Tak banyak yang bisa dilakukan begitu dokter mengabarkan berita tentang kondisi Benjamin Dawson. Walaupun tak kunjung membuka matanya, namun dokter menyatakan kondisi Benjamin saat ini stabil sehingga pihak keluarga memutuskan untuk memindahkan perawatan ke rumah utama. Ini semua dilakukan demi kenyamanan serta keamanan. Dokter dan perawat telah disiapkan untuk selalu standby, memantau kondisi Benjamin.
Begitu kabar tentang kepulangan sang tetua tersebar luas, pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan segera berbondong-bondong datang dengan dalih bersimpati atas kondisi sang penguasa keluarga Dawson. Namun dibalik semua itu, bukan’lah rahasia umum bahwa mereka hanya ingin berlomba-lomba menunjukkan wajah dihadapan sang pewaris demi menjaga relasi serta kepentingan pribadi. Di antara pengunjung tampak Abraham Carter bersama sang istri, Cecilia. Begitu melihat sosok Dawson yang menjadi pusat perhatian, mereka segera memasang wajah seolah bersedih dan langsung menghampiri Lucas serta Davina yang mendampinginya. “Menantuku,” Abraham menarik pria muda, memeluk dan menepuk punggungnya dua kali tanpa memperdulikan sikap sebaliknya dari Lucas yang tampak enggan. “Betapa malangnya nasibmu, Nak.” Davina menggeleng kecil, memberi kode pada sang ayah untuk berhenti bertindak sok akrab. Ia dapat melihat jelas betapa jengkelnya Lucas atas apa yang dilakukan sang ayah. “Maaf Tuan Abraham, tapi Kakekku belum mati. Jadi anda tidak perlu terlalu berlebihan,” sindir Lucas seraya menarik dirinya lepas dari pria tua itu. “Oh … ya. Kau benar.” Abraham merenggut kecil lalu mengangguk canggung, mundur memberi jarak. Harus diakui, aura menantunya ini sangat’lah dominan. Wajah datar tanpa ekspresi dengan sorot mata dingin hingga sulit bagi siapapun untuk menerka apa yang tengah dipikirkannya. Rumor yang beredar tak sekedar isapan jempol, Abraham pernah melihat dengan matanya sendiri betapa kejamnya seorang Lucas. “Nak Lucas, kuharap Tuan Benjamin segera pulih.” Cecilia mengambil alih, memecah kecanggungan. Lucas mengangguk kecil, tak terlihat perduli. Ia justru menemukan sebuah fakta menarik saat melirik Davina yang mematung disampingnya. Para orangtua itu seakan mengabaikan kehadirannya, keduanya tak memeluk bahkan sekedar menyapa sang putri tunggal. "Kenapa kamu tidak menyapa orangtuamu?” pancing Lucas. Ia hampir terbahak kala raut wajah Davina yang semula tenang, berubah panik. “Ah, i-iya,” balas Davina tergagap. Dia segera mendekati Cecilia, memeluknya sejenak sebelum beralih pada Abraham. “Seharusnya Ayah banyak istirahat, bukan’kah kondisi tubuhmu menurun belakangan ini?” Abraham berdeham canggung. Mereka jarang berinteraksi sedekat ini sebelumnya. Pasangan orangtua dan anak itu saling bertukar pandangan. Mereka harus bersikap layaknya keluarga pada umumnya karena Lucas mengawasi dengan ketat. “Lucas, boleh’kah aku duduk sebentar?” Davina memijit pelipisnya demi mengalihkan perhatian. "Karena kepalaku sedikit pusing," lanjutnya gugup. Tak sepenuhnya bohong, sejak tadi kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini akibat kelelahan, sejak acara pernikahan sampai saat ini dia belum mendapatkan waktu istirahat dan makan yang baik. Terlebih, Davina ingin segera terlepas dari situasi rawan bahaya ini. Davina mengerjapkan matanya bingung saat Lucas tiba-tiba melingkarkan lengan ke pinggangnya. Namun, melihat bahwa mereka sedang berada di ruang publik, ia pun segera mengerti. Ia berdehem ringan, tenggorokannya mengering. Bukan karena haus, lebih pada rasa gugup saat tangan Lucas dengan santai merangkul pundaknya. Seolah tiada jarak dalam hubungan mereka. Apa yang dilakukan Lucas seketika memetik perhatian orang-orang disekitar, mereka menatap dengan sorot kagum sekaligus iri. 'Pria ini sangat pintar berakting,' desis Davina dalam hati. 'Seharusnya dia menjadi artis,' batinnya berdecak kagum. “Sayang, lebih baik kamu istirahat," kata Lucas dengan tutur lembut. "Ah, t-tapi tidak perlu—" Davina bergerak risih dengan senyum canggung atas perhatian Lucas. “Tuan Abraham, aku harus mengantar istriku untuk beristirahat,” ucap Lucas tanpa memperdulikan perkataan Davina yang ia potong. “Ah, tapi … Baiklah.” Abraham mengangguk tak senang. Dia ingin lebih lama bicara untuk menarik minat Lucas agar berinvestasi di perusahaannya. Mungkin di lain kesempatan atau dia bisa menggunakan Davina sebagai alat pemulus niatnya. Melihat sikap perhatian Lucas pada Davina, sepertinya pria itu tidak menunjukkan penolakan atas pernikahan ini. “Beristirahat’lah, Eleana.” Cecilia memasang senyum hangat, layaknya seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya. Meski tahu semua itu sepenuhnya palsu namun Davina memaksakan diri untuk membalas senyum itu. “Ayo,” ajak Lucas. Davina bergeming, pasrah mengikuti ritme langkah Lucas, melewati barisan tamu yang hadir. Beberapa diantara mereka menatap Davina sinis saat Lucas dengan hati-hati menuntun langkah istrinya menjauhi kerumunan. “Lucas.” Langkah keduanya terhenti saat mendengar nama Lucas disebut. Ferdinad-Ayah Lucas melambai, meminta putranya untuk mendekat. Meski ekspresi enggan tampak diwajahnya namun Lucas tak membantah. “Duduk disini.” Lucas menempatkan Davina di salah satu kursi dan kemudian berbalik untuk menghampiri sang ayah yang dikerubungi para penjilat. Begitu melihat suaminya menjauh, Davina menghela napas lelah. Ia memijat pelipisnya yang semakin berdenyut nyeri. “Sepertinya, kau sangat menikmati peranmu,” bisik suara yang seolah tengah mencemooh lawan bicaranya. Davina berpaling cepat, “I-ibu, apa maksudmu?” Ia menatap Cecilia penasaran atas pernyataan yang dilontarkan wanita itu. “Kau berlagak seolah-olah posisi saat ini adalah milikmu,” desis Cecilia tajam. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Davina, “Harusnya kau sadar siapa dirimu.” Cecilia mengulas pemikirannya, tidak mungkin terjadi—seorang Lucas Dawson akan menyukai wanita kampung seperti Davina. Davina dan Eleana jelas berbeda, Eleana adalah wanita yang anggun dan mudah bergaul sedangkan Davina, hanya gadis bodoh yang hidup di lingkungan kumuh. Davina menggeser posisi duduknya menjadi sedikit berhadapan dengan Cecilia. “Bu, kau tidak perlu khawatir, kami hanya menjalankan peran untuk pernikahan ini," ujarnya seraya menyunggingkan senyum tipis. "Baguslah, kalau kau sadar diri," sindir Cecilia bernada sinis, beranjak meninggalkan Davina yang menatap kepergiannya dengan mata berkaca. *****Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi