Share

Part 2.

“Mengapa kau tidak mencoba?”

Aku menoleh ke arah di mana suara itu muncul. Tak jauh di sana, kudapati paman yang sosoknya kucari sejak tadi.

“Aku ... tak mau, A ... yah,” jawabku. Aku tak mau berbohong padanya, meski kesempatan itu ada sekalipun. Juga, aku tak mau bersikap seolah-olah aku menyukai acara itu.

“Tak apa, setidaknya cobalah untuk saat ini. Lagi pula, Alex juga bersedia untuk mencoba, kan?”

Sejenak, aku merenungkan perkataan paman. Bukan tentang masalah siapa yang menemaniku mencoba. Hanya saja ... bagaimana mennjelaskannya, ya? Sedang aku sendiri bingung dengan apa yang kurasakan. Jika tidak mencoba saat ini, ada waktu tiga tahun lagi untuk mencoba. Setelah itu, aku akan melewati tahun maksimal mendaftar. Di pack ini, di atas usia dua puluh tahun sudah tidak bisa. Begitu melewati usia itu dan belum mendafar, maka pilihan terakhir adalah menjadi penduduk biasa. Tanpa pelatihan bertarung, dan dipandang rendah.

Aku, mana mau dipandang rendah? Sudah fisik serigalaku berkekurangan, kemampuan biacara yang tidak bagus, masih harus direndahkan, pula. Jadi ....

“Aku ... a ... kan maju!” tekadku. Aku harus maju untuk mencoba, kan? Jika gagal di tahun ini, setidaknya ada waktu tiga tahun untukku belajar.

Kulihat paman tersenyum. Mungkinkah keputusanku ini sudah benar? Di tahun-tahun yang lalu, aku belum pernah melihat ujian seperti apa. Apakah melalui serangkaian tes yang sulit? Atau bagaimana?

“Jika begitu, majulah bersama Alex! Paman akan melihatmu dari sini. Dan, oh! Jangan lupa berdoa. Paman akan ada untukmu saat dibutuhkan.”

Aku mengangguk. Di depanku, Alex tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya. Kusambut saja daripada dia tersinggung. Karena sebelum ini pernah ada yang mengulurkan tangan padaku, tak tersambut dan ia marah. Bukan salahku, kan? Aku terlalu kaku untuk memulai pertemanan, karena sejak kecil aku selalu diajuhi.

Aku bukan berasal dari keluarga lengkap. Itu yang kutahu, dan mereka katakan. Bukan secara langsung, hanya selentingan kecil yang kadang terdengar. Tahu, kan? Bahwa bangsa kami—werewolf, memiliki indera pendengar yang tajam? Mungkin itu yang menyebabkan aku bisa mendengarnya dari jarak yang jauh.

Sangat jarang ada keluarga dengan orang tua tunggal. Kalaupun ada, sudah pasti akan memiliki luka betrayal. Luka betrayal sendiri adalah penunjuk bahwa pasangannya telah tiada. Entah tertolak atau meninggal. Ah, pamanlah yang menceritakan dongeng ini padaku. Jadi, kusimpulkan sendiri perlakuan mereka berdasar cerita itu.

“Nah, sepertinya sudah banyak yang datang, ya?” Suara nyaring itu terdengar lagi dan memecah lamunanku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, dan mendapati bahwa lapangan sudah hampir penuh. Tidak penuh dalam artian yang sebenarnya memang. Hanya saja, aku belum pernah mendapati lapangan berisi sebanyak ini.

“Sudah cukup, ya?” Suara itu memulai lagi. “Dan sebaiknya kalian sedikit menjaga jarak. Atur agar setidaknya cukup untuk tiga orang yang berdiri.”

Aku melihat sekeliling dan banyak yang mengambil jarak. Aku pun begitu, berusaha untuk mengambil jarak aman. Ternyata, lapangan yang awalnya kukira sudah penuh ini, masih bisa menampung jumlah dengan posisi renggang. Kupikir, ada benarnya karena penduduk di sini tak terlalu banyak. Maklum, pack ini termasuk kawanan yang kecil, dengan jumlah Schouts tak sampai seratus.

“Selesai!” teriaknya. Kami semua berhenti bergerak begitu suara itu diteriakkan. Suara yang berbeda dari yang tadi kudengar. Dari nadanya, sepertinya untuk kali ini alpha langsung yang berbicara. Jika hanya beta-nya, tak mungkin efeknya bisa sebegini besar. Alpha memiliki hal yang membuat semua tunduk dalam sekejap.

Menurut yang kuketahui, hanya boleh ada satu alpha yang berada di pack. Alpha memiliki sikap otoriter yang besar, dan ada lebih dari satu bisa menjadi masalah. Sikap mendominasi akan memicu sebuah perselisihan. Pemimpin pack tak harus dari keturunan. Siapa saja yang menjadi alpha, dan perebutan kekuasaan bukanlah hal yang luar biasa. Kau bisa mengambil tahta alpha, jika kau terlahir menjadi satu-satunya, atau membunuh alpha sebelumnya. Siapa pun diperbolehkan, selama itu memiliki kekuatan yang cukup untuk merebut gelarnya. Simple, kan?

“Dalam hitungan kelima, kaian sudah harus berubah, atau minimal proses perubahan. Dan kalian akan dipilih berdasar fisik serigala kalian.”

Lagi-lagi suara itu terdengar.

Bagaimana ini? Mau tak mau aku harus berubah. Meski sang alpha tidak memberitahuku akibatnya jika tidak berubah, tetap saja hal itu bukan sesuatu yang patut disepelekan. Di pack ini, perkataan dan perintah alpha adalah mutlak. Kau bisa melanggarnya jika memiliki cukup keyakinan, atau minimal, nyawa cadangan. Karena alpha tak akan memberi kelonggaran sama sekali.

Dalam pikirku, mungkin tes pertama harus berubah itu memang masuk akal. Seorang werewolf bisa menyembunyikan fisik manusianya, tetapi tidak dengan fisik serigalanya. Jika fisik serigalanya bagus, besar, kekar dan bertenaga, sudah dipastikan ia werewolf yang kuat juga. Karena para werewolf lebih suka bertempur dengan bentuk serigala, tentunya. Dan fakta penunjangnya, bentuk serigala memang lebih kuat dari bentuk manusia. Meski ada juga—kata pamanku, yang lebih memilih bentuk manusia untuk bertarung.

Salah satunya ibuku. She-wolf yang lebih memilih bertarung dengan bentuk manusia, ketimbang bentuk serigala. Karena ibu adalah serigala Delta. Serigala yang kehilangan kesadaran penuh saat berubah. Dengan kata lain, saat berubah, ibuku menjadi pribadi yang berbeda. Dan contoh yang lainnya, adalah pamanku sendiri. Beliau jenis Delta, dan kemampuannya bertarung sebagai manusia begitu memukau. Aku pernah melihatnya sekali. Sayang, paman tidak diperbolehkan masuk jajaran warrior karena hal itu.

“Satu!”

Hitungan sudah dimulai. Aku harus bagaimana? Panik melanda, dan kuedarkan pandangan mencari sosok pamanku.

“Dua!”

Aku belum menemukannya. Bagaimana ini?

“Tiga!”

Masih kucari, dan ....

“Empat!”

Itu dia! Paman berusaha untuk terlihat jelas. Aku memandangnya seolah meminta persetujuan untuk berubah. Boleh, ataukah tidak?

“Lima!”

Sudah banyak geraman di sekitarku. Begitu paman mengangguk, aku siap dan berusaha berubah. Tak ingin mendapat amukan dari alpha. Aku harus berubah. Jadi, konsentrasi kupusatkan dengan hatiku. Merasakan ledakan dalam diri, dan merasakan tulang yang meremuk karena berubah. Linu, rasanya. Aku pernah mengalami patah tulang saat kecil, dan rasa patah tulang itu tak ada apa-apanya. Inilah yang membuatku enggan berubah, rasanya sangat menyakitkan. Aku ngeri membayangkan bagaimana rasanya mereka yang sering berubah. Kata pamanku—lagi, rasa itu akan berkurang seiring seringnya berubah. Akan tetapi, tentu paman tidak melakukan hal itu.

Rasanya panas sekali, setiap inchi tubuhku terasa sakit. Aku menggeram menahan agar tidak berteriak. Lalu, kurasakan tulangku bergeser sedikit demi sedikit. Sial sekali! Mengapa perubahannya tidak cepat, sih? Perubahan ini terasa menyiksa. Membuatku ingin mati saja, dan mengabaikan suara-suara geraman di sekitar. Jujur saja, suara geraman itu membuatku seolah ingin marah. Aku ingin mendatangi suara itu dan mencabiknya dengan cakar yang kurasa sudah tumbuh.

Tunggu! Cakar?

Hal terakhir yang kulihat dan setelah itu hanya gelap yang kurasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status