Di perubahanku yang pertama dan kedua, aku belum pernah merasa sedamai ini. Tak ada suara bergemuruh, geraman, atau hal yang membuatku muak. Di sini terasa sunyi, dengan mata yang masih terpejam dan sekeliling yang gelap.
Rasanya damai, dan aku seolah enggan meninggalkan tempat ini.
Aneh, di perubahan yang ketiga ini, tak kurasakan ikatan dengan serigalaku. Di mana dia? Bukankah seharusnya aku bisa memberi perintah padanya? Wolf akan menjadi buas tanpa perintah dari were-nya, dan begitulah! Werewolf selalu terhubung menjadi satu kesatuan yang terikat, bukan individu dan berjalan masing-masing.
Keterikatan kami inilah yang membuat werewolf berbeda dengan serigala biasa.
“Hai!”
Sebuah suara menyapa indera pendengarku. Ah, sepertinya waktu damaiku tak bisa berlanjut lebih lama, ya. Segera kubuka mata, dan tempat yang belum pernah kutahui ada di pandangan.
“Kau mirip ayahmu, ya?”
Aku terlonjak, dan langsung terduduk begitu mendengarnya. Kucari di mana asal suara itu berada, dan ternyata, ada seorang pria berambut navi yang duduk di sebelahku. Siapa dia? Selama ini aku sama sekali tak pernah mengenal atau bertemu dengannya.
“Kau, siapa?” tanyaku. Kulihat ia tersenyum lembut.
“Davian.”
Ha? Aku bertanya namanya, tapi mengapa dia malah memanggilku?
“Ya, ada apa? Siapa kau?”
Dia terkikik, seolah apa yang kuucapkan adalah sebuah lelucon untuknya. Memang, apa yang salah dengan ucapanku? Aku tak berbicara terlalu formal, karena kulihat kami hampir seumuran.
“Maksudku, namaku Davian,” jawabnya setelah menghentikan kikikan.
“Jadi, oh! Kita memiliki nama yang sama, ya?”tanyaku lagi. Untuk sementara ini, hanya satu kesimpulan ini saja yang muncul di benakku.
“Ya. Namaku juga Davian. Sepertinya, ibumu terlalu mencintaiku hingga memberikan namaku pada putranya. Oh, ya. Apa ayahmu tidak marah akan hal ini?”
“Ayah?”
“Iya, ayahmu.”
“Aku tak mengerti apa yang kau maksud.”
Aku bertanya-tanya akan maksudnya, tapi yang terjadi dia kembali terkikik. Semakin memusingkan rasanya. Semua hal yang ada di sini begitu membuatku asing. Mulai dari tempat, yang seperti tak memiliki ujung. Juga dengan pria aneh di sampingku, yang mengenalkan jika namanya Davian—nama yang sama denganku. Lalu, bertanya tentang ibu dan ayah. Tentu saja, aku tak salah duga jika ayah kandung yang dimaksukan. Bukan ayah yang sebenarnya pamanku itu.
Akan tetapi, tempat asing ini memberiku kenyamanan. Fakta bahwa aku tak menderita gagap di sini, membuatku senang. Ah, andai di rumah aku juga seperti ini. Maksudku, rumah dan tempat normal yang biasa aku tempati.
“Begini, Dav—ah, aneh juga menyebut nama sendiri. Tapi, aku ini dulunya adalah mate ibumu. Kau tahu mate, kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Tentu saja sangat mengetahui apa arti mate itu sendiri. Memangnya dia pikir, siapa aku? Aku bukan werewolf yang tinggal sendiri di pedalaman hutan, dan sama sekali tak mengetahui apa pun. Jadi, pengetahuan seperti ini bukan masalah untukku.
Akan tetapi, jika yang mengaku bernama sama denganku ini mate ibuku, kenapa dia ada di sini?
“Aku bilang, dulunya, kan? Dan itu berarti sebelum ibumu bersama dengan ayahmu. Mungkin, jika aku tidak gegabah dan menuruti perintah kakakku, aku akan berdiri di sampingmu sebagai sosok ayah.”
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Omongannya terlalu berbelit-belit.
“Intinya, aku adalah mate ibumu—dulunya. Sebelum ayahmu membunuhku dan menjadi mate penggantiku.”
Aku mengangguk. Tapi ... apa katanya? Ayah membunuh orang yang kini ada di sampingku ini? Itu berarti, aku bukan di tempat yang seharusnya? Bertemu arwah orang yang sudah meninggal dan ... bernama sama denganku? Aku takut, aku merinding hanya dengan membayangkannya. Karena selama ini, aku selalu takut dengan hal yang berbau mistis.
“Ja ... Jadi, bagaimana bisa ayah membunuhmu? Apakah itu sebabnya mengapa aku memiliki nama yang sama denganmu, atau anda? Karena anda adalah masa lalu ibuku?”
Bukan tanpa alasan aku menanyakannya. Ini karena jika dia mate ibuku sebelum ayah, pasti mmiliki usia yang tidak jauh berbeda dengan ibuku, kan? Jadi, jika aku tidak memanggilnya anda, terasa janggal rasanya.
“Panggil aku seperti tadi saja. Aku hanya sedikit lebih tua darimu, omong-omong. Yah, sebelum usiaku di dunia habis, tentunya.” Kulihat dia tersenyum geli. Memang, apa yang salah dengan semua ini?
“Jika an, maksudku kau sudah meninggal sejak lama, mengapa aku bisa berada di sini? Apakah ini dunia roh? Seingatku, aku sedang berubah menjadi bentuk serigalaku. Seharusnya ada ikatan di antara kami yang bisa dirasakan. Sekarang, kenapa rasa ikatan itu sama sekali tidak ada?” Akhirnya, aku tak bisa untuk memendam rasa penasaran ini lebih lama lagi. Aku harus mencari jawabannya, atau aku sama sekali tak akan bisa pernah mengerti lagi.
“Aku juga tidak tahu ini di mana, sih,” jawabnya, “aku hanya menyebut ini sebagai tempat kesunyian. Tempat di mana kita berada di alam bawah sadar. Dulu, aku pernah menemui ibumu ketika aku sudah tiada dan ibumu menyerahkan kesadarannya pada yang berhak. Saat itulah, saat terakhir aku menemuinya. Kini, tak kusangka aku malah menemukanmu di tempat ini. Apakah kau memiliki status Delta, sama seperti ibumu?”
Mulutku menganga. Status Delta, katanya? Selama ini aku sama sekali tak tahu statusku apa. Banyak yang berkata jika statusku ini sulit untuk dikenali. Terlalu kuat jika menjadi Omega atau Gamma, tetapi terlalu lemah untuk menjadi Beta. Namun, sama sekali tak kusangka jika Delta adalah pilihan yang pas. Bukankah jika aku Delta, harus memiliki mata yang berbeda dan ikatan yang terputus? Tapi ... tunggu! Aku memang benar-benar tak bisa mengetahui lebih jelas, karena warna bola mata satunya tertutup. Entah tertutup karena memang begitu sejak awal, atau ada sesuatu?
Akan tetapi, kemungkinan aku Delta tentu semakin besar, jika pria di hadapanku mengatakan bahwa ibuku juga Delta. Lalu, bagaimana dengan ayahku?
“Ibu, Delta? Dan pernah berada di tempat seperti ini bersama Paman? Oh, maaf jika aku harus memanggil Paman, ya?”
Pria itu tersenyum simpul, lalu berucap, “Aku bertemu dengannya di tempat ini, setelah dia sekarat dan aku meninggal di tangan ayahmu. Aku tak akan berbicara banyak, Dav. Tapi harus kau tahu, kau itu hebat. Kelak kau akan mengerti mengapa namaku menjadi namamu juga. Dan, jangan membenci ayahmu. Selamat tinggal.”
Usai berucap demikian, dia pergi menghilang. Tubuhnya mengeluarkan pendar putih dan perlahan memudar. Menyilaukan mata, tetapi aku tak bisa memejamkannya. Beberapa detik setelah itu, aku merasa ulu hatiku sakit. Aku berani bersumpah jika rasanya sakit sekali. Nyeri, dan terasa kebas hingga aku kembali kehilangan kesadaran karenanya.
"Dav! Dav! Sadarlah!"Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit."Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya."Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah."Pa ... man, kena ... pa?" Aku ter
Aku tak lagi terkejut dengan fakta ini. Sebelumnya, aku sudah tahu karena pria itu sendiri yang mengatakannya. Awalnya aku tak mau peduli, tetapi saat mendengar langsung dari Paman, aku percaya dan yakin bahwa ucapannya benar. Lalu, untuk Davian yang sudah meninggal itu, mengapa dia bisa muncul di dalam mimpiku?“Bagai … mana, dia … mun … cul? Kami … bertemu.” Hanya itu yang bisa kikatakan ada Paman. Semoga saja beliau mengerti apa yang kuucapkan, karena aku tak bisa menjelaskan panjang lebar. Keterbatasnku ini, terkadang aku sangat membencinya.“Dav, kau pasti sudah tahu jika kau Delta, kan?” Paman menanyakan hal yang sudah kutahu ini? Apa tidak salah aku mendengar? Sebagai jawabannya, aku hanya bisa mengangguk saja.“Delta memiliki kesadaran yang berbeda dari manusia dan serigalanya. Saat serigala Delta mengambil alih, maka kesadaran manusianya berada di alam la
Aku semakin bingung saja dengan semua ini. Memang, mereka yang melakukan pembunuhan dari salah satu pasangan werewolf, akan menggantikan posisinya menjadi pasangan. Namun, semudah itu hati ibuku berpindah? Semudah itu ibuku menerima kembali orang yang baru di hidupnya? Gampangan sekali.“Apa … ibu … ben … ci aku?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini pada Paman. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Sudah tahu kan, aku ini werewolf cacat. Dengan nada bicara yang gagap, dan mata sebelah wolf-ku yang buta. Aku curiga, siapa tahu Paman membawaku karena ibu ak menginginkan aku di sisinya. Yah, karena malu, mungkin. Bisa saja, kan?“Dari mana pemikiran itu berasal, Dav?”“Aku … ca … cat.”Aku memalingkan muka. Benci dengan kata yang keluar dari mulutku, tapi di satu sisi aku juga penasaran. Apa memang benar dengan fakta ini? Ak
“Mereka menyayangi lebih dari yang kau tahu, Dav. Hanya saja, keadaan masih terlalu sulit untuk kita kembali bersama. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk kita. Dan yang terbaik dan bisa kita lakukan, adalah dengan bersembunyi seperti ini.”Aku masih berusaha untuk menghapus air mata ini. Ingin menghentikannya, tetapi terlalu sulit rasanya. “Aku …,” ucapku. Tak bisa melanjutkan karena tak tahu lagi harus berkata apa.“Aku tahu jika hidup kita di sini terlalu sulit. Paman janji, akan membawamu ke tempat lain jika itu memang pilihan yang bagus. Akan tetapi, apakah kau bersedia untuk pergi? Kau mau meninggalkan tempat ini bersama Paman?”Aku menggeleng. Meninggalkan tempat ini sama sekali bukan masalah untukku. Tidak ada teman yang bisa kurindukan, tempat penuh kenangan, atau harta benda berharga lainnya. Hanya Paman, serigalaku, dan kalung ini yang kupunya sejak dulu.&nb
“Pa … man.” Tenggorokanku terasa sakit, seperti ada yang mencekiknya dan membuat napasku terhenti. Namun, aku berusaha semampuku untuk mengeluarkan suara, berharap dengan panggilan ini aku bisa membuat Paman meresponku. Seingatku, rasa sakit yang menyerangku tadi sudah tak kurasakan. Entah sudah berapa lama rasanya menghilang, sepertinya aku harus bersyukur tentang ini.“Kau sudah sadar?” tanya Paman. Suaranya terdengar begitu serak. Terakhir kali aku mengingat, tentu tidak seserak ini.“A … ir,” ucapku. Hal kedua yang sangat kuinginkan setelah Paman, tentunya. Yah, sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman apa yang terjadi. Namun, air adalah hal terpenting dan mendesak untuk saat ini.“Sebentar.”Aku masih berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Cahaya begitu terang, mungkin ini sekitar masuk waktu tengah hari. Dan ini ada
Karena tubuhku masih merasa lemah, aku hanya bisa mengangguk saja menanggapi keputusan Paman. Keputusan ini mendapatkan dukungan penuh dariku. Jadi, Paman tak akan mendapati aku yang menghalanginya.“Wah, tak kukira kau masih hidup ya, Dav.” Sebuah suara kudengar dari balik tubuh Paman. Dari berat dan nadanya, aku mengenali ini sebagai suara dari Alpha—orang yang sudah membuatku sekarat beberapa hari yang lalu.“Al … Alpha,” lirih Paman. Beliau berdiri dan langsung menunduk, begitu sosok yang kini kubenci itu masuk. Kalau saja dia tak berusaha untuk membunuhku, tentu aku masih memiliki rasa hormat padanya. Sayangnya, dia sendiri yang membuang rasa hormat dariku.“Ma .. af. Ti … dak … hormat,” ujarku terbata. Jika saja Paman tidak memberiku kode untuk memberi hormat, tentu aku tidak mau susah payah berkata. Mau bagaimana lagi, untuk berdiri saja aku masih lema
Gila! Dia mengatakan jika fisikku bagus, akan menjadikanku senjata untuk pack ini? Apa kepalanya terbentur sesuatu? Atau perlu kupukul agar kesadarannya kembali. Sungguh! Alpha gila ini tidak pernah membuatku merasa baik-baik saja. Akan tetapi, setidaknya pertama kalinya aku bersyukur memiliki tubuh yang cacat. Jika aku sempurna, tentu hal itu sudah menjadi kenyataan.Untuk kali ini, aku banyak bersyukur. Bersyukur karena tubuhku cacat—baik manusia atau serigala, dan memiliki status Delta—yang sebelum ini belum jelas. Cacat, karena tidak perlu dimanfaatkan. Dan berstatus Delta, karena sama dengan Paman. Tak bisa kubayangkan jika status kami berbeda. Mungkin akan ada banyak orang yang curiga nantinya.“Aku penasaran, Sean. Obat apa yang sudah kau berikan padanya?” tanya Alpha. Kenapa, sih, orang ini begitu banyak bertanya hal seperti itu? membuatku tak nyaman saja, dan kuyakin Paman pun begitu.Den
Selama tiga hari di rawat, aku sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Tentu dengan bantuan tongkat. Yah, mau bagaimana lagi? Kakiku masih sakit, karena Alpha menyakiti rusuk dan pinggangku. Kata Paman, aku akan cepat pulih jika meminum obat.Uh!Ingin muntah rasanya, saat mengingat obat yang Paman berikan untukku. Kata Paman, obat itu bagus dan langka. Beliau sampai pergi ke hutan untuk mencarinya. Dengan hidung serigala, aku merasa jika obat itu adalah darah.Cairan amis yang dihasilkan oleh makluk hidup bernyawa, yang selama ini kutahu sebagai minuman para makhluk dingin—vampire. Makhluk yang tidak memiliki cairan hangat di tubuhnya, dan bergantung pada cairan kehidupan makhluk lain. Aku ingin memandangnya jijik, tetapi begitu tahu ayahku merupakan bagian dari mereka, kuurungkan lagi rasa itu. Tak mungkin kan, aku jijik pada ayahku sendiri?Akan tetapi, tunggu!"Pa ... man, ayah ... vam ... pire?" tanyaku. Paman berada di sampingku dan memapah tubu