"Farah!"
Langkah Farah di ruang tamu terhenti.
Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya.
"Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan.
"Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal."
"Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna."
Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut.
Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far. Lo nggak bisa ngerti karena lo nggak ngerasain apa yang gue alami. Sejak dulu hidup kami tuh susah. Untuk makan pas-pasan aja Ibu mesti kerja jadi ART pergi pagi pulang malam. Ibu sering kecapekan dan mungkin karena itu juga Ibu sampai sakit dan menahankan penyakitnya karena dia nggak mau gue khawatir."
Alena lalu mengalihkan pandangannya. "Dulu gue pernah janji sama Ibu kalau gue bakal berusaha jadi orang sukses. Dan kalau gue udah sukses nanti, gue bakal beliin Ibu makanan yang enak biar nggak makan makanan sisa majikannya lagi. Beliin Ibu baju yang bagus biar ibu nggak dijulidin sama tetangga karena pakai baju sobek yang dijahit. Beliin Ibu rumah yang besar biar nggak ngontrak-ngontrak lagi. Pokoknya gue bakal bikin hidup Ibu enak dan nggak dipandang sebelah mata lagi sama keluarga yang lain. Dan Ibu juga janji bakal nemenin gue terus. Melihat gue sukses dan menikmati hasilnya. Tapi ternyata ... Ibu malah pergi duluan sebelum gue sempat membuktikan semuanya ... Sekarang apa? Semuanya udah terlambat. Nggak ada gunanya juga gue hidup kalau Ibu udah nggak ada." Tangis Alena pecah. Dia menutup wajah yang memerah dengan kedua telapak tangannya. Dia tak bisa menahan kesedihannya hingga tanpa sadar menceritakan apa yang dia pikirkan sejak tadi.
Farah mengusap bahu Alena. Dia hanya bisa berusaha menghibur sahabatnya itu meski dia tahu hiburan itu tak akan bisa menghilangkan kesedihan Alena sepenuhnya. "Lo nggak boleh ngomong begitu, Al. Meskipun Ibu lo nggak ada di dunia, lo tetap harus buktiin. Ibu lo di akhirat pasti ngeliat lo dan beliau bisa tahu kalau anaknya sukses. Jadi, ada atau nggaknya Ibu lo, lo tetap harus buktiin biar Ibu lo bangga, Al."
Alena kemudian menatap Farah. "Maksud lo gue tetap harus berjuang lanjutin hidup gue dan jadi orang sukses?"
"Iya, dong, Al." Farah tersenyum. "Makanya lo harus makan, ya. Biar lo sehat terus dan bisa kerja. Biar lo juga bisa do'ain Ibu lo di sana. Lo anak satu-satunya Tante Leyla, Al. Siapa lagi yang akan mendo'akan beliau kalau lo juga pergi?"
Alena diam. Lalu berkata. "Gue udah nggak semangat hidup." Alena masih menangis sambil menggeleng. "Gue nggak bisa ... Gue rasanya mau mati aja."
"Tolong, Al. Jangan ngomong begitu. Pada dasarnya, semua manusia akan pergi meninggalkan dunia ini, Al. Nggak cuman Ibu lo. Orang tua gue pasti juga bakal ninggalin gue. Lo, gue, semuanya bakal mati. Kita hanya menunggu giliran. Kita manusia selayaknya wayang yang digerakkan oleh dayangnya. Cepat atau lambat kita semua akan meninggal, tak terkecuali Ibu lo."
"Gue tahu, tapi gue belum siap aja. Gue nggak sanggup sendirian."
Rasa kecewa yang tadi Farah rasakan seketika menguap. Tak tega rasanya jika dia harus marah pada Alena yang tengah berkabung. Dia merasa sudah menjadi sahabat yang jahat. Seharusnya dia bisa mengerti keadaan Alena saat ini. Seharusnya dia tak perlu marah seperti tadi. Dia jadi merasa bersalah.
"Al, maafin gue, ya? Seharusnya gue nggak bersikap kayak tadi," ucap Farah setelah beberapa saat hening menyisakan suara tangis Alena.
Alena menatap Farah. "Gue yang minta maaf."
"Gue yang minta maaf, Al."
Alena hanya tersenyum.
"Sekarang lo makan, ya? Kita makan sama-sama di meja makan aja."
Alena mengangguk.
***
Malam harinya, tahlilan malam kedua kembali digelar. Rumah kecil itu dipenuhi suara-suara bacaan Yasin. Para tetangganya-lah yang membantu Alena menyiapkan acara itu, termasuk Bu Sari, penjual nasi kuning di sebelah rumah Alena. Meski waktu Leyla masih hidup, para tetangganya itu kadang menjulidinya, namun, setelah Leyla tiada mereka berempati dan menolong anak gadis seorang wanita yang dulu pernah mereka katai, mereka melakukan itu untuk menebus dosa-dosa mereka. Orang tua Farah juga membantu dan menghibur Alena. Namun, pada siang hari mereka kembali ke rumahnya masing-masing sebentar hingga hanya Farah yang menemani Alena.
Alena merasa sangat miris. Disaat seperti ini, keluarganya tak ada yang datang. Alena tak tahu apa yang harus dia lakukan jika tak ada tetangga-tetangganya itu. Dia sangat berhutang budi pada para tetangganya. Keadaan ini membuat kesedihannya menjadi.
"Alena,"
Namun, tiba-tiba seseorang menghampirinya dan memeluknya sambil menangis. Membuatnya agak terkejut.
"Nenek?" Dalam pelukan orang tua itu, Alena tercenung.
Ada apa dengan nenek? Kenapa nenek tiba-tiba memeluknya sambil menangis?
Tak lama kemudian, orang tua itu melepas pelukannya. "Maafin Nenek, ya, Alena ...."
Alena tidak salah lihat. Neneknya benar-benar menangis sambil menatapnya.
"Iya, Nek," jawab Alena sekenanya. Dia pikir neneknya minta maaf karena telah menyadari kesalahannya terhadap ibunya selama ini. Tak dia sangka, nenek ternyata sudah menyadari kesalahannya dan mau minta maaf.
"Sekarang kamu benar-benar sebatang kara. Nenek janji tidak akan biarkan kamu sendirian. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah nenek saja, ya?"
Alena menatap neneknya tak percaya. Tapi dia juga terharu. Tak menyangka dengan sikap neneknya yang berubah baik bahkan neneknya menawarkan tinggal di rumahnya. Ini merupakan suatu keajaiban mengingat bagaimana sikap neneknya dulu terhadap dirinya dan ibunya.
"Kamu mau, 'kan?"
Alena pasti langsung mengiyakan seandainya tak ada hal yang tiba-tiba mengganggu pikirannya dan membuatnya ragu. "Tapi, Nek, bagaimana dengan Kakek?"
Ada apa ya dengan kakek Alena? Penasaran nggak sih? Gulir bab selanjutnya, ya.
Alena ingat waktu dia masih kecil, usianya masih lima tahunan. Ibunya sering mengajaknya berkunjung ke rumah nenek. Waktu itu dia dan ibunya masih tinggal di kontrakan yang lama yaitu di Karawang sebelum akhirnya ibunya membawanya pindah ke Jakarta dan mengontrak di sini agar bisa dekat dengan nenek. Di usianya yang amat kecil, Alena sering menyaksikan pertengkaran ibu dengan kakek tirinya. Orang tua itu tak suka kalau ibunya berulang ke rumah nenek. Ada satu pertengkaran hebat yang membekas di ingatan Alena dan masih dia ingat sampai sekarang. Kurang lebih seperti ini; "Sudah berkali-kali aku peringatkan jangan pernah datang ke mari kalau tujuan kau cuman bawa masalah!" teriak kakek di depan ibunya yang tengah menggendong Alena. "Ibu kau tuh sudah tua. Jangan kau bebankan pikirannya dengan memikirkan masalah kau yang tidak ada ujung pangkalnya itu!" Konon, Leyla datang menemui orang tuanya tiap kali ada masalah, terutama masalah keuangan. Dan suami baru ibunya tidak suka itu. "Dia
Alena berusaha menghindarinya dengan mengalihkan wajahnya dan menahan dada orang tua itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Dia merasa takut luar biasa juga ingin menangis. Tapi kakeknya juga berusaha mencumbuinya. Alena terus berusaha memberontak, menampar, menendang tapi sia-sia, tenaganya tak lebih kuat dari tenaga orang tua itu. Masih berusaha memberontak, Alena melirik vas bunga yang ada di atas nakas dekat posisinya saat ini. Dia berusaha meraih vas bunga tersebut lalu menghantamkan ujungnya yang tajam ke kepala orang tua itu tanpa ampun. Orang tua itu berteriak kesakitan dan terbaring di tempat tidur. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Alena bergegas bangun. Namun, orang tua itu masih bisa menarik lengan bajunya sampai kain di bagian bahunya terkoyak menimbulkan suara berderik dan menampakan bahu mulus gadis itu. "Mau ke mana kamu!" Alena mendorong pria tua itu sebelum akhirnya berlari menuju pintu, membukanya dan keluar dari kamar. Tak peduli dengan baju bagian bahunya yang so
Alena mengerjap-ngerjap kala dia tersadar dan mendapati dirinya terbaring di kursi dalam ruangan asing. Pelan, Alena bangun dan duduk di atas kursi kayu rotan itu. Dia mengedar pandang. Di mana dia sekarang? Alena pun teringat kejadian beberapa jam lalu. Terakhir kali dia ingin terjun ke sungai tapi tiba-tiba kepalanya pusing. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi. Dan sekarang dia malah berada di sini. Apa mungkin dia sudah berada di alam yang berbeda? "Alhamdulillah, Nduk, kamu akhirnya sadar juga," Lamunan Alena tersadarkan oleh sebuah suara yang kental dengan logat Jawa. Seorang Nenek muncul sambil membawa segelas air putih. Nenek itu duduk di sampingnya yang masih sibuk bertanya-tanya. "Minum dulu, Nduk." Meski masih bingung, Alena menerima gelas kaca berisi air putih hangat dari tangan Nenek dan meneguknya hingga setengah. Setelah Alena selesai minum, orang tua itu meletakkan gelas kaca itu ke meja di samping kursi. "Tadi Mbah liat kamu pingsan di tepi jalan. Kata warga
18 Tahun yang lalu. Pagi itu Mbah Nani sedang sibuk menjalani rutinitasnya--menyapu halaman dengan sapu lidi--ketika tiba-tiba seorang wanita kenalannya datang ke rumahnya. "Assalamualaikum, Mbok Nani!"--Mbah Nani waktu masih muda dipanggil 'Mbok' oleh orang-orang. Mbah Nani yang tengah membungkuk itu pun menegakkan tubuhnya kala melihat tamu datang. "Waalaikumussalam, Asri, ono opo?" Mbah Nani juga melirik wanita mengenakan daster yang berdiri di samping Asri. Perut wanita itu buncit seperti orang hamil. "Tolong saya, Mbok ...." "Sebentar-sebentar." Mbah Nani mengangkat tangannya. "Kamu sepertinya pengin membicarakan babagan sing penting? Sebaiknya kita bicara di dalam rumah." Mbah Nani menyandarkan batang sapunya ke dinding rumah. Lalu berbalik badan masuk ke rumahnya. Asri memberi kode pada wanita di sampingnya untuk ikut masuk. "Maaf, Mbok, sebelumnya ...," ucap wanita bernama Asri itu ketika mereka duduk-duduk di sofa jati milik Mbok Nani. "Saya bawa perempuan hamil namanya
"Jadi begitu ceritanya, Alena ...," ucap Mbah Nani kala beliau mengakhiri ceritanya. Alena sejak tadi terperangah mendengar cerita Mbah tentang masa lalu ibunya yang baru dia ketahui sekarang. Ternyata perjuangan ibunya mempertahankannya seberat itu? Mata Alena terasa memanas. Hingga dia akhirnya menangis di hadapan Mbah karena tak sanggup menahan kesedihannya. Jadi benar gara-gara kesalahan ibunya yang demikian keluarganya mengucilkannya. "Makasih, Mbah. Makasih Mbah udah nolongin Ibu," ucap Alena sambil menangis. Mbah Nani tersenyum hangat. "Iya, Nduk. Dulu kamu masih dalam perut ibumu. Sekarang kamu sudah dewasa dan Mbah ketemu sama kamu. Mbah ndak nyangka ketemu kamu. Rencana Gusti Allah sungguh indah. Dia mempertemukan kita kembali dengan cara seperti ini." Alena mengangguk. Dia juga tak habis pikir, dunia begitu sempit, takdir sungguh ajaib. "Takdir Allah memang indah, ya, Mbah? Aku juga berutang budi sama Mbah udah nolongin aku yang hampir mau mati. Mungkin Mbah memang orang
"Nenek?" Alena mengernyit heran menatap neneknya yang mendekat. "Alena, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Rina. Alena mengangguk. "Dari mana Nenek tahu aku di sini? Nenek kenal Mbah Nani juga?" Alena menatap neneknya penuh tanya lalu menatap Mbah Nani yang berdiri di belakang neneknya. "Tadi Nenek panik pas tahu kamu ndak ada, kata Kakek kamu pergi ndak tahu ke mana." Mendengar kata 'kakek' Alena langsung ketakutan. Tapi Rina tak menyadari perubahan bahasa tubuh cucunya dan terus berbicara. "Nenek langsung cariin kamu, bawa foto kamu, tanyain ke orang-orang yang lewat di jalan. Katanya mereka lihat kamu mau bunuh diri di jembatan, tapi tiba-tiba kamu pingsan dan ditolongi sama orang. Nenek juga dikasih alamat rumah Mbah yang nolongin kamu. Kamu kenapa nekat bunuh diri, Alena?" "Alena ...." Alena terbata-bata. Dia menatap ke lain arah. Seketika ingatannya kembali pada kejadian dia hampir diperkosa kakeknya. Alena lantas menggeleng. "Alena takut," lirih gadis itu. "Ayok kita pulang.
"Nah, ini masakan Mbah, kamu harus cobain. Mbah ambilkan piring dulu." Mbah berdiri berjalan menuju rak piring. Untuk menenangkan pikiran Alena, Mbah Nani mengajaknya makan siang, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda karena kedatangan Rina. Selagi Mbah mengambil piring, Alena mengedar pandang ke ruangan dapur itu. Dia baru sadar rumah Mbah cukup bagus. Dibanding rumah kontrakan Alena, rumah Mbah Nani lebih besar. Berlantai poslen. Alat rumah tangganya juga lengkap. Ada kulkas satu pintu. Tempat cuci piring yang bagus dan lengkap dengan meja memasaknya dan kitchen cabinet. Satu set meja makan dan kursi seperti yang Alena duduki sekarang. Rumah Mbah Nani bahkan lebih bagus dari rumah neneknya. "Mbah ambilin, yo ...." Suara Mbah serta merta mengagetkan Alena dari keterasyikannya memperhatikan seluk beluk rumah ini. Alena menatap orang tua itu yang sibuk melayaninya. "Makasih, Mbah," ucap Alena ketika Mbah meyodorkan sepiring nasi dengan ayam penyet dan sayur di hadapannya
Lima hari sudah Alena menginap di rumah Mbah Nani. Dan dia masih belum ingin pulang. Dua hari yang lalu neneknya sempat datang lagi membawakannya baju sekaligus membujuknya untuk pulang, tapi Alena tidak mau. Katanya dia masih ingin di sini. Rina masih memberi Alena kesempatan berpikir dan menenangkan diri sampai gadis itu siap untuk pulang. Jujur saja dia lebih nyaman tinggal bersama Mbah Nani. Mbah Nani memperlakukannya dengan sangat baik. Di rumah Mbah Nani yang sepi itu, dia juga membantu orang tua itu jaga warteg. Mata pencaharian satu-satunya Mbah Nani. Baru beberapa hari mereka kenal, tapi Alena merasa sudah akrab sekali seperti sudah mengenal sejak lama bahkan dibanding nenek kandungnya. Saat ini Alena sedang membantu Nani mengelap dan menyusun piring sambil bercerita segala hal. "Hidup sekarang ini apa-apa semua serba uang," ucap Mbah Nani melanjutkan percakapannya dengan Alena yang membahas betapa sulitnya hidup tanpa uang. "Bahkan keadilan pun bisa dibayar dengan uang,