Share

Bab 4. Pria di Resto

Sementara, Viona tak sedikitpun mampu berbicara. Ia merasa tak punya bahan untuk berkata-kata pada perempuan itu. Semua sudah diwakilkan oleh Dion. Selama gadis muda itu mempresentasikan rancangannya, Viona dapat merasakan bahwa, gadis itu adalah gadis yang sangat cerdas dan mempunyai daya tarik yang sangat luar biasa. Tatapannya mampu meluruhkan siapa saja yang memandang di mata indah berbulu lebat dan lentik itu. Ketika ia bertanya tentang pendapat Dion, Viona merasakan, sebuah rasa asing di kalbunya. Ia sedikit tidak menyukai senyum manis yang tercetak indah di bibir sensual wanita cantik itu. Walau ia tahu, Dion tidak begitu acuh tentang pesona yang di miliki wanita itu. Namun, tetap saja, ia merasa sesuatu yang begitu ia takutkan.

 “Okey! Saya rasa semua sudah clear. Tinggal pelaksanaan saja. Ohya, Pak Dion, sebagai deal-nya kerja sama ini, saya harap Bapak mensyahkan akad kita. Tolong tanda tangangi surat ini dan mohon kirimkan uang jadinya kesepakatan. Nanti akan saya kirimkan rekap biayanya. Karena, untuk dekorasi, ini diluar kesepakatan kita sebelumnya,” ucapnya kemudian pada Dion.

“Oh, okey! Saya akan mentransfer uang muka nanti setelah berkas saya terima. Selanjutnya akan dibereskan saat semua pekerjaan selesai,” sambung Dion. Gadis yang terlihat masih muda itu tersenyum.

“Terima kasih, Bapak Dion!” ucapnya sambil kembali mengulurkan tangan lembutnya yang putih dan tersenyum pada Dion. Dion menyambutnya dengan senyuman. Lalu, gadis itu menyalami Viona dan berlalu setelah mengangguk pada Dion dan Viona. Melangkah anggun meninggalkan teras menuju mobilnya yang terparkir di sebelah mobil Dion. 

Dion menatapi kepergian gadis itu hingga ia memasuki mobilnya. Hingga, mobil Honda Civic merah itu menghilang di balik pagar, melaju tenang di aspal.

“Vie, bagaimana? Kira-kira kamu setuju dengan pendapat Mbak Verille tadi, ‘kan? Atau ada yang mau kamu ubah?” tanya Dion kemudian. Padahal, Viona sempat kecewa dengan pertanyaan itu. Mengapa Dion baru mempertanyakan pendapatnya setelah ia menerima semua usulan Verille tadi? Bukankah tadi ia bilang, dialah permaisuri penghuni istana ini. Maka, dekor yang akan di lakukan sesuai dengan pintanya. Faktanya, semua pendapatnya tidak dibutuhkan. Jangannya menjadi tukang ide tunggal. Bahkan, ia tak mempunyai pendapat sama sekali tadi saat bersama Verille. Ah, sudahlah! Rintihnya.

Ia tidak ingin mempersoalkan itu pada Dion. Ia tak mau hubungan harmonis mereka hancur gara-gara itu. Viona pun menjawab pertanyaan Dion dan mengabaikan kata hati yang berbisik jahat di kalbunya.

“Udah, Mas! ‘Kan udah deal, juga? Ia memang cantik dan pinter,” ucapnya kemudian sambil menoleh ke halaman. Kening Dion mengernyit mendengar kalimat Viona.

“Lho, apa hubungannya antara dia cantik dan pinter sama cocok atau enggaknya dekorasi , Vie?” tanya Dion mengejutkan lamunan Viona. Viona menoleh setelah sadar ucapannya barusan ngelantur.

“Eh, enggak! Maksudku, ia memang pinter dalam mendekor, bisa membayangkan hal yang kira-kira tepat di padukan.” Dion menghempaskan napas kasar.

“Namanya juga Dekorator, ya harus pinterlah! Makanya, orang mau bayar ia mahal,” sahut Dion. Viona tersenyum samar.

“Udah, ah! Yuuk! Mas mau ajak kamu makan siang di suatu tempat. Kata teman-teman di sana menunya enak-enak. Suasananya romantis. Mas ingin menikmati makan kita di sana,” ucap Dion sambil menggenggam jemari Viona.

“Mas, apa nggak sebaiknya kita makan di rumah saja? Aku tadi masak banyak, lho!” sanggah Viona.

“Biar aja. Anggap hari ini hari kita,” ucap Dion. Viona akhirnya mengalah dan mengikuti langkah suaminya ke mobil yang terparkir di halaman.

“Mas kami pulang dulu, ya?” ucap Dion pada salah seorang pekerja yang disambut orang itu dengan acungan tangan ke udara. Viona duduk dengan patuh ketika Dion membukakan pintu samping kemudi. Kemudian, mobil pun melaju di jalanan sepi itu memasuki pusat kota.

***

Di sebuah restaurant yang cukup besar dan ramai, Dion dan Viona duduk di salah satu sudut ruangan. Dion menyantap makanan dengan lahapnya. Sementara, Viona menyuap makanannya dengan pelan dan santai.

“Kenapa? Kamu nggak selera? Apa nggak seenak makananmu di rumah?” tanya Dion menggoda Viona. Viona menoleh.

“Nggak lah, Mas! Masakannya enak, kok!” sahutnya sambil tersenyum tipis.

“Ya, udah, Makan! Ngapain bengong?” Viona menghempas napas dan menyuap makanannya pelan.

“Mas, kau benar tidak tertarik kalau melihat wanita secantik dan semuda Mbak Verille tadi?”

Suapan Dion terhenti seketika. Ia menoleh kaget pada Viona. Lalu, menahan kekehannya mengejek wanita itu.

“Jadi, ceritanya kamu cemburu?” Viona membelalak dengan raut memerah.

“Nggak! Nggak  juga, sih! Cuma ….”

“Udah, bilang saja kamu cemburu!” ucap Dion sambil menatap iris coklat Viona yang terkesan malu.

“Aku bilang enggak, Mas! Aku tahu Mas itu nggak mudah jatuh cinta,” jawab Viona menutupi rasa malunya karena perasaannnya diketahui Dion.

“Siapa sih, yang nggak tertarik sama gadis keg dia! Dia cukup menawan. Tubuhnya tinggi, cantik dan cerdas,” sahut Dion sambil terus menyuap santapannya. Viona mulai tercekat. Ia merasa sulit menelan salivanya sendiri. “Enak juga tuh kalau punya anak dari dia,” sambung Dion dengan raut seakan menerawang, seakan sedang menghayalkan sesuatu yang indah. Hal itu membuat raut Viona berubah drastis. Ia menekur sambil memotong makanannya dengan pelan. Wajahnya terlihat murung.

“Mas serius? Kalau rasanya Mas mulai tertarik dengan wanita lain, ya udah! Mas bisa ninggalin aku saja. Asal jangan bohongi aku kayak Mas Divo. Aku nggak kuat, Mas.”

 “Ha … ha … ha!” Gelak tawa Dion pun pecah, membuat beberapa orang menoleh pada mereka.

“Kenapa tertawa?” tanya Viona. “Mas senang melihat aku begini?”

Dion  kembali terkekeh.

“Beneren cemburu nih kayaknya. Makanya, kasih aku seorang bayi yang lucu!” ucap Dion sambil meraih sepotong cumi dari dalam piring yang ada di hadapannya. Ia tidak acuh pada Viona yang membelalak menatapnya.

Padahal, ia sedikitpun tidak terpikir lagi tentang gadis pendekor itu. Namun, entah mengapa ia masih saja betah mempermainkan Viona.

Viona yang tidak mengetahui sama sekali apa yang Dion pikirkan, menghentikan gerakannya dan meletakkan sendok serta garpu pelan di piring. Ia menatap Dion dengan tatapan sayu.

“Mas memang niat mencari perempuan lain dengan alasan ini? Mas sengaja mencari alasan yang enggak bisa aku luluskan!” Dion masih tak peduli dan tetap menyuap makanannya tanpa menoleh sedikitpun pada Viona.

“Enggaklah! Cuma Mas benar-benar mau anak, Vie. Kamu enggak mau kan suamimu yang ganteng ini di raih wanita lain?” tanyanya lagi tanpa menyerah.

“Mas serius?”

“Ya, iyalah! Serius ini. Mas ingin punya baby dari kamu Viona, anak kita!” tekan Dion.

“Nggak, yang aku maksud tentang wanita itu,” ucap Viona. Kali ini Dion yang menghentikan gerakannya dan menatap Viona.

“Masa bodo sama wanita cantik! Mas cuma pengen punya anak. Kangen direcokin anak kecil yang bisa Mas bawa bermain. Bayu dan Kanaya sudah besar, mereka tentunya tidak bisa bermain seperti dulu lagi.”

Viona terpekur. Hatinya melemah. Ia paham, suaminya itu benar-benar sangat merindukan serang bayi di antara mereka. Viona terdiam dengan wajah sedih, Dion pun akhirnya hiba juga. Ia mengusap punggung tangan Viona lembut.

“Kamu bisa memikirkannya dulu. Masih banyak waktu, kok!” ucapnya kemudian.

Usai menikmati makannya, Viona dan Dion pun beranjak pergi dari tempat itu. Dion berhenti di meja kasir. Sementara, Viona yang masih terganggu dengan permintaan Dion terus melangkah ke luar dari resto sambil menekur, memikirkan ucapan Dion yang terkesan serius. Hingga tanpa sadar, tubuhnya membentur sesosok lelaki bertubuh tegap. Lelaki itu kaget dan membuka kaca matanya sesaat menatap Viona yang ternganga.

Viona mengangkat wajahnya. Dua netranya membulat dan wajahnya memucat karena terkejut, menyadari telah menabrak seseorang. Tanpa sempat melihat wajah orang itu saat sunglasses-nya terbuka, Viona menunduk minta maaf padanya. Lelaki yang ditemani beberapa lelaki bertubuh kekar dan  berseragam berwarna gelap itu terdiam kaku menatap Viona. Sebuah senyum tersunging di bibirnya.

“Maaf, Anda harus hati-hati, Nyonya. Anda telah menabrak Tuan kami,” ucap salah satu lelaki yang mengiringi lelaki itu. Viona kembali lebih menunduk dan meminta maaf. Lalu, beringsut ke samping untuk memberi jalan pada rombongan berwajah dingin itu.

Beberapa detik terpaku, lelaki itu melangkah melewati Viona tanpa kata, meninggalkan Viona yang masih menunduk.

“Kenapa?” tanya Dion saat sudah berada di dekat Viona.

“Aku tidak sengaja menabrak lelaki itu, Mas. Dan aku minta maaf?” sahut Viona. Dion ikut ikut melirik sosok lelaki yang membelakangi dan makin menjauh dari tempatnya berdiri itu. Ia Cuma dapat melihat rombongan lelaki berpakaian hitam. Salah satunya berpakaian sedikit cerah. Sepertinya, ia adalah pimpinan rombongan itu. Terlihat dari cara arogan orang itu melangkah yang diiringi oleh yang lainnya.

“Kamu kan sudah minta maaf. Ya sudah! Ayo! Kita pulang,” ajaknya sambil membawa Viona pergi dari tempat itu. Viona mengikuti berusaha mengiringi langkah kaki Dion yang berlangkah besar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status