Share

Dendam Anak Angkat
Dendam Anak Angkat
Author: Dean Han

Bab 1. Rumah Baru

Bab 1

Rumah Baru

Angin sejuk berhembus menerpa pepohonan. Semilir derunya menggugurkan helai dedaunan yang jatuh di aspal. Di kejauhan sebuah mobil CR-V hitam melaju tenang. Kemudian, berbelok di persimpangan, melambat di depan sebuah pagar besi dengan tembok tinggi yang melingkari halamannya.

Di balik pagar, berdiri kokoh sebuah rumah berlantai tiga yang belum sepenuhnya rampung. Bahkan, beberapa pekerja masih sibuk memaksimalkan penyelesaiannya. Beberapa material tergeletak di halaman yang dipenuhi pohon palem yang masih kecil-kecil itu.

Seorang lelaki tampan tersenyum di balik kemudi. Ia melirik pada wanita yang duduk anggun di sampingnya. Mobil memasuki gerbang yang pagarnya terbuka lebar. Lalu, berhenti tepat di depan bangunan. Dion menatap Viona syahdu.

‘Ini rumah kita! Sebentar lagi kita akan pindah ke sini,” ucapnya sambil menatap mesra wanita cantik berhijab di sampingnya. Lelaki gagah itu turun dari mobil dan melangkah santai ke sisi lainnya. Lalu, membukakan pintu buat Viona. Sebuah senyum mengambang di pipi berahang tegas itu. Viona turun dari mobil dengan raut terkejut penuh haru. Dua netranya tak henti menatap bangunan tinggi itu. Lalu, menatap sosok lelaki tampan di sampingnya.

“Maksud, Mas, ini rumah kita?” tanya Viona tak percaya.

“Iya! Rumah ini adalah rumah kita nanti. Mas sengaja menyembunyikannya darimu sebelum pembuatannya rampung! Sekarang tinggal finishing dan dekor interior. Mas ingin kamu yang merancangnya. Karena kamulah permaisuri di istana ini,” sambungnya lagi sambil menatap Viona penuh kasih.

Viona menutup mulutnya dengan dua netra berkaca-kaca. Sungguh! Ia tidak menyangka akan mendapatkan kejutan sebesar ini di hari ulang tahun ke dua anniversary mereka. Ia masih belum mempercayai semua itu. Ia kembali menatap lelaki tinggi atletis di sampingnya dengan tatapan lembut.

“Ini pasti sangat mahal, Mas. Apa semua tidak terlalu berlebihan? Aku tidak memerlukan semua ini, bila hal itu memberatkanmu,” ucapnya. “Bagiku, kita bisa saling mengisi selamanya saja dan kau mau menjaga hati dan kepercayaanku ke manapun kau pergi, itu sudah cukup! Hanya itu satu-satunya harapan yang kuminta padamu, Mas. Aku tidak mau tersakiti lagi,” sambungnya dengan wajah menghiba. Dion tersenyum dan mendekati Viona. Ia menatap dua iris coklat itu dengan lembut.

 “Aku tidak akan menyakiti kamu, Vi! Tapi rumah ini adalah istana untuk kita nanti. Memangnya kamu mau terus-terusan tinggal di rumah Mama Widia?” tanyanya. “Kita juga butuh tempat nyaman untuk keluarga kita. Rumah Mama Widia hanya tumpangan sementara,” ucap Dion lagi.

“Iya, tapi ini pasti sangat mahal, Mas. Kau tak harus mengeluarkan uang sebanyak ini, kan?” Viona menatap wajah lelaki yang sangat ia kasihi itu dengan wajah prihatin. “Kau pasti berkorban banyak untuk bisa mendapatkannya? Padahal, anak-anak masih butuh biaya? Aku masih baik-baik saja tinggal bersama Tante Widia, Mas. Aku telah menganggapnya sebagai ibuku sendiri. Mas tidak harus mencemaskan aku,” ucap Viona.

“Tetap saja itu tidak nyaman bagi kita, Vie. Bagaimanapun Tante Widia bukan siapa-siapa. Andaipun kelak ia mewariskannya, maka yang berhak itu cuma Kanaya. Kau mau tidak mempunyai rumah sama sekali untuk selamanya? Aku juga ingin menyempurnakan tanggung jawabku padamu dan anak-anak. Kita akan jauh lebih tenang bila tinggal di tempat sendiri. Masalah bagaimana aku mendapatkannya, kau tidak usah risau. Aku masih menafkahi kalian dengan uang halal,” ucap Dion lagi.

 “Vie!” Dion menatap wajah istrinya itu penuh makna. Menatap wajah itu dengan lekat.

“Aku akan sangat bangga bila bisa melengkapi kebutuhan anak dan istriku dengan baik. Aku ingin kita bisa lebih tentram di sini. Itu saja! Tentang anak-anak, jangan cemas, aku sudah memikirkan itu jauh hari. Semua tentang masa depan mereka sudah aku persiapkan. Tenang saja, yang penting tetaplah menjadi isteri terbaikku dan senantiasa mendampingi dalam suka dan duka ,” ucapnya lagi. Viona tersenyum dan mengangguk.

“Itu pasti, Mas. Tapi, kalau kita keluar dari rumah Tante Widia, bukankah itu akan melukai hatinya? Aku juga terkadang masih sangat merasa bersalah pada Mbak Venya, Mas. Kita seakan-akan berbahagia di atas penderitaannya.”  

“Hei!” Dion meraup wajah Viona. Rautnya berusaha meyakinkan Viona bahwa pikirannya itu adalah salah. “Kau terlalu berlebihan, Vie. Semua yang terjadi bukan salah kita, juga bukan kita penyebabnya.” Dion menghempaskan napas pelan dan mengusap wajah bersih yang menatapnya dengan tatapan sayu.

“Kita hanya mengikuti takdir dan berupaya menjalankandengan sebaik-baiknya. Kau tidak boleh terus menyalahkan diri sendiri begitu, Vie. Bukankah, kau telah berusaha menjadi ibu yang baik bagi Kanaya dan telah menjaga Tante Widia layaknya ibumu sendiri? Kurasa, Venya berbahagia di sana melihat orang-orang yang ia kasihi telah kau sayangi setulus hati. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri, Vie.” Dion terdiam sejenak menatapi Viona yang juga terdiam.

“Sudahlah! Sebaiknya kita ke dalam. Mas mau kamu melihat suasana rumah baru kita. Kebetulan, Mas sudah undang Desainer Interior yang sekaligus pendekor ruangannya. Khabar yang Mas dengar, tim mereka sangat lihai dan memiliki nilai art yang tinggi dalam mendesain. Kau pasti suka,” ucap Dion sambil meraih dan menggenggam jemari Viona hangat. Lalu, menggiring tubuh ramping berbalut tunik itu memasuki rumah berlantai tiga itu.

Viona mengikuti dengan patuh tanpa bertanya apa-apa lagi. Walaupun hatinya masih belum sempurna untuk bisa melupakan apa yang menjadi beban pikirannya. Namun, Viona masih saja mengeluarkan senyum hangat membalas ajakan suaminya itu.

Mereka memasuki teras dan ruang tamu yang masih berdebu dan dipenuhi material. Beberapa pekerja tersenyum pada Dion dan Viona. Ada yang sempat mengajak Dion bercakap-cakap menanyakan beberapa hal pada lelaki bertubuh tinggi atletis berkemeja hitam dengan lengan digulung sesiku itu. Saat Dion berhenti dan bercakap-cakap dengan para pekerja, Viona tetap melangkah pelan memperhatikan sekitar, memasuki ruang demi ruang. Hingga, akhirnya ia menaiki lantai dua, memeriksa semua ruang yang terlihat menakjubkan dengan ukurannya yang besar. Hingga ia sampai di sebuah ruangan yang sangat luas dengan jendela besar yang terbuat dari kaca tebal.

Keningnya mengernyit melihat ruang yang lebih menyerupai sebuah apartement itu. Ia mendekati sekat kaca. Dua netranya tertumbuk pada pemandangan alam yang tak begitu asing dalam ingatannya. Pesona pantai dengan deburan ombak beritme selaras serta pohon-pohon kelapa yang tumbuh kokoh di pesisirnya, batu karang di beberapa sisi. Ia tersenyum menatapi semua itu di tambah cuaca yang cerah saat ini sangat mendukung.

Viona melewati sebuah pintu ke balkon yang terbuka. Ia kini berada tepat di bibir balkon yang diberi pembatas pagar besi sepinggang. Wanita itu mendengkus.

“Seleramu masih tidak pernah berubah, Mas,” ucapnya lirih. Ia meletakkan jemarinya di pagar besi, melepaskan pandangan ke arah pantai yang berlangit biru cerah. Sapuan angin lembut menerpa wajah dan mengibaskan stelan hijab modern berwarna soft yang ia kenakan. Irama deburan ombak meyentuh sayup di telinganya. Sebuah kenangan lama kembali berlompatan menyapa labirin ingatannya.

Dion berdiri dengan gaya maskulinnya di antara sapuan angin pantai dan gemuruh suara ombak yang menyapa, membayang di pelupuk matanya. Ia tak pernah lupa akan hal itu, saat hatinya tak bisa diajak berkompromi untuk tidak mengagumi lelaki tampan yang berhati baik itu. Ia selalu penuh pesona dalam suasana eksotik pantai. Kali ini ia masih memilih pantai sebagai destinasi pandangan rutin untuk hunian mereka.

“Pastinya Mas Dion sengaja memilih tempat ini sebagai tempat tinggal. Ia benar-benar tak bisa jauh dari pantai,” ucap Viona bermonolog. Senyum tergurat di sudut bibir tipisnya. Namun, ia dikejutkan dengan sesuatu yang ada di belakangnya.

 “Hmmmm … kau pasti suka?”

“Akh!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status