Home / Romansa / Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan / BAB 49 — Sore di Sungai Sumida: Awal Kecemburuan Halus

Share

BAB 49 — Sore di Sungai Sumida: Awal Kecemburuan Halus

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-12-16 09:16:56

Angin sore Tokyo menyentuh wajah Nayla begitu mereka keluar dari stasiun Asakusa. Udara dingin bercampur aroma sungai membuat langkahnya otomatis melambat. Matahari mulai turun, mewarnai langit dengan gradasi jingga pucat yang memantul di permukaan Sungai Sumida.

Deretan bangunan, kapal wisata, dan pepohonan yang bergerak pelan diterpa angin menciptakan suasana yang… tenang. Tenang sekali, sampai Nayla merasakan sesuatu menghangat pelan di dadanya. Entah karena cuacanya, karena pemandangannya—atau karena laki-laki di sampingnya.

Rafael berjalan beberapa langkah lebih dulu. Tangannya masuk ke kantong mantel, wajahnya mengarah ke sungai. Profil sampingnya terkena cahaya senja, membuat garis rahangnya terlihat tegas.

Nayla mengembuskan napas.

Kenapa orang ini selalu tampak diberkati lighting bagus setiap saat?

Rafael menoleh. “Sampai juga.”

“Hmm,” Nayla mengangguk, menatap air yang berkilau. “Bagus banget, ya.”

“Biasanya kamu kalau lihat pemandangan gini langsung minta foto.”

“Ya
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    BAB 58 — Pertemuan Pagi Itu

    Rafael datang lima menit lebih awal. Bukan karena ingin terlihat siap, tapi karena semalaman ia tidak benar-benar tidur. Kafe kecil di pojokan Senopati itu masih sepi. Aroma roti hangat dan kopi baru diseduh memenuhi udara. Kursi-kursi masih kosong, hanya pelayan yang mondar-mandir menyiapkan meja. Rafael duduk menghadap kaca besar, agar ia bisa melihat ketika Arman tiba. Ia membuka jam tangan, seolah memastikan kembali bahwa ia tidak salah waktu. Padahal bukan itu yang membuatnya gelisah. Yang membuatnya gelisah adalah satu hal: Bagaimana ia harus menjelaskan Nayla tanpa menghancurkan semuanya? Pintu kaca berbunyi kecil. Arman masuk. Rafael sudah menduga ekspresi apa yang akan ia lihat—tapi tetap saja terasa berat saat kenyataannya muncul di depan mata. Arman berjalan dengan langkah tegas, wajahnya serius, bukan marah, tapi juga bukan wajah ramah seorang sahabat yang sudah berteman bertahun-tahun. Itu wajah seseorang yang memegang kebenaran tapi belum tahu harus meletakkannya

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    BAB 57 — Pertanyaan yang Tak Terelakkan

    Rafael belum sempat menyalakan lampu apartemen ketika ponselnya bergetar untuk ketiga kalinya. Ia menghela napas pendek, menatap layar sebentar. Nama yang muncul tidak mengejutkan—dan justru itu yang membuat jantungnya terasa menegang. Arman. Nayla yang berdiri di belakangnya langsung berhenti merapikan tali tas. “Itu… dia?” Rafael menoleh dan mengangguk kecil. “Iya.” Nada suaranya tidak keras, tidak panik, tapi jelas berbeda. Lebih berat. Lebih waspada. Nayla menggigit bibir bawahnya. “Kamu… mau angkat?” “Harus.” Rafael menepuk perlahan kepala Nayla, sebuah gerakan singkat yang seolah berkata, tenang, aku di sini. Lalu ia melangkah ke ruang tamu dan menggeser pintu balkon sedikit—bukan untuk bersembunyi, tapi supaya Nayla tidak mendengar seluruh percakapan dan semakin cemas. Namun Nayla justru maju dua langkah, berdiri di lorong, menatap punggung Rafael sambil meremas sweaternya. Ia tidak ingin mendengar semuanya, tapi juga tidak sanggup pergi. Rafael menekan tombol hijau.

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    BAB 56 — Yang Harus Dijaga dan Yang Harus Diwaspadai

    Begitu Arman menghilang di antara kerumunan bandara, Nayla masih berdiri mematung di tempat. Suaranya hilang, detaknya kacau, dan napasnya terasa tidak stabil. Troli di depan Rafael bahkan tidak ia lihat lagi—yang ada hanya satu kalimat yang berputar-putar di kepalanya: “Setelah ini… keadaan nggak akan sama lagi.” Nayla memegangi lengan sweaternya, mencoba menenangkan diri, tapi semakin ia berpikir, semakin panik dirinya. “Rafael… itu tadi… kita ketahuan, kan?” suaranya kecil, hampir tak terdengar. Rafael kembali mendorong troli dengan pelan, lalu mendekat ke arah Nayla. “Nay, lihat aku.” Ia menunduk sedikit agar sejajar dengannya. “Tenang dulu.” “Tadi dia nanya soal Larissa… dan kamu nggak jawab apa-apa. Itu—itu berarti dia curiga. Sangat curiga.” Nayla menunduk, seolah takut melihat reaksi Rafael. “Aku… aku bikin kamu dalam masalah, ya?” Rafael langsung menggeleng. “Nggak.” Nadanya tegas tapi lembut. “Bukan kamu.” “Tapi—” “Nayla.” Rafael menghela napas, satu tangannya menyent

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    BAB 55 — Kembali Ke Tanah Air

    Nayla tidak tidur nyenyak malam itu. Bukan karena lelah, bukan pula karena cuaca Kyoto yang mulai dingin. Tapi karena sesuatu yang masih terasa di dadanya—campuran hangat, malu, dan perasaan yang belum ia berani beri nama. Setiap kali ia menutup mata, ia teringat lagi bagaimana Rafael memandangnya siang tadi. Tatapan yang bukan sekadar “kagum”, bukan sekadar “senang”, tapi seperti… ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari itu. Dan itu menakutkan. Dan menyenangkan. Dan membingungkan. Terlalu membingungkan. Nayla berguling di tempat tidur. “Aduh… kenapa sih aku begini?” Rafael yang sudah tertidur di sisi lain ranjang—setelah ia dengan panik menarik selimut dan memunggungi laki-laki itu selama beberapa jam—tiba-tiba bergerak kecil. “Apa?” gumamnya setengah sadar. “T-tidak apa-apa,” Nayla buru-buru berbalik, memejamkan mata kuat-kuat. Rafael tidak menjawab lagi. Napasnya kembali teratur. Entah kenapa, mendengar kepastian bahwa Rafael tidur justru membuat Nayla makin susah tidur. “

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    BAB 54 — Kejutan yang Tidak Rafael Duga

    Pagi di Kyoto terasa berbeda. Entah karena udara yang lebih hangat dari biasanya, atau karena Nayla bangun dengan jantung yang berdebar tidak karuan sejak membuka mata. Hari keenam di Jepang—dan besok mereka sudah kembali ke Indonesia. Seharusnya ia sedih. Tapi yang terasa justru… gelisah manis yang mengalir seperti listrik lembut. Rafael masih tidur ketika Nayla bangun. Wajahnya tenang, sedikit berantakan dengan rambut yang jatuh ke dahi. Napasnya teratur. Ada sesuatu dalam ketenangan itu yang membuat dada Nayla terasa hangat—hangat yang agak menyakitkan, seperti terlalu sayang pada sesuatu yang bukan milik sepenuhnya. Ia memandangi Rafael beberapa detik lebih lama. Lalu ia ingat tujuannya. Hari ini ia ingin memberi sesuatu. Bukan barang. Bukan kata-kata. Tapi… keberanian. “Sekali ini saja,” gumamnya pelan pada diri sendiri. “Sebagai terima kasih.” Rafael terbangun ketika matahari sudah naik cukup tinggi. Ia menoleh ke arah tempat tidur yang setengah kosong. “Nay?” Suara showe

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    BAB 53 — Dua Kursi di Shinkansen

    Kereta bergerak masuk ke peron Tokyo Station dengan kecepatan yang membuat angin menyibakkan jilbab Nayla. Shinkansen tipe Hikari itu meluncur seperti panah putih panjang, elegan dan nyaris tanpa suara kecuali desis rem pelan saat berhenti. Nayla terpukau. “Rafael… ini cepat banget ya bentuknya aja udah kelihatan mahal,” katanya sambil sedikit membetulkan jilbab. Rafael tertawa kecil. “Ini kereta, bukan cowok. Nggak usah kamu nilai mahal atau murah.” Nayla melotot. “Maksud aku—” “Aku tahu.” Rafael sengaja menyenggol bahunya pelan. “Kamu lucu aja kalau ngomong spontan.” Nayla ingin jatuh ke rel saat itu juga. Mereka naik, disambut interior kereta yang bersih, tenang, dan wangi. Kursi mereka berada di dekat jendela. Rafael mempersilakan Nayla masuk duluan. “Duduk di samping jendela biar kamu bisa lihat pemandangannya.” “Kamu nggak mau di jendela?” “Aku lihat kamu aja cukup.” Nayla memukul lengannya. “Rafael…” “Tuh kan marah lagi.” “Aku nggak marah!” “Bohong.” Nayla menutu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status