Share

Part 3. Dunia lainnya

Di perubahanku yang pertama dan kedua, aku belum pernah merasa sedamai ini. Tak ada suara bergemuruh, geraman, atau hal yang membuatku muak. Di sini terasa sunyi, dengan mata yang masih terpejam dan sekeliling yang gelap.

Rasanya damai, dan aku seolah enggan meninggalkan tempat ini.

Aneh, di perubahan yang ketiga ini, tak kurasakan ikatan dengan serigalaku. Di mana dia? Bukankah seharusnya aku bisa memberi perintah padanya? Wolf akan menjadi buas tanpa perintah dari were-nya, dan begitulah! Werewolf selalu terhubung menjadi satu kesatuan yang terikat, bukan individu dan berjalan masing-masing.

Keterikatan kami inilah yang membuat werewolf berbeda dengan serigala biasa.

“Hai!”

Sebuah suara menyapa indera pendengarku. Ah, sepertinya waktu damaiku tak bisa berlanjut lebih lama, ya. Segera kubuka mata, dan tempat yang belum pernah kutahui ada di pandangan.

“Kau mirip ayahmu, ya?”

Aku terlonjak, dan langsung terduduk begitu mendengarnya. Kucari di mana asal suara itu berada, dan ternyata, ada seorang pria berambut navi yang duduk di sebelahku. Siapa dia? Selama ini aku sama sekali tak pernah mengenal atau bertemu dengannya.

“Kau, siapa?” tanyaku. Kulihat ia tersenyum lembut.

“Davian.”

Ha? Aku bertanya namanya, tapi mengapa dia malah memanggilku?

“Ya, ada apa? Siapa kau?”

Dia terkikik, seolah apa yang kuucapkan adalah sebuah lelucon untuknya. Memang, apa yang salah dengan ucapanku? Aku tak berbicara terlalu formal, karena kulihat kami hampir seumuran.

“Maksudku, namaku Davian,” jawabnya setelah menghentikan kikikan.

“Jadi, oh! Kita memiliki nama yang sama, ya?”tanyaku lagi. Untuk sementara ini, hanya satu kesimpulan ini saja yang muncul di benakku.

“Ya. Namaku juga Davian. Sepertinya, ibumu terlalu mencintaiku hingga memberikan namaku pada putranya. Oh, ya. Apa ayahmu tidak marah akan hal ini?”

“Ayah?”

“Iya, ayahmu.”

“Aku tak mengerti apa yang kau maksud.”

Aku bertanya-tanya akan maksudnya, tapi yang terjadi dia kembali terkikik. Semakin memusingkan rasanya. Semua hal yang  ada di sini begitu membuatku asing. Mulai dari tempat, yang seperti tak memiliki ujung. Juga dengan pria aneh di sampingku, yang mengenalkan jika namanya Davian—nama yang sama denganku. Lalu, bertanya tentang ibu dan ayah. Tentu saja, aku tak salah duga jika ayah kandung yang dimaksukan. Bukan ayah yang sebenarnya pamanku itu.

Akan tetapi, tempat asing ini memberiku kenyamanan. Fakta bahwa aku tak menderita gagap di sini, membuatku senang. Ah, andai di rumah aku juga seperti ini. Maksudku, rumah dan tempat normal yang biasa aku tempati.

“Begini, Dav—ah, aneh juga menyebut nama sendiri. Tapi, aku ini dulunya adalah mate ibumu. Kau tahu mate, kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Tentu saja sangat mengetahui apa arti mate itu sendiri. Memangnya dia pikir, siapa aku? Aku bukan werewolf yang tinggal sendiri di pedalaman hutan, dan sama sekali tak mengetahui apa pun. Jadi, pengetahuan seperti ini bukan masalah untukku.

Akan tetapi, jika yang mengaku bernama sama denganku ini  mate ibuku, kenapa dia ada di sini?

“Aku bilang, dulunya, kan? Dan itu berarti sebelum ibumu bersama dengan ayahmu. Mungkin, jika aku tidak gegabah dan menuruti perintah kakakku, aku akan berdiri di sampingmu sebagai sosok ayah.”

Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Omongannya terlalu berbelit-belit.

“Intinya, aku adalah mate ibumu—dulunya. Sebelum ayahmu membunuhku dan menjadi mate penggantiku.”

Aku mengangguk. Tapi ... apa katanya? Ayah membunuh orang yang kini ada di sampingku ini? Itu berarti, aku bukan di tempat yang seharusnya? Bertemu arwah orang yang sudah meninggal dan ... bernama sama denganku? Aku takut, aku merinding hanya dengan membayangkannya. Karena selama ini, aku selalu takut dengan hal yang berbau mistis.

“Ja ... Jadi, bagaimana bisa ayah membunuhmu? Apakah itu sebabnya mengapa aku memiliki nama yang sama denganmu, atau anda? Karena anda adalah masa lalu ibuku?”

Bukan tanpa alasan aku menanyakannya. Ini karena jika dia mate ibuku sebelum ayah, pasti mmiliki usia yang tidak jauh berbeda dengan ibuku, kan? Jadi, jika aku tidak memanggilnya anda, terasa janggal rasanya.

“Panggil aku seperti tadi saja. Aku hanya sedikit lebih tua darimu, omong-omong. Yah, sebelum usiaku di dunia habis, tentunya.” Kulihat dia tersenyum geli. Memang, apa yang salah dengan semua ini?

“Jika an, maksudku kau sudah meninggal sejak lama, mengapa aku bisa berada di sini? Apakah ini dunia roh? Seingatku, aku sedang berubah menjadi bentuk serigalaku. Seharusnya ada ikatan di antara kami yang bisa dirasakan. Sekarang, kenapa rasa ikatan itu sama sekali tidak ada?” Akhirnya, aku tak bisa untuk memendam rasa penasaran ini lebih lama lagi. Aku harus mencari jawabannya, atau aku sama sekali tak akan bisa pernah mengerti lagi.

“Aku juga tidak tahu ini di mana, sih,” jawabnya, “aku hanya menyebut ini sebagai tempat kesunyian. Tempat di mana kita berada di alam bawah sadar. Dulu, aku pernah menemui ibumu ketika aku sudah tiada dan ibumu menyerahkan kesadarannya pada yang berhak. Saat itulah, saat terakhir aku menemuinya. Kini, tak kusangka aku malah menemukanmu di tempat ini. Apakah kau memiliki status Delta, sama seperti ibumu?”

Mulutku menganga. Status Delta, katanya? Selama ini aku sama sekali tak tahu statusku apa. Banyak yang berkata jika statusku ini sulit untuk dikenali. Terlalu kuat jika menjadi Omega atau Gamma, tetapi terlalu lemah untuk menjadi Beta. Namun, sama sekali tak kusangka jika Delta adalah pilihan yang pas. Bukankah jika aku Delta, harus memiliki mata yang berbeda dan ikatan yang terputus? Tapi ... tunggu! Aku memang benar-benar tak bisa mengetahui lebih jelas, karena warna bola mata satunya tertutup. Entah tertutup karena memang begitu sejak awal, atau ada sesuatu?

Akan tetapi, kemungkinan aku Delta tentu semakin besar, jika pria di hadapanku mengatakan bahwa ibuku juga Delta. Lalu, bagaimana dengan ayahku?

“Ibu, Delta? Dan pernah berada di tempat seperti ini bersama Paman? Oh, maaf jika aku harus memanggil Paman, ya?”

Pria itu tersenyum simpul, lalu berucap, “Aku bertemu dengannya di tempat ini, setelah dia sekarat dan aku meninggal di tangan ayahmu. Aku tak akan berbicara banyak, Dav. Tapi harus kau tahu, kau itu hebat. Kelak kau akan mengerti mengapa namaku menjadi namamu juga. Dan, jangan membenci ayahmu. Selamat tinggal.”

Usai berucap demikian, dia pergi menghilang. Tubuhnya mengeluarkan pendar putih dan perlahan memudar. Menyilaukan mata, tetapi aku tak bisa memejamkannya. Beberapa detik setelah itu, aku merasa ulu hatiku sakit. Aku berani bersumpah jika rasanya sakit sekali. Nyeri, dan terasa kebas hingga aku kembali kehilangan kesadaran karenanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status