Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.
Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan. "Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang. Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah yang berjalan cepat meninggalkannya. Ia tak henti berdecak kagum saat melewati tiap ruangan yang dihiasi deret furniture yang Davina yakini berharga fantastis. Dua wanita paruh baya setengah berlari untuk menyambut kedatangan pemilik rumah, mereka menundukkan kepala saat Lucas melewati tanpa berkata ataupun sekedar menoleh. Sikap Lucas membuat Davina bergumam dalam benaknya, ‘rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es’. Saat keduanya menaiki tangga menuju lantai kedua, mulut Davina tergelitik untuk bertanya. “Kamu mau membawaku kemana?” usiknya curiga. "Tak perlu banyak bertanya," balas Lucas tanpa berpaling. Langkahnya semakin condong menuju pintu kayu berdaun dua dengan ukiran yang membingkai setiap sudut. Ia mendorong gagang emas yang membuat pintu terbuka. Begitu masuk, Davina disambut oleh udara pengap dari ruangan dengan pencahayaan seadanya. Tak tampak adanya balkon atau sekedar jendela kecil yang dapat mengalirkan pertukaran udara dari dalam ke luar ruangan. Bahkan satu-satunya sumber penerangan hanya berasal dari cahaya lampu yang mengelilingi langit-langit ruangan. Satu set meja kerja beserta perangkat komputer menjadi pusat fokus di dalam ruangan, diapit oleh deretan rak buku yang merapat ke dinding. Sekilas mata, terlihat layaknya ruang kerja pada umumnya tapi dalam beberapa menit Davina mulai menyadari, ruangan ini lebih terlihat seperti banker—ruang rahasia. Mata Davina melirik rak buku terdekat, lalu membaca judul dari sampul buku terdepan, 'The new rules of marketing.' Hatinya mencelos geli, seperti yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin perusahaan pada umumnya. Mereka hanya membaca buku-buku bisnis tebal yang membosankan. "Duduklah." Mendengar perintah bernada datar itu seketika membuat Davina was-was. Ia memilih duduk di sofa single yang berjarak cukup jauh dari tempat Lucas duduk. "Ruangan ini terlalu gelap dan pengap untuk disebut ruang kerja," tutur Davina sekedar berbasa-basi. Ia mendesah pelan setelah menunggu beberapa saat tanpa jawaban. Davina merasa terabaikan karena Lucas sama sekali tidak menggubris setiap kali ia bicara. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak dari balik laci lalu meletakkannya di atas meja. “Pakai ini.” Davina melirik kotak ponsel seri terbaru dari salah satu merek terkenal di negara ini. Nominal harganya yang menyentuh dua digit angka, membuat Davina tak pernah bermimpi untuk memilikinya. Bahkan dengan bekerja siang dan malam, sepanjang tahun, ia tetap tak akan bisa membeli ponsel itu. “Aku tidak memerlukannya, ponsel ku baik-baik saja,” tolak Davina. Ia tak ingin terikat budi apapun dengan Lucas. Cukup sudah, hanya dalam beberapa hari saja, pernikahan ini hampir menginjak-injak seluruh harga dirinya. Davina tak ingin semakin terpuruk hingga tak mampu kembali bangkit. Lucas menatapnya tajam, melalui sorot menyelidik. “Keluarkan ponsel mu,” perintahnya. Mendengar permintaan Lucas seketika membuat Davina takut. Pria itu tak boleh sampai melihat apalagi menyentuh ponselnya. Davina menekan erat ponsel di balik saku celananya. Ia yakin, Lucas akan semakin curiga bila melihat bentuk ponselnya. Tak mungkin terjadi, seorang Eleana yang dikenal fashionable menggunakan ponsel butut. “Tidak.” tolak Davina. “Kenapa? Kau takut?” dengus Lucas kasar. Ia menertawakan kepolosan wanita itu. “Apa di dalam sana ada banyak rahasia yang kau sembunyikan?” Sindirnya seraya melirik tangan Davina yang menekan erat paha sampingnya. “I-ini privasi ku. Bukankah kita setuju untuk tak saling ikut campur dalam masalah pribadi?” Tantang Davina untuk menutupi kegugupannya. Lucas berdecih sinis. “Terserah saja. Tapi pastikan kau selalu membawa benda itu bersamamu,” tunjuknya pada kotak ponsel. “Ba-baik.” Davina meraih kotak itu dan menggenggamnya. Ia mendesah lega karena Lucas tak melanjutkan perdebatan ini. "Lalu, apa yang kau bicarakan dengan Sebastian?" Davina menautkan alisnya bingung kala Lucas beralih topik dengan melontarkan pertanyaan bernada datar namun menusuk. "Tidak ada yang khusus,” sahutnya ragu. "Jauhi dia." "Eh, kenapa?” Kedua mata Davina mengerjab bingung. Raut wajah pria itu tampak menegang saat menyinggung tentang hal yang berkaitan dengan sepupunya. Lucas mendengus kasar. "Jangan banyak bertanya, lakukan saja apa yang aku katakan." "Aku hanya mengobrol, lagipula dia sepupumu. Bukankah wajar bila aku mengakrabkan diri dengan keluargamu?" ujar Davina. Raut wajah Lucas mengelap, tatapannya berubah tajam. Aura dingin yang memancar dari mata itu membuat Davina seketika gugup, ia meremas jemarinya demi menguatkan diri. "Sebaiknya kau mendengarkan kata-kata ku," tegas Lucas seraya menegakkan punggungnya, mencapai posisi yang membuatnya tampak serius. Matanya menatap lekat dan dalam, menembus netra yang bergetar, takut-takut untuk balas menatapnya. "Terutama bila kamu tidak ingin apa yang kamu sembunyikan tercium keluar." Davina terbelalak kaget. Kalimat ambigu yang diucapkan dengan nada datar tanpa penekanan itu, seolah telah berhasil menampar kesadarannya. "A-apa maksudmu?" cicit Davina takut-takut. Jemarinya menggenggam erat sudut luar dari sofa berwarna abu gelap yang didudukinya. Detik itu, aura gelap menyelimuti tubuh Lucas seiring dia mendekati Davina. “Jangan berpura-pura bodoh. Kau jelas tahu maksudku, E-L-E-A-N-A.” *****Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi