Davina membeku di tempat, wajahnya memucat. Tekanan pada nama ‘Eleana’ yang Lucas sebutkan memiliki makna tersembunyi.‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batin Davina dengan tubuh bergetar.Melihat reaksi Davina, Lucas mendengus. Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.Pintu dibuka oleh pria tersebut. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas pada kepala pelayan yang berjaga di luar.“Baik, Tuan,” balas sang kepala pelayan sebelum berakhir menatap Davina. “Nyonya, silakan.”Davina termenung beberapa saat, lalu melirik ke arah Lucas yang menatapnya tajam, seakan muak melihat wajahnya. “Apa yang kau lakukan berdiam di sana? Keluar.”Mendengar perintah itu, Davina pun langsung berlari kecil meninggalkan ruangan dan mengikuti kepala pelayan.Saat pintu ruang kerja Lucas tertutup, Davina mengintip sedikit ke belakang. ‘Pria itu … dia mengerikan.’Setelah meninggalkan ruang kerja Lucas, kepala pelayan mengantarkan Davina berkeliling kediaman, sampai akhirnya tiba di depan pintu,
Davina bergelung dalam tidurnya dan perlahan membuka mata seraya berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar mimpi dan sekarang waktunya terjaga di dunia nyata.Pandangannya menyisir langit-langit dan langsung bertemu dengan lampu ganti kristal yang mewah yang seketika membuatnya mendesah lelah. Ia bangkit menekuk wajahnya di atas lipatan tangan, bertumpu pada kedua tungkai. Benaknya kembali mengulang apa yang dikatakan Lucas. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari bibir tipis itu terdengar bagai ancaman bagi Davina. Membuat hatinya selalu diselimuti rasa takut sekaligus bersalah."Tidak mungkin dia tahu, kan?" Desahnya. "Apa semuanya sudah berakhir?" Gumamnya seraya menggigit ujung kuku ibu jari—kebiasaan buruknya saat gelisah. "Tidak … tidak!" Seru Davina sambil menggelengkan kepalanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau memang Lucas tahu kebenarannya, dia pasti sudah melumat ku menjadi remahan."“Nyonya Eleana.” Suara ketukan disertai
“Kenapa?” tanya Lucas setelah memperhatikan beberapa saat. “Gugup?”Sepanjang perjalanan, istrinya itu lebih banyak diam, bahkan dia terus saja menunduk. Menyembunyikan kegundahan di hatinya.Davina mengangkat pandangan lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut.”“Apa kamu berbuat kesalahan?” Lucas memainkan alisnya demi memancing ekspresi wanita yang masih menekuk wajahnya.“Ti-tidak,” balas Davina cepat. “Lalu, mengapa kamu harus takut?” Lucas menekan tuas pintu mobil dan keluar dari sana. Davina terhenyak oleh pertanyaan Lucas hingga tak menyadari pria itu telah berjalan memutar dan berdiri di pintu yang berlawanan dan membukanya.“Apa kamu akan terus melamun?”Davina menatap tangan yang terulur ke hadapannya. Beberapa kali, perlakuan manis Lucas membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.Ia menyambut tangan yang segera menggenggam jemarinya dan menarik tubuhnya keluar dari mobil.“Bersikap’lah seperti biasanya. Tak akan ada yang berani menyentuhmu selama kau berdiri di sampingku,”
“Lucas, aku—”Davina baru saja ingin membela dirinya dihadapan Lucas. Namun pria itu mengangkat tangannya untuk menghentikan apapun yang ingin Davina katakan.“Simpan saja energi mu, aku tidak membutuhkan penjelasan apapun,” cegah Lucas ketus. Ia beralih pada ponselnya, mengetikkan beberapa pesan sebelum membalikkan badan, menuju ruang kerjanya.Punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu, membuat Davina resah. Ia takut bila Lucas terpengaruh dengan asumsi sang ibu dan kembali bersikap kasar padanya.“Nyonya, apa anda ingin cemilan sore?” tawar Herman.Davina menggeleng lesu. “Tidak, Herman.” Tolaknya. Pandangan Davina terpaku pada rimbunnya pepohonan di taman belakang yang belum sempat ia kunjungi. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?”“Tentu saja,” balas Herman diiringi senyum ramah. “Saya akan menyiapkan es teh dan camilan ringan untuk menemani anda.”Kali ini davina tak membantah, menurutnya ide kepala pelayan sangatlah tepat. Ia berharap, bisa menikmati pemandangan s
Davina menyeret langkahnya, gelisah memikirkan petaka yang menunggunya di kediaman keluarga Carter. Bukan amarah sang Ayah, namun pertemuan tak terencana yang mungkin saja bisa membongkar rahasia ini.“Kenapa kamu tidak menekan bel?” Suara Lucas menarik kembali kesadaran Davina. “Eh?” Davina gelagapan, bersikap linglung bagai kehilangan arah. Pandangannya tak fokus, teralih antara pintu dan sosok sang suami yang menunggu reaksinya.Asumsi demi asumsi yang berkutat dalam benaknya telah mengalihkan perhatiannya hingga tidak menyadari bahwa mereka telah berdiri di depan pintu masuk.“Aku akan menghubungi Ayah, mungkin saja mereka sedang tak ada di rumah,” alih Davina beralasan. Tangannya bergetar saat merogoh isi tas, mencari ponselnya.“Tak perlu,” tahan Lucas. Telunjuknya menekan tombol di dinding sembari mengulas senyum miring, mengejek kepanikan sang istri. “Tenanglah, Eleana. Jangan tunjukkan kelemahanmu di depan musuh,” desisnya gemas.“A-apa?” Davina tak sempat mendengar penje
“Siapa kamu sebenarnya?”Davina bagai bisa mendengar pertanyaan yang terucap tanpa suara, dari balik tatapan Lucas. Namun ia tak berdaya, kuasa keluarga Carter bagai rantai yang mengunci rapat mulutnya.“Nak Lucas, Ayah baru saja mendengar kabar kalau kamu akan segera diangkat menjadi presiden direktur Dawson Group.” Lucas mengalihkan tatapannya dari istrinya. Ia mendengus samar karena pria tua dihadapannya mulai menunjukkan maksud yang sebenarnya. “Ya,” ucapnya sembari menaikkan dagu. “Sejak awal posisi itu dipersiapkan untuk ku, hanya masalah waktu saat aku bisa berada di kursi itu,” lanjutnya dengan kepercayaan diri penuh.Abraham tertawa keras meski hatinya menggeram kesal. Pria muda itu tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Bahkan Dawson Junior itu tak segan menunjukkan arogansi dihadapannya.“Ayah sungguh bangga memiliki menantu sepertimu,” cetus Abraham. Cecilia mengangguk setuju. “Eleana sungguh beruntung,” imbuhnya.Duo Carter itu telah menetapkan tekad, menyanjung bocah
“Nyonya, anda ingin tambahan kue?” Davina menggeleng lemah, menanggapi pertanyaan kepala pelayan yang tengah menatapnya dengan sorot cemas. “Anda baik-baik saja? Saya bisa meminta dokter keluarga Dawson untuk datang.”“Tidak, Herman. Aku baik-baik saja,” cegah Davina. Davina tidak sakit, dia hanya dilema akan perasaannya karena Lucas mengabaikannya sejak mereka kembali dari kediaman keluarga Carter.Mungkin akan terdengar lucu, Davina merasa Lucas mengabaikannya padahal dari sejak awal, pria dingin itu tak benar-benar menganggapnya sebagai istri.Tapi kali ini serasa berbeda, Lucas mengabaikannya dalam artian yang sebenarnya. Pria itu bahkan tak menunggunya untuk sarapan bersama seperti yang mereka lakukan sejak kedatangan Davina ke rumah ini.“Nyonya, bisakah anda berhenti mengaduk-aduk sisa makanan? Para pelayan telah menunggu cukup lama hanya untuk memindahkan piring anda,” usik Herman gemas.Davina mendesah dalam lalu mendorong piring yang belepotan krim itu dari hadapannya. “H
Davina duduk di sofa ruang tengah sambil menggosok perutnya yang terasa begah—efek dari puluhan stroberi yang bersarang di perutnya.“Harusnya aku mengendalikan diri! Memasukkan semua buah itu ke dalam mulut,” gerutunya. “Karma manusia tamak.”“Kenapa? Perutmu sakit?”“Eh, Lucas?” Davina nyaris menjerit senang begitu melihat sosok tampan yang muncul dihadapannya. “Kamu pulang?”“Bukankah ini rumah ku? Kamu tidak suka aku pulang?” Selidik Lucas sambil memicingkan matanya. Ia memilih duduk di sofa yang sama, disamping sang istri.Davina mengibaskan tangan. “Tidak, tidak! Aku tidak berpikiran seburuk itu,” kilahnya cepat.Ia tak ingin Lucas kembali marah dan mengabaikannya. Dua hari saja, ia tidak melihat wajah tampan itu mengomel, hati Davina gundah.“Apa kamu tidak marah lagi?”Satu alis Lucas naik untuk membentuk pertanyaan tak terucap. “Kamu membuat masalah?” “Aku tidak.” Davina menggeleng lemah dengan wajah tertunduk lesu.Ekspresi itu terlihat menggemaskan bagi Lucas, hingga ia ha