Setelah kepergian Cecilia, Davina menghembuskan napas lega karena Ibu tirinya tidak akan lagi melontarkan kalimat-kalimat pedas untuknya. Sepanjang pertemuan mereka, tak luput sekalipun bagi Cecilia mencemooh bahkan menghina Davina, seolah itu merupakan kesempatan baginya untuk melampiaskan amarah dan dendamnya atas apa yang terjadi dimasa lalu. Meski sesungguhnya Davina merasa itu bukanlah kesalahan maupun kehendaknya namun ia tak dapat melawan dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami sikap Cecilia.
"Kau baik-baik saja?" Sebuah suara yang datang dari arah berlawanan seketika membuat Davina waspada. Ia mengangkat kepalanya untuk memperhatikan wajah asing yang tiba-tiba menyapanya. "Maaf?" Pria asing itu mengambil posisi di kursi yang ditinggalkan Cecilia, tepat di samping Davina. "Wajahmu pucat, apa kau sakit?" "Ti-tidak, aku baik-baik saja," balas Davina terbata. Ia melirik takut-takut wajah asing yang seolah mengenalinya. "Hmm, syukurlah." Mata Davina terpaku pada wajah cerah dengan seulas senyum ramah yang menghiasi sudut bibirnya. "Apa aku mengenalmu?" "Oh, maafkan aku. Apa aku mengejutkanmu?" Seru pria itu sadar. Ia mengulurkan tangannya, menunggu respon dari Davina. "Kita belum sempat berkenalan secara resmi. Perkenalkan, aku Sebastian Dawson. Lebih tepatnya, sepupu Lucas," jelasnya. Davina mengangguk paham dan mengendurkan kerutan di keningnya. Ia menarik senyum simpul untuk menyambut keramahan pria dihadapannya. "Ya, aku Da … eh, Eleana Carter." Davina bersyukur karena masih sempat menyadarkan diri dan mencegah mulutnya yang lancang untuk menyebut nama asli hingga berpotensi membongkar rahasia besar keluarga Carter. "Eleana …" Eja Sebastian seolah tengah menyimpan nama itu ke dalam ingatannya. "Ku harap kita bisa berteman," ujarnya yang diakhiri dengan senyum lebar. Davina mengangguk canggung namun tak berniat mengiyakan kalimat pria itu. "Maaf karena tidak bisa hadir di pernikahan kalian," pungkas Sebastian. "Selama ini aku tinggal dan belajar di luar negeri dan kali ini aku terpaksa pulang setelah mendengar berita tentang Kakek." "Oh, mungkin ini alasannya," ujar Davina sambil memperhatikan wajah tampan itu lamat-lamat. "Aku merasa asing dengan wajahmu." Sebastian mendesah kecewa. "Ku harap setelah ini kau tidak melupakan wajah tampan ini," kekehnya. Davina sedikit kaget akan interaksi Sebastian yang cenderung ramah dan humoris, berbanding terbalik dengan anggota keluarga lainnya. "Aku tidak menyangka kalau Lucas akan memilih wanita sepertimu untuk dijadikan seorang istri." Davina menautkan alisnya, tak senang akan makna dari kalimat yang dilontarkan oleh Sebastian. "Apa yang salah dengan wanita seperti ku?" "Oh, bukan itu maksudku." Sebastian menyilangkan tangannya sambil cengengesan. "Aku tidak bermaksud menggambarkanmu sebagai wanita yang buruk, hanya saja sejak kecil Lucas selalu mengatakan kalau dia tidak mau menikah," "apalagi dengan wanita lugu dan polos." Sebastian menarikan telunjuknya ke arah Davina dan menghela napas pendek sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Seperti mu," imbuhnya. Davina berdecak sebal. "Memangnya dia mencari wanita seperti apa?" gumamnya setengah mengomel. Sebastian terkekeh geli melihat Davina mengerutu hingga kerutan di keningnya berlapis. "Jangan marah padanya, Lucas punya alasan kuat mengapa tidak ingin menikah." Rasa penasaran mendorong Davina untuk menyimak ucapan Sebastian. "Sejak kecil, Lucas dididik dengan keras dalam keluarga ini untuk menjadi pewaris Dawson Grup. Dia hampir tak punya waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang seumuran apalagi para gadis." "Kau lihat itu," tunjuk Sebastian ke arah kumpulan pria berusia lanjut yang tengah bercengkrama. "Setiap hari dia harus berhadapan dengan orang-orang kaku seperti itu, bahkan di kondisi seperti ini mereka masih saja membahas bisnis," tandasnya geram. Davina mengangguk setuju akan pernyataan Sebastian. "Cara hidup orang kaya seperti kalian memang berbeda," tukasnya. "Orang kaya?" Sebastian mengerutkan keningnya. "Kau bicara seolah selama ini hidup kesusahan," sindirnya. 'Bodoh!' Davina mengutuk dirinya yang tanpa sadar menggambarkan kehidupan yang dijalaninya selama ini. "Maksudku mayoritas orang kaya seperti itu," ralatnya cepat sambil meringis canggung. Sebastian membalasnya dengan tawa renyah. "Kamu cukup menarik. Akhirnya aku bisa menemukan satu alasan mengapa Lucas memilihmu." Mendengar guyonan Sebastian membuat Davina berdecak sebal sembari memasang wajah cemberut. "Terus saja kau meledekku." Tak jauh dari sana, Lucas menatap tak suka akan kedekatan keduanya. 'Sejak kapan mereka dekat?' pikirnya. "Lucas." Panggilan yang diarahkan untuknya membuat Lucas mengalihkan fokus. "Hai," sapanya begitu melihat sosok Riley Charles, salah satu rekan di dunia bisnis. Pria tampan dengan perawakan yang matang. "Maaf, aku tidak bisa menghadiri pernikahanmu. Kau tahu, istri yang tengah hamil tua cukup merepotkan," jelas Riley. Lucas mendengus geli. "Mungkin itu karma untukmu." "Tidak perlu mengejekku, teman. Kau juga akan segera mengalaminya," balas Riley. "Lalu, di mana nyonya Dawson yang baru? Aku ingin menyapanya." Lucas mengarahkan pandangannya ke tempat Davina duduk, "Itu," tunjuknya. "Kau bercanda?" Riley bertanya dengan kening berkerut. "Jangan mengada-ada. Bukankah kau menikahi putri tunggal keluarga Carter?” Lucas mengernyitkan keningnya. “Ya.” Riley menggeleng ragu. “Wanita itu bukan Eleana Carter." *****Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi