Home / Romansa / Dendam Anak Tiri / 5. Mengingat Masa Lalu (2)

Share

5. Mengingat Masa Lalu (2)

Author: Aprillia D
last update Last Updated: 2022-12-10 13:49:13

"Farah!"

Langkah Farah di ruang tamu terhenti.

Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya.

"Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan.

"Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal."

"Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna."

Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut.

Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far. Lo nggak bisa ngerti karena lo nggak ngerasain apa yang gue alami. Sejak dulu hidup kami tuh susah. Untuk makan pas-pasan aja Ibu mesti kerja jadi ART pergi pagi pulang malam. Ibu sering kecapekan dan mungkin karena itu juga Ibu sampai sakit dan menahankan penyakitnya karena dia nggak mau gue khawatir."

Alena lalu mengalihkan pandangannya. "Dulu gue pernah janji sama Ibu kalau gue bakal berusaha jadi orang sukses. Dan kalau gue udah sukses nanti, gue bakal beliin Ibu makanan yang enak biar nggak makan makanan sisa majikannya lagi. Beliin Ibu baju yang bagus biar ibu nggak dijulidin sama tetangga karena pakai baju sobek yang dijahit. Beliin Ibu rumah yang besar biar nggak ngontrak-ngontrak lagi. Pokoknya gue bakal bikin hidup Ibu enak dan nggak dipandang sebelah mata lagi sama keluarga yang lain. Dan Ibu juga janji bakal nemenin gue terus. Melihat gue sukses dan menikmati hasilnya. Tapi ternyata ... Ibu malah pergi duluan sebelum gue sempat membuktikan semuanya ... Sekarang apa? Semuanya udah terlambat. Nggak ada gunanya juga gue hidup kalau Ibu udah nggak ada." Tangis Alena pecah. Dia menutup wajah yang memerah dengan kedua telapak tangannya. Dia tak bisa menahan kesedihannya hingga tanpa sadar menceritakan apa yang dia pikirkan sejak tadi.

Farah mengusap bahu Alena. Dia hanya bisa berusaha menghibur sahabatnya itu meski dia tahu hiburan itu tak akan bisa menghilangkan kesedihan Alena sepenuhnya. "Lo nggak boleh ngomong begitu, Al. Meskipun Ibu lo nggak ada di dunia, lo tetap harus buktiin. Ibu lo di akhirat pasti ngeliat lo dan beliau bisa tahu kalau anaknya sukses. Jadi, ada atau nggaknya Ibu lo, lo tetap harus buktiin biar Ibu lo bangga, Al."

Alena kemudian menatap Farah. "Maksud lo gue tetap harus berjuang lanjutin hidup gue dan jadi orang sukses?"

"Iya, dong, Al." Farah tersenyum. "Makanya lo harus makan, ya. Biar lo sehat terus dan bisa kerja. Biar lo juga bisa do'ain Ibu lo di sana. Lo anak satu-satunya Tante Leyla, Al. Siapa lagi yang akan mendo'akan beliau kalau lo juga pergi?"

Alena diam. Lalu berkata. "Gue udah nggak semangat hidup." Alena masih menangis sambil menggeleng. "Gue nggak bisa ... Gue rasanya mau mati aja."

"Tolong, Al. Jangan ngomong begitu. Pada dasarnya, semua manusia akan pergi meninggalkan dunia ini, Al. Nggak cuman Ibu lo. Orang tua gue pasti juga bakal ninggalin gue. Lo, gue, semuanya bakal mati. Kita hanya menunggu giliran. Kita manusia selayaknya wayang yang digerakkan oleh dayangnya. Cepat atau lambat kita semua akan meninggal, tak terkecuali Ibu lo."

"Gue tahu, tapi gue belum siap aja. Gue nggak sanggup sendirian."

Rasa kecewa yang tadi Farah rasakan seketika menguap. Tak tega rasanya jika dia harus marah pada Alena yang tengah berkabung. Dia merasa sudah menjadi sahabat yang jahat. Seharusnya dia bisa mengerti keadaan Alena saat ini. Seharusnya dia tak perlu marah seperti tadi. Dia jadi merasa bersalah.

"Al, maafin gue, ya? Seharusnya gue nggak bersikap kayak tadi," ucap Farah setelah beberapa saat hening menyisakan suara tangis Alena.

Alena menatap Farah. "Gue yang minta maaf."

"Gue yang minta maaf, Al."

Alena hanya tersenyum. 

"Sekarang lo makan, ya? Kita makan sama-sama di meja makan aja."

Alena mengangguk.

***

Malam harinya, tahlilan malam kedua kembali digelar. Rumah kecil itu dipenuhi suara-suara bacaan Yasin. Para tetangganya-lah yang membantu Alena menyiapkan acara itu, termasuk Bu Sari, penjual nasi kuning di sebelah rumah Alena. Meski waktu Leyla masih hidup, para tetangganya itu kadang menjulidinya, namun, setelah Leyla tiada mereka berempati dan menolong anak gadis seorang wanita yang dulu pernah mereka katai, mereka melakukan itu untuk menebus dosa-dosa mereka. Orang tua Farah juga membantu dan menghibur Alena. Namun, pada siang hari mereka kembali ke rumahnya masing-masing sebentar hingga hanya Farah yang menemani Alena.

Alena merasa sangat miris. Disaat seperti ini, keluarganya tak ada yang datang. Alena tak tahu apa yang harus dia lakukan jika tak ada tetangga-tetangganya itu. Dia sangat berhutang budi pada para tetangganya. Keadaan ini membuat kesedihannya menjadi.

"Alena,"

Namun, tiba-tiba seseorang menghampirinya dan memeluknya sambil menangis. Membuatnya agak terkejut.

"Nenek?" Dalam pelukan orang tua itu, Alena tercenung. 

Ada apa dengan nenek? Kenapa nenek tiba-tiba memeluknya sambil menangis?

Tak lama kemudian, orang tua itu melepas pelukannya. "Maafin Nenek, ya, Alena ...."

Alena tidak salah lihat. Neneknya benar-benar menangis sambil menatapnya.

"Iya, Nek," jawab Alena sekenanya. Dia pikir neneknya minta maaf karena telah menyadari kesalahannya terhadap ibunya selama ini. Tak dia sangka, nenek ternyata sudah menyadari kesalahannya dan mau minta maaf.

"Sekarang kamu benar-benar sebatang kara. Nenek janji  tidak akan biarkan kamu sendirian. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah nenek saja, ya?"

Alena menatap neneknya tak percaya. Tapi dia juga terharu. Tak menyangka dengan sikap neneknya yang berubah baik bahkan neneknya menawarkan tinggal di rumahnya. Ini merupakan suatu keajaiban mengingat bagaimana sikap neneknya dulu terhadap dirinya dan ibunya.

"Kamu mau, 'kan?"

Alena pasti langsung mengiyakan seandainya tak ada hal yang tiba-tiba mengganggu pikirannya dan membuatnya ragu. "Tapi, Nek, bagaimana dengan Kakek?"

Aprillia D

Ada apa ya dengan kakek Alena? Penasaran nggak sih? Gulir bab selanjutnya, ya.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Anak Tiri   Alena & Andrio: Bab 132

    "Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.

  • Dendam Anak Tiri   Alena & Andrio: Bab 131

    Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang

  • Dendam Anak Tiri   Alena & Andrio: Bab 130

    Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta

  • Dendam Anak Tiri   Alena & Andrio: Bab 129

    "Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j

  • Dendam Anak Tiri   Alena & Andrio: Bab 128

    Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera

  • Dendam Anak Tiri   Alena & Andrio: Bab 127

    "Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status