Share

Bab 4 - Suami Pergi, Bos Bikin Sakit Kepala

“Beberapa hari ini aku gak enak badan, Mas. Aku bahkan sempat hampir jatuh, lemas, pusing,” ucap Angel saat mendekati suaminya yang sedang bercukur di depan wastafel di pagi hari.

“Kenapa memangnya? Masa iya kamu hamil?”

Angel menatap sang suami. Nick saja dingin selama ini, tidak pernah bercinta dengannya dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Bagaimana Angel bisa hamil?

“Kamu saja sudah lama tidak menyentuhku, Mas,” kata Angel memegang perutnya lalu memeluk suaminya dari belakang. 

“Hmm …”

Nick melepaskan diri dari dekapan sang istri. Benar-benar dingin sampai-sampai Angel merasa dicampakkan. Sang istri hanya bisa cemberut dan kecewa menatap sang suami dengan harapan hampa. 

“Ya terus kenapa? Kamu sakit? Ke dokter lah …”

“Aku banyak masalah, Mas. Sekarang, kantor diambil alih oleh investor lain. Aku gagal sebagai pimpinan. Gagal membawa klinik itu terus maju. Sekarang banyak pesaing, skincare semakin beragam. Aku gak sanggup gaji pegawai. Cabang semuanya udah tutup,” kata Angel mendekati suaminya lagi dan duduk berdampingan di ranjang. 

Nick yang mengenakan kaos warna putih dan celana boxer itu duduk di samping istrinya sambil mengutak-atik ponselnya, tak terlalu mendengarkan Angel. Berbagai kalimat sudah diucapkan sang istri, curhat, dan keluhan, tetapi mata Nick tetap tertuju pada ponselnya. 

“Mas … menurut kamu, apa aku sanggup kembalikan 5 miliar dalam waktu 6 bulan? Mau minta Papa, gak enak. Papa juga lagi susah, perusahaannya sedang kurang bagus pertumbuhannya,” ujar Angel menyentuh bahu suaminya. 

Jemari Nick masih saja memencet tombol ponsel, seolah tidak mendengar Angel bicara. Nick salah fokus sementara Angel berharap ucapannya didengar. 

“Mas, kamu dengar aku gak sih …”

“Apa? Gimana, gimana? Tadi aku lagi balas chat klien,” kata Nick menaruh ponselnya di atas meja lalu menatap istrinya. 

“Iya … tadi kan aku cerita soal klinik aku. Sekarang aku udah gak punya kuasa, gak ada taring di sana,” ujar Angel menjelaskan sekali lagi. 

“Ya kan masih ada Riri, orang kepercayaan kamu. Dia itu cekatan dan bisa diandalkan kan? Aku yakin dia bisa kasih banyak ide,” kata Nick. 

“Ya Riri sih udah banyak kasih saran dan ide, tapi klinik tetap gak bisa perform. Sampai akhirnya aku dapat investor baru,” kata Angel dengan tatapan mata penuh harapan ingin dipeluk suami di saat sedang sulit begini. 

“Ya Riri juga kan yang punya koneksi, jadi bisa menghubungkan kamu dengan investor baru itu?” kata Nick santai.

“Kok kamu bisa berpikir Riri yang bantu sih, Mas?”

Nick hendak mengatakan sesuatu, tapi diurungkan. “Udah ah, aku capek. Aku harus tidur cepat," Nick menutup obrolan mereka malam itu. "Oh iya, selama dua hari besok, aku harus ke luar kota karena ada proyek baru. Gak apa-apa ya?” Meski ada tanya di sana, tapi Nick sebenarnya tidak meminta izin. Ia pun langsung merebahkan diri di ranjang dan mengambil guling. 

Angel belum sempat mengatakan apapun tapi Nick sudah berbalik memunggungi Angel dan tidak peduli lagi. Selalu seperti itu setiap malam, di mana Angel tidak pernah lagi didengar. 

Esok paginya, ketika Angel tiba di kantor, dia melihat barang-barangnya sedang dipindah oleh satpam ke ruangan lain yang lebih kecil. Angel melihat ke meja Riri, tapi ia tidak ada di sana. Angel bertanya-tanya kemana perginya sekretarisnya itu sepagi ini. 

“Riri sakit, Bu. Izin dua hari katanya. Ini suratnya tadi diantar pakai kurir ojol.” Seolah bisa membaca pikiran Angel, seorang rekan Riri memberikan surat kepada Angel. 

“Sakit?" Angel mengernyit bingung. "Kok gak kasih kabar ke saya ya? Ya sudah, saya mau tegur satpam dulu,” kata Angel panik bergegas ke arah satpam. 

Langkah Angel terhenti begitu melihat beberapa kardus dipindahkan ke ruangan di sebelah ruangannya. Kursi dan meja juga ditata oleh petugas kebersihan. 

“Lho lho, Pak! Kenapa semua barang-barang saya dipindah sih? Kok gak izin dulu sama saya?”

“Maaf, Bu, ini disuruh sekretarisnya Pak Bara. Sekarang kan Pak Bara yang memimpin di sini. Kami takut, Bu, nanti gak gajian lagi. Katanya wajib pindahin, gak usah izin ke Ibu,” kata dua orang satpam, tampak serba salah.

“Mana bisa begitu? Ini kan kantor saya! Lancang sekali memindahkan barang tanpa izin,” tukas Angel, terpancing emosi. 

“Kenapa? Tidak terima?”

DEG!

Tiba-tiba seorang pria tampan di balik jas warna abu-abu berhadapan dengan perempuan cantik itu. Angel seketika berkeringat dingin melihat Bara muncul dari ruangannya. 

“Mas Bara, ini maksudnya gimana? Barang-barang saya kenapa dipindahkan?”

“Di perjanjian kontrak tertulis bahwa sejak Anda menyetujui kesepakatan kita, maka semuanya mulai berlaku. Karena sekarang saya yang memimpin, jadi kamu pindah ke ruangan lain,” kata Bara santai, aura angkuhnya begitu mendominasi, membuat Angel mengeratkan rahang kesal. 

“Astaga! Hanya masalah ruangan saja pun, kamu mau berkuasa di sini? Klinik ini yang bangun Papa saya! Jadi jangan seenaknya begitu dong,” kata Angel. 

“Justru kamu yang seharusnya mengerti situasi. Di depan pintu tertulis jelas, ini ruangan CEO. Saya yang memimpin saat ini." Bara mengedikkan bahu ringan, tampak acuh tak acuh. Berbeda dengan Angel yang tampaknya siap mengeluarkan tanduk.

"Oh, satu lagi. Saya juga sudah perintahkan Riri, bahwa sekarang semua kegiatan di sini harus sesuai persetujuan saya,” kata Bara langsung berbalik dan masuk lagi ke ruangan yang dicaplok dari Angel itu. 

“Ya ampun! Nyebelin banget sih itu orang!”

“Maaf ya, Bu … permisi,” kata satpam langsung melanjutkan kegiatannya memindahkan barang. 

Angel mau tak mau harus menahan emosinya dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya tampak memerah seperti kepiting rebus. Ia merasa terluka karena diusir dari ruangannya sendiri.  

"Halo, Ri, kamu sakit?" Angel duduk di balik meja kerjanya yang sudah ditata satpam dengan ekspresi yang emosional. Riri, kaki tangannya, adalah satu-satunya orang yang bisa mendengarkan keluhannya. 

"Iya, Bu... saya sakit. Maaf ya, Bu, saya gak bisa masuk kerja selama dua hari," ujar Riri dengan suara yang terdengar agak serak.

"Ya, udah lekas sembuh ya. Nanti aku kirimkan buah atau makanan buat kamu," sahut Angel, lalu menghela napas berat. "Cuma aku ingin kamu cepat-cepat masuk kerja ya, aku gak tahan banget hadapi bos baru kita itu! Arogan banget, bikin sakit kepala," katanya berapi-api. 

"Arogan gimana, Bu?"

"Masa main pindahin barang-barang aku ke ruangan sebelah! Ruangan kosong yang awalnya tempat taruh barang reseller. Nyebelin banget!" kesal Angel, terbayang di kepalanya ekspresi angkuh Bara yang bikin dia naik pitam. "Kalau ada apa-apa bilang dulu sama aku ya. Semua program kita jangan langsung kamu laporkan ke dia," kata Angel. 

"Baik, Bu. Saya pasti lapor dulu ke Ibu. Uhuk, uhuk..."

Mendengar Riri sampai terbatuk begitu, Angel jadi tidak enak hati. "Eh ya udah, kamu lagi sakit malah aku ganggu saking kesalnya. Lekas sehat ya, Ri," katanya tulus.

"Iya, Bu. Terima kasih," jawab Riri dari seberang sambungan.

Angel kembali menghela napas sambil mengamati ruangan barunya yang jauh lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Belum apa-apa, Angel sudah merasa lelah.

Tidak ada pilihan lain selain mengikuti semua kebijakan pimpinan baru itu.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status