Share

Bab 3 - Masuk Perangkap CEO Arogan

Esok paginya, Angel terbangun dari tidurnya dan melihat sang suami masih tidur di sampingnya. Sudah pukul 7 pagi hari ini. Angel memegang bahu sang suami.

“Mas …”

“Hmm,” kata Nick bermalas-malasan untuk membuka mata.

“Kamu gak berangkat? Mau aku masakin apa pagi ini?” tanya Angel, berusaha bersikap manis kepada suaminya meski kepalanya mumet dipenuhi banyak pertanyaan.

“Aduh, aku masih ngantuk!”

“Memangnya semalam Mas pulang jam berapa?” tanya Angel menatap punggung suaminya dengan hati gelisah. Semalam ia tidur pukul sepuluh malam, tapi suaminya belum pulang. 

“Kamu tuh banyak nanya ya sekarang,” kata Nick akhirnya terbangun dan duduk di samping Angel, di ranjang.

“Wajar kan aku bertanya, Mas? Aku istri kamu ...”

“Jam 12! Puas? Banyak banget kerjaan yang harus aku urus. Kantorku kan hanya kantor kecil seperti hinaan Papa kamu itu! Jadi kalau mau hidup, ya harus kerja keras,” kata Nick, kembali membawa-bawa ayah Angel dengan penuh emosi.

“Mas … kamu kenapa sih kasar banget sama aku …”

Hari masih pagi, tapi Angel sudah meneteskan air mata lagi.

Nick mendengkus gusar, kembali mengambil guling dan tidur membelakangi Angel. Tidak lagi mengindahkan istrinya seperti yang sudah-sudah.

“Aku gak mau debat sama kamu pagi-pagi,” kata Nick di balik selimut.

“Si Mbak bilang …”

“Apa? Mau bahas soal kemarin lagi? Kamu telepon sekretaris aku deh kalau gak percaya. Tanya sama dia soal jadwal aku,” ucap Nick defensif, menatap Angel kesal.

Wanita itu berusaha menahan diri untuk tidak bertengkar lagi pagi ini. Dia bangkit dari ranjang, sarapan sendiri, dan berdandan untuk bersiap ke kantor.

Angel melihat Nick masih tidur pulas sehingga ia berangkat tanpa pamit. Hatinya benar-benar campur aduk dan sulit dijabarkan.

Pukul 9 pagi, Angel tiba di kantor. Dia kembali menghadapi situasi para karyawan dan dokter yang menuntut pembayaran gaji bulan ini. Ada sekitar 30-40 karyawan termasuk OB hingga driver.

“Sabar ya, Dok, dan semua teman-teman. Saya minta maaf. Memang ada keterlambatan gajian, karena situasi keuangan kantor sedang sulit. Tapi dalam 2-3 hari ini, saya akan berusaha gaji para dokter dan teman-teman sudah ditransfer masuk rekening,” ucap Angel memberi pengertian.

Para dokter dan karyawan saling tatap dengan lesu. Angel mencoba untuk menghadapi mereka semua dengan tenang.

“Saya janji bulan depan gak begini lagi. Saya akan berusaha untuk mencari investor dan dana segar,” ucap Angel meyakinkan para pegawai. 

“Ibu jangan janji-janji terus dong. Kejadian gaji terlambat seperti ini sudah terjadi dalam 3 bulan terakhir. Kali ini paling lama terlambatnya,” ucap salah satu karyawan.

“Saya minta maaf …”

Tok, tok, tok!

Satpam datang mengetuk pintu ruang rapat. Sekretaris Angel, Riri, membuka pintu dan memastikan siapa yang datang. Terlihat Riri berbincang dengan satpam. Angel mendekat ke arah mereka. Suasana ruang rapat sedikit reda dari yang sebelumnya memanas dan emosional.

“Ada pria namanya Pak Bara dan sekretarisnya datang, Bu. Katanya sudah ada janji temu sama Ibu. Dia datang membawa surat perjanjian kontrak,” lapor satpam.  

“Bara?”

Angel berjalan menuju ruang transit tamu. Ia berjalan anggun dan menemui pria tampan dengan tatapan angkuh, yang saat ini memakai jas biru dongker dipadu dengan kemeja putih.  

“Halo, Mas Bara,” sapa Angel sambil mengulurkan tangannya, bersikap sopan dan ramah pada pria yang kemarin sudah menawarkan bantuan padanya.

Bara menjabat tangan mungil wanita itu tanpa banyak kata.

“Terima kasih sudah menyempatkan diri datang ke klinik kami,” kata Angel kemudian, merasa aneh dengan sikap dingin yang ditunjukkan pria di hadapannya.

“Saya ingin melanjutkan pembicaraan kemarin,” ujar Bara dengan nada datar.

“Silakan duduk, Mas. Bagaimana? Mas kemarin menyinggung soal merger ya,” tanya Angel mencoba untuk menurunkan ketegangan. 

“Ini proposal dan penawarannya. Silakan dibaca." 

Angel mengerjapkan mata, tidak bisa menutupi kebingungan atas sikap Bara yang sangat berjarak, padahal kemarin pria itu yang menawarkan kerja sama terlebih dahulu. Bahkan tampak khawatir saat melihat Angel kelihatan tidak sehat.

Kemana perginya pria baik hati itu?

Angel segera menepis lamunan dan fokus pada berkas di hadapannya. Wanita yang mengenakan setelan berwarna moka itu membolak-balik halaman dengan serius.

Tiba-tiba, Angel berdiri.  

“Dalam 6 bulan jika klinik kami tidak bisa mengembalikan dana investasi, maka klinik dan seluruh hak cipta menjadi milik perusahaan kamu?! Apa maksudnya?!" tanya Angel tidak terima. Dia menatap Bara nyalang.

"Kenapa begini? Di obrolan awal kita kemarin tidak seperti ini!”

Bara malah bersedekap dan menatap Angel dengan senyum miring. “Ini kan hanya tawaran bisnis. Terserah mau terima atau tidak," sahutnya angkuh.

"Tapi..."

"Saya dengar, para dokter dan karyawan belum gajian. Merger dan tawaran ini tentu akan menjadi solusi. Bukankah begitu?” Bara menaikkan alis, menyerang titik lemah Angel telak.

“Tapi mana bisa begini. Ini kesepakatan sepihak namanya,” ujar Angel emosional. Dadanya naik turun dengan cepat.

“Ini hanya tawaran," Bara menyilangkan kaki santai. "Kita merger, saya kasih dana segar 5 miliar di muka."

Ucapannya membuat Angel membelalak kaget.

"Kamu bisa mengatasi krisis dengan dana itu. Sederhana, kan?"

Angel masih berusaha menahan diri. Ia merasa dilema dengan penawaran dari pria arogan di hadapannya itu.

"Selama merger, kendali perusahaanmu saya yang pegang. Klinik ini akan jadi anak perusahaan saya. Jadi semua kegiatan operasional harus melalui persetujuan saya,” tegas Bara, tersenyum tipis melihat Angel tidak bisa berkutik.

5 miliar di muka katanya...

Tentu uang itu tidak mudah didapatkan. Tidak mudah juga jika Angel harus merepotkan ayahnya lagi.

Banyak yang harus Angel bayar. Pegawai, para dokter, dan juga iuran asuransi ketenagakerjaan dan kesehatan pun sudah menunggak dua bulan. 

“Tapi kenapa mencekik begini? Rasanya ini tidak ada bedanya dengan lintah darat!" ujar Angel, menatap Bara dengan marah tapi juga putus asa. "Saya memang sedang terdesak, tapi gak begini caranya...”

“Sekali lagi, saya hanya kasih tawaran. Kalau mau, kita deal. Kalau tidak, ya siap-siap saja perusahaanmu pailit,” Bara berujar santai tanpa beban, tampak menikmati kekalutan wanita cantik itu.

Angel melihat ke luar pintu kaca. Ada beberapa karyawan yang mondar-mandir, terlihat penasaran bahkan mengintip harap-harap cemas.

Karyawan belum menerima hak mereka. Mau dipecat pun, Angel harus bayar pesangon untuk karyawan lama.

Benar-benar tak ada pilihan lain. 

“Baiklah," kata Angel setelah berperang batin. Dia sudah memutuskan. "Saya akan ambil tawaran ini. Saya yakin bisa mengembalikan dana itu segera."

Wanita itu menatap Bara penuh keyakinan. "Saya yakin, label saya masih punya loyal customer."

Bara tersenyum puas. "Deal!"

Angel belum sempat bernapas lega, Bara kembali melanjutkan ucapannya. "Tanda tangan MoU, undang media. Kita konferensi pers. Semua kendali akan diambil oleh perusahaanku sebagai induk. Saya CEO dan founder di sini mulai sekarang."

Angel menelan ludah susah payah, mulai ragu dengan tekadnya sesaat lalu. Bisakah ia membayar kembali semua dana itu?

"Saya akan berkantor di sini sampai enam bulan ke depan. Dan jika kamu tidak bisa mengembalikan uang itu, semua aset di sini dan juga labelmu, akan menjadi milik saya,” kata Bara, membuat Angel terpaku di tempat. 

“I-ini kerja sama yang tidak sehat,” kata Angel, benar-benar merasa terpojok.

Bara mengedikkan bahu tidak peduli. Beda dengan Angel yang tengah mempertaruhkan segalanya, bagi Bara ini hanya salah satu kesepakatan bisnis.

Namun, Angel berusaha berpikir positif. Ini satu-satunya cara cepat mengatasi krisis. Tidak ada pilihan yang lebih baik dari ini. Peluang seperti ini tidak mungkin datang dua kali.

“Saya yakin akan ada kemudahan ke depannya. Saya pasti akan mengembalikan dana darimu,” tukas Angel, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Bagus. Kamu itu seorang pemimpin. Jadi harus optimis dan berani ambil risiko,” kata Bara tersenyum sinis.

“Jangan mengajari saya soal leadership,” ucap Angel sambil menahan emosi. Kemarahan yang tercetak di wajah cantik memikat itu justru mengundang kekehan kecil dari Bara.

Sambil menahan rasa dongkol, Angel akhirnya mengambil pulpen dan membubuhkan tanda tangannya di atas kontrak kerja sama itu.

Bara menyunggingkan senyuman miring sambil membatin. 'Kena kau!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status