“Mengapa kau tidak mencoba?”
Aku menoleh ke arah di mana suara itu muncul. Tak jauh di sana, kudapati paman yang sosoknya kucari sejak tadi.
“Aku ... tak mau, A ... yah,” jawabku. Aku tak mau berbohong padanya, meski kesempatan itu ada sekalipun. Juga, aku tak mau bersikap seolah-olah aku menyukai acara itu.
“Tak apa, setidaknya cobalah untuk saat ini. Lagi pula, Alex juga bersedia untuk mencoba, kan?”
Sejenak, aku merenungkan perkataan paman. Bukan tentang masalah siapa yang menemaniku mencoba. Hanya saja ... bagaimana mennjelaskannya, ya? Sedang aku sendiri bingung dengan apa yang kurasakan. Jika tidak mencoba saat ini, ada waktu tiga tahun lagi untuk mencoba. Setelah itu, aku akan melewati tahun maksimal mendaftar. Di pack ini, di atas usia dua puluh tahun sudah tidak bisa. Begitu melewati usia itu dan belum mendafar, maka pilihan terakhir adalah menjadi penduduk biasa. Tanpa pelatihan bertarung, dan dipandang rendah.
Aku, mana mau dipandang rendah? Sudah fisik serigalaku berkekurangan, kemampuan biacara yang tidak bagus, masih harus direndahkan, pula. Jadi ....
“Aku ... a ... kan maju!” tekadku. Aku harus maju untuk mencoba, kan? Jika gagal di tahun ini, setidaknya ada waktu tiga tahun untukku belajar.
Kulihat paman tersenyum. Mungkinkah keputusanku ini sudah benar? Di tahun-tahun yang lalu, aku belum pernah melihat ujian seperti apa. Apakah melalui serangkaian tes yang sulit? Atau bagaimana?
“Jika begitu, majulah bersama Alex! Paman akan melihatmu dari sini. Dan, oh! Jangan lupa berdoa. Paman akan ada untukmu saat dibutuhkan.”
Aku mengangguk. Di depanku, Alex tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya. Kusambut saja daripada dia tersinggung. Karena sebelum ini pernah ada yang mengulurkan tangan padaku, tak tersambut dan ia marah. Bukan salahku, kan? Aku terlalu kaku untuk memulai pertemanan, karena sejak kecil aku selalu diajuhi.
Aku bukan berasal dari keluarga lengkap. Itu yang kutahu, dan mereka katakan. Bukan secara langsung, hanya selentingan kecil yang kadang terdengar. Tahu, kan? Bahwa bangsa kami—werewolf, memiliki indera pendengar yang tajam? Mungkin itu yang menyebabkan aku bisa mendengarnya dari jarak yang jauh.
Sangat jarang ada keluarga dengan orang tua tunggal. Kalaupun ada, sudah pasti akan memiliki luka betrayal. Luka betrayal sendiri adalah penunjuk bahwa pasangannya telah tiada. Entah tertolak atau meninggal. Ah, pamanlah yang menceritakan dongeng ini padaku. Jadi, kusimpulkan sendiri perlakuan mereka berdasar cerita itu.
“Nah, sepertinya sudah banyak yang datang, ya?” Suara nyaring itu terdengar lagi dan memecah lamunanku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, dan mendapati bahwa lapangan sudah hampir penuh. Tidak penuh dalam artian yang sebenarnya memang. Hanya saja, aku belum pernah mendapati lapangan berisi sebanyak ini.
“Sudah cukup, ya?” Suara itu memulai lagi. “Dan sebaiknya kalian sedikit menjaga jarak. Atur agar setidaknya cukup untuk tiga orang yang berdiri.”
Aku melihat sekeliling dan banyak yang mengambil jarak. Aku pun begitu, berusaha untuk mengambil jarak aman. Ternyata, lapangan yang awalnya kukira sudah penuh ini, masih bisa menampung jumlah dengan posisi renggang. Kupikir, ada benarnya karena penduduk di sini tak terlalu banyak. Maklum, pack ini termasuk kawanan yang kecil, dengan jumlah Schouts tak sampai seratus.
“Selesai!” teriaknya. Kami semua berhenti bergerak begitu suara itu diteriakkan. Suara yang berbeda dari yang tadi kudengar. Dari nadanya, sepertinya untuk kali ini alpha langsung yang berbicara. Jika hanya beta-nya, tak mungkin efeknya bisa sebegini besar. Alpha memiliki hal yang membuat semua tunduk dalam sekejap.
Menurut yang kuketahui, hanya boleh ada satu alpha yang berada di pack. Alpha memiliki sikap otoriter yang besar, dan ada lebih dari satu bisa menjadi masalah. Sikap mendominasi akan memicu sebuah perselisihan. Pemimpin pack tak harus dari keturunan. Siapa saja yang menjadi alpha, dan perebutan kekuasaan bukanlah hal yang luar biasa. Kau bisa mengambil tahta alpha, jika kau terlahir menjadi satu-satunya, atau membunuh alpha sebelumnya. Siapa pun diperbolehkan, selama itu memiliki kekuatan yang cukup untuk merebut gelarnya. Simple, kan?
“Dalam hitungan kelima, kaian sudah harus berubah, atau minimal proses perubahan. Dan kalian akan dipilih berdasar fisik serigala kalian.”
Lagi-lagi suara itu terdengar.
Bagaimana ini? Mau tak mau aku harus berubah. Meski sang alpha tidak memberitahuku akibatnya jika tidak berubah, tetap saja hal itu bukan sesuatu yang patut disepelekan. Di pack ini, perkataan dan perintah alpha adalah mutlak. Kau bisa melanggarnya jika memiliki cukup keyakinan, atau minimal, nyawa cadangan. Karena alpha tak akan memberi kelonggaran sama sekali.
Dalam pikirku, mungkin tes pertama harus berubah itu memang masuk akal. Seorang werewolf bisa menyembunyikan fisik manusianya, tetapi tidak dengan fisik serigalanya. Jika fisik serigalanya bagus, besar, kekar dan bertenaga, sudah dipastikan ia werewolf yang kuat juga. Karena para werewolf lebih suka bertempur dengan bentuk serigala, tentunya. Dan fakta penunjangnya, bentuk serigala memang lebih kuat dari bentuk manusia. Meski ada juga—kata pamanku, yang lebih memilih bentuk manusia untuk bertarung.
Salah satunya ibuku. She-wolf yang lebih memilih bertarung dengan bentuk manusia, ketimbang bentuk serigala. Karena ibu adalah serigala Delta. Serigala yang kehilangan kesadaran penuh saat berubah. Dengan kata lain, saat berubah, ibuku menjadi pribadi yang berbeda. Dan contoh yang lainnya, adalah pamanku sendiri. Beliau jenis Delta, dan kemampuannya bertarung sebagai manusia begitu memukau. Aku pernah melihatnya sekali. Sayang, paman tidak diperbolehkan masuk jajaran warrior karena hal itu.
“Satu!”
Hitungan sudah dimulai. Aku harus bagaimana? Panik melanda, dan kuedarkan pandangan mencari sosok pamanku.
“Dua!”
Aku belum menemukannya. Bagaimana ini?
“Tiga!”
Masih kucari, dan ....
“Empat!”
Itu dia! Paman berusaha untuk terlihat jelas. Aku memandangnya seolah meminta persetujuan untuk berubah. Boleh, ataukah tidak?
“Lima!”
Sudah banyak geraman di sekitarku. Begitu paman mengangguk, aku siap dan berusaha berubah. Tak ingin mendapat amukan dari alpha. Aku harus berubah. Jadi, konsentrasi kupusatkan dengan hatiku. Merasakan ledakan dalam diri, dan merasakan tulang yang meremuk karena berubah. Linu, rasanya. Aku pernah mengalami patah tulang saat kecil, dan rasa patah tulang itu tak ada apa-apanya. Inilah yang membuatku enggan berubah, rasanya sangat menyakitkan. Aku ngeri membayangkan bagaimana rasanya mereka yang sering berubah. Kata pamanku—lagi, rasa itu akan berkurang seiring seringnya berubah. Akan tetapi, tentu paman tidak melakukan hal itu.
Rasanya panas sekali, setiap inchi tubuhku terasa sakit. Aku menggeram menahan agar tidak berteriak. Lalu, kurasakan tulangku bergeser sedikit demi sedikit. Sial sekali! Mengapa perubahannya tidak cepat, sih? Perubahan ini terasa menyiksa. Membuatku ingin mati saja, dan mengabaikan suara-suara geraman di sekitar. Jujur saja, suara geraman itu membuatku seolah ingin marah. Aku ingin mendatangi suara itu dan mencabiknya dengan cakar yang kurasa sudah tumbuh.
Tunggu! Cakar?
Hal terakhir yang kulihat dan setelah itu hanya gelap yang kurasa.
Di perubahanku yang pertama dan kedua, aku belum pernah merasa sedamai ini. Tak ada suara bergemuruh, geraman, atau hal yang membuatku muak. Di sini terasa sunyi, dengan mata yang masih terpejam dan sekeliling yang gelap.Rasanya damai, dan aku seolah enggan meninggalkan tempat ini.Aneh, di perubahan yang ketiga ini, tak kurasakan ikatan dengan serigalaku. Di mana dia? Bukankah seharusnya aku bisa memberi perintah padanya? Wolf akan menjadi buas tanpa perintah dari were-nya, dan begitulah! Werewolf selalu terhubung menjadi satu kesatuan yang terikat, bukan individu dan berjalan masing-masing.Keterikatan kami inilah yang membuat werewolf berbeda dengan serigala biasa.“Hai!”Sebuah suara menyapa indera pendengarku. Ah, sepertinya waktu damaiku tak bisa berlanjut lebih lama, ya. Segera kubuka mata, dan tempat yang belum pernah kutahui ada di pandangan.
"Dav! Dav! Sadarlah!"Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit."Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya."Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah."Pa ... man, kena ... pa?" Aku ter
Aku tak lagi terkejut dengan fakta ini. Sebelumnya, aku sudah tahu karena pria itu sendiri yang mengatakannya. Awalnya aku tak mau peduli, tetapi saat mendengar langsung dari Paman, aku percaya dan yakin bahwa ucapannya benar. Lalu, untuk Davian yang sudah meninggal itu, mengapa dia bisa muncul di dalam mimpiku?“Bagai … mana, dia … mun … cul? Kami … bertemu.” Hanya itu yang bisa kikatakan ada Paman. Semoga saja beliau mengerti apa yang kuucapkan, karena aku tak bisa menjelaskan panjang lebar. Keterbatasnku ini, terkadang aku sangat membencinya.“Dav, kau pasti sudah tahu jika kau Delta, kan?” Paman menanyakan hal yang sudah kutahu ini? Apa tidak salah aku mendengar? Sebagai jawabannya, aku hanya bisa mengangguk saja.“Delta memiliki kesadaran yang berbeda dari manusia dan serigalanya. Saat serigala Delta mengambil alih, maka kesadaran manusianya berada di alam la
Aku semakin bingung saja dengan semua ini. Memang, mereka yang melakukan pembunuhan dari salah satu pasangan werewolf, akan menggantikan posisinya menjadi pasangan. Namun, semudah itu hati ibuku berpindah? Semudah itu ibuku menerima kembali orang yang baru di hidupnya? Gampangan sekali.“Apa … ibu … ben … ci aku?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini pada Paman. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Sudah tahu kan, aku ini werewolf cacat. Dengan nada bicara yang gagap, dan mata sebelah wolf-ku yang buta. Aku curiga, siapa tahu Paman membawaku karena ibu ak menginginkan aku di sisinya. Yah, karena malu, mungkin. Bisa saja, kan?“Dari mana pemikiran itu berasal, Dav?”“Aku … ca … cat.”Aku memalingkan muka. Benci dengan kata yang keluar dari mulutku, tapi di satu sisi aku juga penasaran. Apa memang benar dengan fakta ini? Ak
“Mereka menyayangi lebih dari yang kau tahu, Dav. Hanya saja, keadaan masih terlalu sulit untuk kita kembali bersama. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk kita. Dan yang terbaik dan bisa kita lakukan, adalah dengan bersembunyi seperti ini.”Aku masih berusaha untuk menghapus air mata ini. Ingin menghentikannya, tetapi terlalu sulit rasanya. “Aku …,” ucapku. Tak bisa melanjutkan karena tak tahu lagi harus berkata apa.“Aku tahu jika hidup kita di sini terlalu sulit. Paman janji, akan membawamu ke tempat lain jika itu memang pilihan yang bagus. Akan tetapi, apakah kau bersedia untuk pergi? Kau mau meninggalkan tempat ini bersama Paman?”Aku menggeleng. Meninggalkan tempat ini sama sekali bukan masalah untukku. Tidak ada teman yang bisa kurindukan, tempat penuh kenangan, atau harta benda berharga lainnya. Hanya Paman, serigalaku, dan kalung ini yang kupunya sejak dulu.&nb
“Pa … man.” Tenggorokanku terasa sakit, seperti ada yang mencekiknya dan membuat napasku terhenti. Namun, aku berusaha semampuku untuk mengeluarkan suara, berharap dengan panggilan ini aku bisa membuat Paman meresponku. Seingatku, rasa sakit yang menyerangku tadi sudah tak kurasakan. Entah sudah berapa lama rasanya menghilang, sepertinya aku harus bersyukur tentang ini.“Kau sudah sadar?” tanya Paman. Suaranya terdengar begitu serak. Terakhir kali aku mengingat, tentu tidak seserak ini.“A … ir,” ucapku. Hal kedua yang sangat kuinginkan setelah Paman, tentunya. Yah, sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman apa yang terjadi. Namun, air adalah hal terpenting dan mendesak untuk saat ini.“Sebentar.”Aku masih berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Cahaya begitu terang, mungkin ini sekitar masuk waktu tengah hari. Dan ini ada
Karena tubuhku masih merasa lemah, aku hanya bisa mengangguk saja menanggapi keputusan Paman. Keputusan ini mendapatkan dukungan penuh dariku. Jadi, Paman tak akan mendapati aku yang menghalanginya.“Wah, tak kukira kau masih hidup ya, Dav.” Sebuah suara kudengar dari balik tubuh Paman. Dari berat dan nadanya, aku mengenali ini sebagai suara dari Alpha—orang yang sudah membuatku sekarat beberapa hari yang lalu.“Al … Alpha,” lirih Paman. Beliau berdiri dan langsung menunduk, begitu sosok yang kini kubenci itu masuk. Kalau saja dia tak berusaha untuk membunuhku, tentu aku masih memiliki rasa hormat padanya. Sayangnya, dia sendiri yang membuang rasa hormat dariku.“Ma .. af. Ti … dak … hormat,” ujarku terbata. Jika saja Paman tidak memberiku kode untuk memberi hormat, tentu aku tidak mau susah payah berkata. Mau bagaimana lagi, untuk berdiri saja aku masih lema
Gila! Dia mengatakan jika fisikku bagus, akan menjadikanku senjata untuk pack ini? Apa kepalanya terbentur sesuatu? Atau perlu kupukul agar kesadarannya kembali. Sungguh! Alpha gila ini tidak pernah membuatku merasa baik-baik saja. Akan tetapi, setidaknya pertama kalinya aku bersyukur memiliki tubuh yang cacat. Jika aku sempurna, tentu hal itu sudah menjadi kenyataan.Untuk kali ini, aku banyak bersyukur. Bersyukur karena tubuhku cacat—baik manusia atau serigala, dan memiliki status Delta—yang sebelum ini belum jelas. Cacat, karena tidak perlu dimanfaatkan. Dan berstatus Delta, karena sama dengan Paman. Tak bisa kubayangkan jika status kami berbeda. Mungkin akan ada banyak orang yang curiga nantinya.“Aku penasaran, Sean. Obat apa yang sudah kau berikan padanya?” tanya Alpha. Kenapa, sih, orang ini begitu banyak bertanya hal seperti itu? membuatku tak nyaman saja, dan kuyakin Paman pun begitu.Den