan bulan Abimana langsung memboyong lamaran pernikahan pada keluarga besar Ajeng.

Usai mengulang adegan demi adegan tersebut, tak ayal menghadirkan senyum dan tawa di wajah Abimana. Begitu sampai di depan kamar mereka, dia membuka pintu sembari menahan bobot istrinya. Abimana merebahkan Ajeng di atas kasur. Dia lantas duduk sejenak di samping istrinya itu; menarik selimut katun di dekatnya untuk menutupi tubuh Ajeng.

Abimana berniat ke kamar mandi bila saja istrinya tidak tiba-tiba menahan dia. "Mas, jangan pergi!" Ajeng berkata manja, menampakkan gurat bersedih di wajahnya.

"Mas mau mandi," sahut Abimana. Dia malah  kembali duduk di samping istrinya.

"Mas masih marah sama Adek?" Suara Ajeng terdengar serak juga pada nada yang nyaris seperti bisikan.

"Enggak. Kapan Mas marah?"

"Terus, kenapa seharian ini Mas enggak kasih kabar?!"

"Tadi pagi ada rapat di kantor. HP Mas ubah dalam mode silent. Rapatnya kelar, malah lupa ganti pengaturan lagi." Perkataan Abimana adalah kebenaran yang terjadi.

"Biasanya Mas enggak pernah lupa. Setiap hari menelepon Adek. Kalau pun sibuk, Mas pasti sempatkan buat kirim pesan." Ajeng luapkan semua kesahnya. Air muka cemberut mewakili kecewa dan kesalnya dia sebab menunggu tadi.

"Maafin Mas, ya. Di kantor lagi sibuk banget. Cabang toko di Kalimantan bakal segera dibuka. Banyak hal yang perlu Mas urus."

Ajeng mengambil duduk, merapatkan diri pada suaminya. "Mas beneran enggak marah lagi sama Adek?" Menatap lekat-lekat wajah suaminya, pandangan Ajeng mengunci perhatian Abimana. Tapi, lelaki itu menanggapi sekadar lewat anggukan.

"Adek rindu, Mas," rengek Ajeng sebelum dia naik ke pangkuan Abimana. Hitungan menit dia mengikis jarak di antara mereka, mendekap wajah Abimana untuk mencium mesra bibirnya.

Tanpa aba-aba Ajeng merenggangkan dasi dan melepas satu persatu kancing kemeja suaminya, dengan halus memberi sentuhan menggoda di dada bidang yang tampak kokoh.

Sementara, si empu yang menuai afeksi dadakan sigap meraih tangan Ajeng; menggenggamnya erat. "Kenapa jadi romantis sekali?" tanya Abimana.

"Ehm ... enggak tahu. Adek pengen marah karena Mas cuekin Adek. Mas lebih memilih proyek daripada Adek." Ajeng merangkul leher Abimana, menempelkan dahi mereka. Sejauh ingatannya, dia tidak pernah tidak terpesona oleh jelaga hitam nan sendu tersebut. Itulah Satu-satunya pusat bagi seorang Ajeng Dwi Ayu.

Jemari Ajeng kembali bergerak lembut, mengusap garis rahang Abimana bersamaan suaminya pun memberi ciuman di bibirnya. Namun, nyaris tak kena. Sehingga, adegan lucu sekian membuat keduanya serentak terkekeh geli. "Istri Mas nakal," lirih Abimana.

"Mas juga ikutan ketawa, ih," balas Ajeng dengan nada yang manja. Tangannya diam-diam turun untuk melepas ikat pinggang. Ritsleting celana suaminya ditarik ke bawah. Ajeng lagi-lagi memantik suasana intim melalui ciuman intens. Di sisi lain Abimana memeluk erat pinggangnya. Berangsur-angsur saling membalas pagutan, jari-jari Abimana merangsang ke punggung Ajeng; melepas pengait bra lalu menyingkirkannya. "Mas, pelan-pelan, ya. Di situ kadang-kadang berdenyut. Produksi ASI."

"Sakit ya, Dek?" Detik berikut Abimana mencelus, prihatin terhadap kondisi istrinya.

"Sakit setiap berdenyut. Datangnya tuh enggak ketebak, Mas. Tahu-tahu aja udah nyeri."

"Kasihannya istri, Mas." Abimana mendaratkan satu kecupan sayang di kening Ajeng.

Suasana hangat dan mesra melingkupi keduanya. Gairah yang kian melambung menyebabkan wajah mereka turut memerah sekarang. Ajeng bungkam saat suaminya melakukan penyatuan itu. Dia hanya mampu menyembunyikan muka ke dada Abimana.

"Kalau enggak nyaman bilang ya, sayang."

"Mas..." Desahan Ajeng mengudara merdu. Tubuhnya turut didorong ke depan, mengikuti tarikan lembut juga betapa awas Abimana.

"Mas bisa merasakan detak jantung Adek. Cepat sekali."

"Adek juga enggak ngerti. Sampai sekarang Adek masih deg-degan kalau sedekat ini sama Mas."

"Adek ... bisa-bisanya merayu di saat begini."

"Adek serius."

"Itu bukan karena bayinya 'kan, Dek?"

"Bukan, Mas sayang. Adek udah konsultasi sama dokter. Aman kok kita melakukan ini, bulannya udah cukup."

Ajeng melabuhkan kecupan-kecupan intens di leher jenjang suaminya. Berahi yang kepalang memuncak mengubah hawa menjadi gerah. Keduanya saling memandang penuh rasa kagum, membagi senyum mendambakan di sela-sela senggama. Abimana amat menjaga pergerakan serta ketukan dalam menggeser pinggul istrinya. Tetap dia memperhitungkan agar istrinya aman leluasa. Bibir silih bertaut, mengejar kasih dan rindu yang tertahan sepersekian jam. Ajeng lega, Abimana mengerang rendah.

Pada banyak lipatan menit berputar, Abimana memeluk Ajeng erat-erat. Gairah sedia dilepaskan, menumpahkan esensinya. Jeritan kecil malu-malu pun mengiringi romantika keduanya di malam ini.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Ruang untuk bernapas dengan tenang

    Hujan sudah lama reda, tapi daun-daun di pekarangan masih menggantungkan sisa air. Arjuna duduk sendiri di bangku kayu belakang rumah, jaket masih melekat di tubuhnya. Cahaya lampu taman redup menyorot garis wajahnya yang letih.Dia tidak menangis. Tapi, bias di matanya kosong. Seperti seseorang yang terlalu lama menyimpan sesuatu tanpa pernah benar-benar punya ruang untuk bicara.Tangannya saling bertautan sambil sekali ibu jarinya saling mengusap satu sama lain. Dia kentara sedang berpikir keras, meski semua itu tetap percuma. Dari jendela lantai dua Alyssa berdiri mengintip dari balik tirai. Tidak ada kemarahan di wajahnya. Tidak juga kecemburuan. Hanya ... kekosongan yang perlahan-lahan membeku jadi jarak.Dia memandang suaminya di sana; Arjuna tampak bagaikan remaja muda yang tengah kehilangan arah. Lalu, tirai ditarik. Alyssa menutupnya sebab dia ingin sedikit ruang lapang untuk kesehatan perasaannya sendiri. -----Pagi berikutnya cahaya matahari menerobos lembut ke dapur ya

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Rahasia yang ingin berteriak dengan lantang

    Sudah lebih dari satu jam sejak Arjuna dan Ajeng kembali dari reuni. Tapi, Arjuna belum juga masuk ke kamar. Alyssa menunggu di balik dinding koridor rumah keluarga itu, mendengar langkah suaminya mondar-mandir di ruang belakang. Tanpa suara, tanpa panggilan.Alyssa duduk di tepi ranjang tamu yang sementara mereka tempati, sambil menekuk ujung jarinya di atas pahanya sendiri. Usia kandungannya hampir menginjak sembilan bulan, sebulan lebih tua dari Ajeng. Sayang, yang terasa sekarang bukan keintiman sebagai pasangan yang sedang menanti ... melainkan sesuatu yang menggantung dan menjauh.Pintu kamar terbuka pelan.Arjuna masuk tanpa menatap istrinya."Habis hujan," katanya pendek, menurunkan jaket yang sudah agak lembab.Alyssa hanya mengangguk, "Kamu kehujanan?""Sedikit."Arjuna melewati Alyssa begitu saja, menuju lemari dan mengganti bajunya tanpa menoleh. Alyssa menunggu, menunggu sesuatu yang tidak datang; pertanyaan, sentuhan, atau sekadar perhatian kecil.Tapi, tidak ada.Dan it

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Reuni SMA dan juga perubahan sikap Arjuna

    Hari ini akhirnya tiba...Ajeng berdiri di depan cermin panjang di lorong rumah. Tangannya perlahan membenarkan kerudung; disematkan dengan pin sederhana. Gaun pastel selutut yang dia kenakan memeluk perut buncitnya dengan lembut. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada rasa berdebar yang samar.Dari balik pintu terdengar suara langkah kaki, Arjuna."Kita berangkat sekarang? tanyanya, berdiri dengan satu tangan menyelipkan kunci mobil di antara jari.Ajeng menoleh. "Iya. Kakak yakin enggak keberatan ada aku? Entar Kakak enggak leluasa sama yang lain.""Kenapa harus keberatan?" jawab Arjuna pelan, "Bukannya kita udah biasa, ya? Dari dulu juga kita selalu bareng di acara-acara kayak begini."Ajeng tersenyum kecil, tidak menjawab. Dia tahu Abimana seharusnya ikut menemani dia, setidaknya mengantar. Tapi urusan kantor membuat suaminya harus pergi pagi-pagi ke Bandung. Ajeng tidak menuntut. Dia pun tahu Abimana sudah berusaha. Lagi pula, suaminya percaya.Di dalam mobil, keduanya lebih banyak d

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perasaan seorang istri sangat peka

    Langkah Ajeng terdengar pelan di koridor marmer PT. Sabina. Dia membawa tas makan siang berwarna biru yang merupakan favorit Abimana. Ajeng mengenakan blouse sederhana dan celana kulot longgar nuansa pastel. Penampilannya tetap elegan meski tanpa riasan berlebihan. Dia hanya ingin mengantarkan bekal suaminya yang tertinggal, tiada niat lebih.Resepsionis menyambutnya ramah. "Selamat siang, Bu Ajeng. Ke ruang Pak Abimana, ya?"Ajeng tersenyum sambil mengangguk. "Iya. Saya cuma mau antar makan siang si Mas aja. Ketinggalan." Ajeng terbiasa datang sesekali ke kantor suaminya. Penghuni perusahaan juga tentu mengenal dia. Tidak ada hal aneh, tak ada yang perlu dijaga-jaga pula. Namun, langkah Ajeng kontan melambat ketika pintu ruang direktur terbuka sedikit; cukup lebar untuk dia dapat melihat dua sosok di dalam.Diana Sophia berdiri di sisi meja kerja, senyumnya diam-diam. Di mata Ajeng kentara lembut dan terlalu lama tertuju pada Abimana. Pria tersebut sedang duduk di belakang meja deng

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Pagi yang cukup menguras emosional

    Pagi itu dapur masih berantakan setelah semua orang menyelesaikan rutinitas sarapan pagi mereka. Piring-piring belum dibereskan. Sementara, Mumu Sedang berada di ruang laundry untuk menjemur kain. Dia akan mengerjakan bagian dapur begitu rampung dengan urusan pakaian. Ajeng berdiri di dekat meja makan, satu tangan menopang pinggangnya yang membesar, satu tangan lain menggenggam ponsel yang menempel di telinga."Mas, kamu serius ninggalin bekal di meja begitu aja?" Suaranya tenang, tapi nadanya menyimpan jengkel yang ditahan-tahan.Di ujung sana, Abimana menghela napas."Maaf, Dek. Mas tadi buru-buru banget, Alvian bakal datang jam delapan ... enggak usah diantar, nanti Mas beli makan di kantor aja."Ajeng berdecak pelan, menoleh ke meja makan di mana bekal dalam kotak stainless itu masih tergeletak rapi, lengkap dengan sendok dan tisu."Mas tau kan adek nggak suka Mas makan sembarangan di luar. Itu lauk kesukaan, Mas. Adek masak dibantu sama ibu ..." Intonasi suara Ajeng melemah di a

  • Dek Ajeng & Mas Abim   Perubahan sikap Diana merupakan awal keresahan

    Sejak Diana kembali dari cutinya, Abimana mulai merasa ada yang tidak beres. Perempuan itu berubah. Bukan dalam kinerja—pekerjaannya masih rapi dan tepat waktu—tetapi dalam sikap. Diana menjadi lebih sering tersenyum, terlalu ramah, dan suka mampir ke ruangannya untuk urusan-urusan yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan langsung. Awalnya Abimana sekadar mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati. Lalu, dia mulai mendengkus setiap kali mendengar suara ketukan khas di pintu ruangannya. "Pak, saya cuma mau memastikan file presentasi yang tadi itu sudah betul belum? Atau, "Maaf ganggu, saya mau konfirmasi jam makan siang Bapak dengan klien." Berulang Diana datang demi hal-hal sepele demikian, padahal semuanya sudah ditandai jelas di kalender bersama. Abimana risih. Sangat risih. Dia bukan tipe pria yang menikmati perhatian orang lain. Lagi pula ada yang membuat hatinya makin tak tenang; dia begitu mencintai istrinya. Cinta yang utuh dan tidak tergoyahkan. Maka, sikap Diana yang me

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status