Share

Bab 5. Tatapan Bu Widia

***

Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Dion sudah siap untuk berangkat ke kantor seperti biasanya. Namun, ia harus tetap melakukan kegiatan rutin keluarga, yaitu sarapan bersama. Seberapa harus cepatnya ia ke kantor, Dion tidak pernah mengabaikan kegiatan satu itu. Karena, selain cuma waktu makan bersamalah ia bisa bertegur sapa dengan seluruh anggota keluarga  secara sempurna, ia juga tidak ingin mengecewakan Viona yang selalu dengan senang hati menyiapkan sarapan pagi untuknya dan keluarga kecil mereka.

“Pagi, Sayang!” ucap Dion menyapa Viona pagi itu. Kebetulan, kali ini ia lebih cepat selesai berberes-beres. Jadi, bisa turun lebih cepat dari biasanya. Ketika baru muncul di ruang makan, ia sudah melihat Viona yang sedang menyajikan dan menata makanan di meja. Serta-merta ia melayangkan sebuah kecupan di pelipis isterinya itu. Viona yang memang karakter wanita yang suka menyenangkan hati suami, menyambutnya dengan senyum bahagia. Tentu saja tidak di hadapan Bu Widia dan Kanaya. Bagaimana pun, Viona selalu menjaga perasaan dua wanita berbeda generasi itu. Agar kemesraan mereka tidak menimbulkan hal negative dan kecemburuan di antara mereka. 

Namun, Viona salah. Ia tidak menyadari di waktu yang bersamaan, seorang wanita bertubuh gempal menatap ke arah ia dan Dion yang saling tersenyum di area meja makan. Wanita itu menatapnya dengan pandangan yang tidak dimengerti.

Walau mereka telah hidup bersama selama beberapa tahun. Bahkan, wanita itu sudah mengakui Viona sebagai anak sendri. Tetap saja, ia merasa tidak nyaman bila melihat kemesraan Dion dan Viona. Sebuah rasa sakit kembali membakar di hatinya.

“Ehem!” ucapnya membunyikan alarm atas keberadaannya. Seketika Dion dan Viona menoleh. Viona serta merta menepis lengan Dion yang melekat di tengkuknya. Kemudian, menjauh dengan raut sedikit tegang. Ia tersenyum canggung pada Bu Widia yang melangkah pelan memasuki ruang makan.

“Mama?” ucapnya.

“Mama sudah bangun, ya?” ikut Dion menimpali.

“Iya, sudah siang, kan?” sahut wanita itu dengan wajah dimanis-maniskan.  

“Selamat pagi, Ma,” sela Viona sopan sambil menghampiri Bu Widia dan menyalimnya. Wanita itu menyambut dengan tatapan penuh makna.

“Selamat pagi, Viona! Maaf, mama telat keluar kamar. Kamu jadi masak sendirian,” lanjutnya saat saliman Viona sudah terlepas. Ia mengambil posisi duduk sambil meraih gelas di meja, menuang teh panas ke dalam gelas bening dan ramping di dekatnya. Kemudian, meneguknya pelan.

“Nggak papa, Ma. Udah kelar, kok!” sahut Viona. Dion pun mengambil posisi di tempat biasa ia duduk sebagai kepala keluarga.

Tak berapa lama, seorang gadis berwajah kebule-bulean dan rambut lurusnya yang sedikit terang serta berseragam putih abu-abu memasuki ruangan itu dengan raut gembira. Dion mendelik dan menatapi gadis itu dengan mengulum senyum.

“Hai, Dad, Mom, selamat pagi!” ucap gadis berlesung pipi itu hangat. Viona dan Dion tersenyum bersamaan dan menoleh ke arah suara. Kanaya mendekati, menyalim kedua tangan mereka dan mencium kedua pipi Dion dan Viona hangat. Viona tersenyum, demikian juga dengan Dion.

“Cantik mommy, seneng banget hari ini,” goda Viona.

“Iya, dong, Mi! ‘Kan Mommy yang ajarin, harus jalani hidup dengan keceriaan, biar makin cantik terus kayak Mommy. Iya, kan, Dad?” tanyanya. Dion tersenyum. “Iya, dong!” sahut Dion.

“Kak Bayu mana, Mom? Kok belum turun? Pasti dandannya lama lagi, nih,” goda Kanaya. Viona dan Dion sama-sama tersenyum.

“Biar cakep nggak papa. Asal jangan sampe susah bedain Gender aja!” sahut Viona.

“Bedalah, Mi dandan cewek ama cowok itu,” timpal Dion.

“Entahlah! Entah mengapa Kak Bayu itu rempong dandannya dari Naya. Padahal, kelamaan dandanpun, kagak berubah cantik dia!” gerutu Kanaya yang disambut senyum simpul di wajah Viona dan Dion.

“Woi! Kalau ngomong di rem, jangan lost terus.”

“Addaw!” Kanaya menjerit ketika tiba-tiba mulutnya disumpal oleh jemari seorang lelaki.

“Ha … ha …! Pagi, Jelek!” ucap Bayu yang sudah berada di belakang Kanaya. Kanaya menoleh.

“Kakak tuh jelek, wee!” sahutnya sambil cemberut.

“Hai, Dad, Mom, selamat pagi!” ucap Bayu kemudian sambil menghampiri kedua orang tuanya tersebut untuk menyalim Dion dan Viona serta Bu Widia. Dion dan Viona tersenyum dengan sambutan pagi ini. Inilah keluarga mereka yang indah. Dion dan Viona telah berhasil mendidik dua buah hatinya menjadi putra-putri yang bertata krama. Mereka selalu saja berbahagia dengan semua keakraban antara satu dengan yang lain.

Namun, hal itu tidak dirasakan oleh Bu Widia. Suasana bahagia nan indah itu malah sangat melukai hati Bu Widia. Entah mengapa ia belum mampu menerima kenyataan itu dengan baik. Ia masih saja menyesali kepergian Venya yang terlalu cepat. Mestinya, Venyalah yang bahagia, bukan Viona. Meskinya, Venyalah yang kini berada di sisi Dion dan Kanaya, bukan Viona. Meskinya, senyum bahagia itu muncul di bibir tipis putrinya, bukan Viona.

Meski ia tahu, Viona telah berusaha menjadi anak dan ibu yang baik baginya dan Kanaya, tetap saja ia tak mampu menerima Viona berbahagia hidup bersama Dion anak-anaknya. Sementara, Venya—putrinya itu kini kedinginan dan kesakitan dalam kegelapan di kedalaman tanah.

Bu Widia membuang pandangan ke samping dengan kelopak mata yang memanas. Tetes embun yang bergerak cepat ke sudut netra, teramat sulit ia redam. Ia begitu sedih setiap melihat adegan dramatis itu.

“Ma, mama kenapa? Mama sakit?” tanya Dion tiba-tiba. Bu Widia kaget dan cepat-cepat mengerjapkan mata berulang kali, berupaya menghilangkan embun yang mulai mengumpul di sudut matany. Lalu, mengangkat wajah kembali sambil tersenyum pada Dion.

“Hmmm, nggak! Nggak apa-apa, Yon. Mama cuma ngerasa ada yang masuk ke mata mama barusan,” elaknya sambil mengusap mata berulang kali dan tersenyum pada Dion.

“Sekarang gimana, Ma?” tanya Viona prihatin. Wanita lima puluh tahunan itu tersenyum tipis.

“Udah! Udah baikan, kok!” jawabnya kemudian. Viona tersenyum.

“Okey, ayuk sarapan. Jangan sampai kita telat ke rutinitas kita masing-masing,” ucap Dion sambil menatap makanan yang sedang dituangkan Viona ke piringnya. Serentak semua membuka piring yang tadi tertelungkup di hadapan masing-masing.

Selanjutnya, suasana pun hening dan khidmat. Masing-masing focus dengan santapannya. Usai acara sarapan pagi, satu per satu mulai berpamitan untuk melanjutkan aktivitas masing-masing.

“Mom, aku berangkat dulu, ya?” ucap Bayu yang menghampiri Viona yang berberes di dapur. Lalu, disusul oleh Kanaya. Dua remaja itu menyalim tangan Viona dengan santun. Lalu, berlalu dari ruang itu untuk ke tempat masing-masing. Kanaya selalu di antar Bayu dengan motor gedenya ke sekolah. Namun, terkadang juga Kanaya di antar Dion ataupun Viona. Kali ini, mereka sepakat pergi bersama.

Baru saja mereka berlalu, Viona merasa kepalanya sangat pusing. Ia hampir ambruk bila saja tidak cepat berpegangan pada dinding wastafel. Dion yang kebetulan menghampirinya, melihat hal itu. Ia kaget dan segera meraih tubuh Viona dengan cemas.

“Kamu kenapa, Vie?” tanyanya kemudian. Viona menoleh dengan raut pucat. Napasnya sesak dan tubuh sedikit gemetar.

“Kau pucat sekali. Apakah kau sakit?” tanya Dion lagi. Viona menggeleng lemah.

“Nggak, Mas!” jawabnya seraya menatapi wajah Dion cemas. “Aku cuma pusing sedikit saja,” sahutnya.

“Pusing? Sejak kapan? Kita periksa, ya?” Dion menatap Viona Prihatin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status