Share

5. Mengingat Masa Lalu (2)

"Farah!"

Langkah Farah di ruang tamu terhenti.

Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya.

"Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan.

"Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal."

"Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna."

Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut.

Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far. Lo nggak bisa ngerti karena lo nggak ngerasain apa yang gue alami. Sejak dulu hidup kami tuh susah. Untuk makan pas-pasan aja Ibu mesti kerja jadi ART pergi pagi pulang malam. Ibu sering kecapekan dan mungkin karena itu juga Ibu sampai sakit dan menahankan penyakitnya karena dia nggak mau gue khawatir."

Alena lalu mengalihkan pandangannya. "Dulu gue pernah janji sama Ibu kalau gue bakal berusaha jadi orang sukses. Dan kalau gue udah sukses nanti, gue bakal beliin Ibu makanan yang enak biar nggak makan makanan sisa majikannya lagi. Beliin Ibu baju yang bagus biar ibu nggak dijulidin sama tetangga karena pakai baju sobek yang dijahit. Beliin Ibu rumah yang besar biar nggak ngontrak-ngontrak lagi. Pokoknya gue bakal bikin hidup Ibu enak dan nggak dipandang sebelah mata lagi sama keluarga yang lain. Dan Ibu juga janji bakal nemenin gue terus. Melihat gue sukses dan menikmati hasilnya. Tapi ternyata ... Ibu malah pergi duluan sebelum gue sempat membuktikan semuanya ... Sekarang apa? Semuanya udah terlambat. Nggak ada gunanya juga gue hidup kalau Ibu udah nggak ada." Tangis Alena pecah. Dia menutup wajah yang memerah dengan kedua telapak tangannya. Dia tak bisa menahan kesedihannya hingga tanpa sadar menceritakan apa yang dia pikirkan sejak tadi.

Farah mengusap bahu Alena. Dia hanya bisa berusaha menghibur sahabatnya itu meski dia tahu hiburan itu tak akan bisa menghilangkan kesedihan Alena sepenuhnya. "Lo nggak boleh ngomong begitu, Al. Meskipun Ibu lo nggak ada di dunia, lo tetap harus buktiin. Ibu lo di akhirat pasti ngeliat lo dan beliau bisa tahu kalau anaknya sukses. Jadi, ada atau nggaknya Ibu lo, lo tetap harus buktiin biar Ibu lo bangga, Al."

Alena kemudian menatap Farah. "Maksud lo gue tetap harus berjuang lanjutin hidup gue dan jadi orang sukses?"

"Iya, dong, Al." Farah tersenyum. "Makanya lo harus makan, ya. Biar lo sehat terus dan bisa kerja. Biar lo juga bisa do'ain Ibu lo di sana. Lo anak satu-satunya Tante Leyla, Al. Siapa lagi yang akan mendo'akan beliau kalau lo juga pergi?"

Alena diam. Lalu berkata. "Gue udah nggak semangat hidup." Alena masih menangis sambil menggeleng. "Gue nggak bisa ... Gue rasanya mau mati aja."

"Tolong, Al. Jangan ngomong begitu. Pada dasarnya, semua manusia akan pergi meninggalkan dunia ini, Al. Nggak cuman Ibu lo. Orang tua gue pasti juga bakal ninggalin gue. Lo, gue, semuanya bakal mati. Kita hanya menunggu giliran. Kita manusia selayaknya wayang yang digerakkan oleh dayangnya. Cepat atau lambat kita semua akan meninggal, tak terkecuali Ibu lo."

"Gue tahu, tapi gue belum siap aja. Gue nggak sanggup sendirian."

Rasa kecewa yang tadi Farah rasakan seketika menguap. Tak tega rasanya jika dia harus marah pada Alena yang tengah berkabung. Dia merasa sudah menjadi sahabat yang jahat. Seharusnya dia bisa mengerti keadaan Alena saat ini. Seharusnya dia tak perlu marah seperti tadi. Dia jadi merasa bersalah.

"Al, maafin gue, ya? Seharusnya gue nggak bersikap kayak tadi," ucap Farah setelah beberapa saat hening menyisakan suara tangis Alena.

Alena menatap Farah. "Gue yang minta maaf."

"Gue yang minta maaf, Al."

Alena hanya tersenyum. 

"Sekarang lo makan, ya? Kita makan sama-sama di meja makan aja."

Alena mengangguk.

***

Malam harinya, tahlilan malam kedua kembali digelar. Rumah kecil itu dipenuhi suara-suara bacaan Yasin. Para tetangganya-lah yang membantu Alena menyiapkan acara itu, termasuk Bu Sari, penjual nasi kuning di sebelah rumah Alena. Meski waktu Leyla masih hidup, para tetangganya itu kadang menjulidinya, namun, setelah Leyla tiada mereka berempati dan menolong anak gadis seorang wanita yang dulu pernah mereka katai, mereka melakukan itu untuk menebus dosa-dosa mereka. Orang tua Farah juga membantu dan menghibur Alena. Namun, pada siang hari mereka kembali ke rumahnya masing-masing sebentar hingga hanya Farah yang menemani Alena.

Alena merasa sangat miris. Disaat seperti ini, keluarganya tak ada yang datang. Alena tak tahu apa yang harus dia lakukan jika tak ada tetangga-tetangganya itu. Dia sangat berhutang budi pada para tetangganya. Keadaan ini membuat kesedihannya menjadi.

"Alena,"

Namun, tiba-tiba seseorang menghampirinya dan memeluknya sambil menangis. Membuatnya agak terkejut.

"Nenek?" Dalam pelukan orang tua itu, Alena tercenung. 

Ada apa dengan nenek? Kenapa nenek tiba-tiba memeluknya sambil menangis?

Tak lama kemudian, orang tua itu melepas pelukannya. "Maafin Nenek, ya, Alena ...."

Alena tidak salah lihat. Neneknya benar-benar menangis sambil menatapnya.

"Iya, Nek," jawab Alena sekenanya. Dia pikir neneknya minta maaf karena telah menyadari kesalahannya terhadap ibunya selama ini. Tak dia sangka, nenek ternyata sudah menyadari kesalahannya dan mau minta maaf.

"Sekarang kamu benar-benar sebatang kara. Nenek janji  tidak akan biarkan kamu sendirian. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah nenek saja, ya?"

Alena menatap neneknya tak percaya. Tapi dia juga terharu. Tak menyangka dengan sikap neneknya yang berubah baik bahkan neneknya menawarkan tinggal di rumahnya. Ini merupakan suatu keajaiban mengingat bagaimana sikap neneknya dulu terhadap dirinya dan ibunya.

"Kamu mau, 'kan?"

Alena pasti langsung mengiyakan seandainya tak ada hal yang tiba-tiba mengganggu pikirannya dan membuatnya ragu. "Tapi, Nek, bagaimana dengan Kakek?"

Aprillia D

Ada apa ya dengan kakek Alena? Penasaran nggak sih? Gulir bab selanjutnya, ya.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status