Share

Permintaan Gila

Amanda, si cantik berwajah blasteran itu berjalan tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Didampingi oleh supirnya, gadis itu langsung menuju ruangan rawat inap tempat Juan dirawat. Dia begitu khawatir setelah mendapat kabar bahwa kekasihnya mengalami cedera karena suatu insiden. 

"Honey!" 

Amanda memeluk Juan yang sedang duduk di ranjang pasien dengan kepala yang dibalut perban. Gadis itu terisak-isak karena melihat kondisi kekasihnya yang menyedihkan.

"Aku cuma luka di pelipis. Gak usah lebay gitu," ucap Juan risih. Pasalnya di ruangan itu ada papa dan mamanya yang duduk di sofa balik pintu. Namun, sepertinya gadis itu tak menyadarinya. 

"Kamu kenapa?"

"Kena pecahan vas bunga," jelas Juan.

"Kenapa bisa kena? Apa kamu jatuh terus nyenggol vas bunga?"

Juan mengangguk lalu memberi kode. Amanda menoleh ke arah yang ditunjuk oleh lelaki itu dan langsung melepaskan pelukan dengan wajah merona. Gadis itu bergegas menghampiri orang tua Juan untuk bersalaman.

"Hai Om. Tante."

Salim Rahardjo menyambut uluran tangan Amanda dan menyapanya dengan ramah. Lelaki paruh baya itu selalu mendukung pilihan putranya dalam menentukan pasangan hidup. Berbeda dengan istrinya. Kartika membuang pandangan saat gadis itu mendekatinya. 

"Tante makin seger, ya."

"Makasih." 

"Tante pakai skincare apa? Terus perawatan di mana? Kapan-kapan Manda ikut, ya," ucap gadis itu berbasa-basi.

"Air wudu," jawab Kartika sewot.

Seketika wajah Amanda berubah. Tentu saja dia tak mungkin melakukannya karena berbeda keyakinan. Hal itulah yang membuat hubungannya dengan Juan tak direstui. Padahal mereka berencana menikah di luar negeri yang bisa menerima perbedaan agama. 

"Oh lebih alami ya, Tante," ucap Amanda dengan senyum kecut. 

Sayangnya Kartika tetap tak setuju. Bagi wanita paruh baya itu agama adalah pondasi utama dalam pernikahan. Maka itu tidak boleh dibuat main-main, sekalipun dengan atas nama cinta. 

Banyak pasangan yang berhasil menjalaninya. Namun, yang gagal lebih banyak lagi. Dia tak mau Juan menggadaikan keyakinan hanya karena mempertahankan gadis itu.

"Bener. Bukan polesan kayak kamu."

Amanda tampak menahan kesal. Namun, gadis itu tetap berusaha untuk tenang.

"Oh iya, Manda baru aja habis beli tas baru. Nanti Manda kirim satu buat Tante. Manda beli dua."

"Habis uang Juan kamu porotin semua," sindir Kartika. 

"Oh gak dong, Tante. Manda kan punya penghasilan sendiri dari modeling."

"Model majalah dewasa," sungut Kartika.

"Mama--" tegur Salim.

"Mama mau pulang aja, Pa. Naik taksi. Papa kalau masih mau disini, silakan aja."

Kartika meninggalkan ruang rawat inap putranya tanpa berpamitan. Hal itu membuat Juan menghela napas. Dia sedang sakit tetapi mamanya masih tak bisa menahan diri. 

"Papa jalan dulu. Bahaya kalau nyonya ngamuk."

Salim memberi kode kepada putranya. Sekalipun usianya sudah lebih dari setengah abad, lelaki paruh baya itu suka bercanda dengan putranya. Juan menanggapi itu dengan anggukan. Kepalanya masih terasa sakit sehingga tak mau terlalu banyak bicara.

"Honey, Mama kamu itu," rajuk Amanda. 

"Gak usah diambil hati," bujuk Juan.

"Memangnya kenapa kalau aku jadi model majalah dewasa? Yang penting gak full naked," ucap Amanda membela diri. 

Juang mengusap wajah kekasihnya dengan lembut. Mendapat perlakuan itu, Amanda mengedipkan mata dan mendekatkan wajah mereka. Sehingga apa yang Juan harapkan pada janji mereka yang batal di apartemen kemarin, kini terbayar sudah.

***

"Permisi."

Beberapa orang memasuki ruangan rawat inap dengan hati-hati. Sekalipun Juan hanya terluka biasa, lelaki itu mendapatkan perawatan di kamar VIP. Setelah jam kerja selesai, para karyawan datang menjenguknya. Tara terpaksa harus ikut sekalipun begitu cemas karena dia adalah biang keladinya. 

"Hai, kalian! Masuk sini."

Juan mencoba ramah karena selama ini dia cukup kaku saat berinteraksi dengan bawahan, kecuali Tara tentunya. Lelaki itu merasa terharu karena mereka datang membesuk walaupun perilakunya tak cukup bersahabat selama di kantor.

"Semoga lekas sehat, Pak," ucap salah seorang karyawan.

"Maaf ya, Pak," sesal Tara.

Setelah mengucapkan itu, beberapa karyawan yang lain serentak menatapnya. Tara menjadi tak enak hati. Semua orang tahu bahwa cedera yang menimpa Juan terjadi di ruangannya. Namun, lelaki itu menutupinya agar tak banyak yang curiga. 

Mereka sepakat mengatakan bahwa dia terpeleset lalu menabrak meja kerja Tara. Sehingga vas bunga terjatuh dan mengenai pelipisnya. Untunglah semua orang percaya termasuk keluarganya dan Amanda.

"Lain kali kalau ada air yang tumpah, jangan lupa dibersihin," nasihat Juan.

Tara mengangguk, lalu mereka berbincang-bincang sejenak. Beberapa karyawan menanyakan perihal keluarga Juan untuk mengakrabkan diri. Ada juga yang menggoda lelaki itu dengan mengatakan bahwa tunangannya begitu cantik. Mereka tahu karena dia memasang foto profil bersama Amanda di W******p.

"Kalau begitu kami permisi, Pak. Nanti kemalaman di jalan," pamit para karyawan.

Juan mengucapkan terima kasih atas kunjungan itu. Namun, lelaki itu menahan Tara agar tak pulang duluan.

"Ada apa ya,Pak?" 

Tara bertanya dengan khawatir. Kondisi gadis itu ibarat sudah jatuh dan hendak tertimpa tangga pula. Papa yang sedang sakit, dia terancam kehilangan pekerjaan lalu, kini malah membuat bos celaka.

"Ada yang mau saya bicarakan tentang laporan. Saya kan lagi sakit, jadi dua hari ini gak bisa ke kantor," ucap lelaki itu beralasan.

Setelah semua orang keluar, kini tinggallah mereka berdua. Juan memberi kode agar Tara mendekat. Dia ingin meminta tanggung jawab gadis itu karena telah membuatnya terluka.

"Untuk laporan Bapak bisa chat aja. Nanti saya beresin sebelum saya resign," ucapnya tak enak hati.

Tara merasa ada sesuatu yang janggal dengan sikap Juan kali ini. Jadi dia harus berhati-hati.

"Saya mau minta tanggung jawab kamu soal luka yang ini," ucap Juan sembari menunjuk pelipisnya. 

"Itu gimana, Pak? Saya gak punya uang buat bayarin berobat Bapak yang mahal."

Juan mengulum senyum, lalu membisikkan sesuatu yang membuat Tara merona.

"Saya gak bisa."

"Satu kali aja. Pasti langsung sembuh," ucap Juan genit.

"Baiknya minta sama pacar Bapak aja," tolaknya lagi.

"Tapi kamu pelakunya. Jadi harus kamu yang sembuhin."

Tara hendak meninggalkan ruangan itu saat tangannya dicekal dengan kuat. Sehingga dia tak dapat kabur.

"Kamu gak naksir aku? Sekarang aku udah ganteng, loh," tanya Juan dengan percaya diri. 

"Ternyata Bapak masih sama aja kayak yang dulu. Suka maksa."

Tara tetap bersikap formal saat memanggil Juan sebagai bentuk penghormatan.

"Sekali ini aja, Ra. Sentuh aku. Kamu gak kasihan sama aku. Bertahun-tahun nyimpan rasa," bujuk Juan.

"Bapak udah punya tunangan. Lagian saya juga bakalan cabut dari kantor," ucap Tara sinis.

"Kamu gak perlu kehilangan pekerjaan kalau mau--"

"Terus, jadi gak adil dong sama yang lain karena mereka harus resign."

"Ayolah, Ra. Cuma kiss."

"Saya mau pulang. Papa lagi sakit. Jadi saya mau ngurusin semua."

Tara tadinya tak mau ikut membesuk, tetapi terpaksa karena desakan yang lain. Ternyata di saat seperti ini Juan masih saja memanfaatkan keadaan. 

"Kamu belagu banget, sih. Udah susah juga."

Juan tak mau mendengar alasan apa pun dari mulut Tara. Sudah terlalu lama dia membuang waktu. Sebelum gadis itu sempat menghindar, dia meraih tubuh mungil itu dan berniat menyentuhnya.

"Apaan, sih?"

Tara mendorong wajah Juan hingga mengenai bekas lukanya. Lelaki itu berteriak kesakitan sembari memegang pelipis. Bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka. 

Kartika terbelalak melihat Juan sedang berduaan dengan gadis lain. Apalagi melihat Tara yang sedang panik dan mencoba menyentuh luka putranya.

"Juan! Apa-apaan ini?"

Dua orang itu tersentak, lalu saling berpandangan. Di saat Tara lengah, Juan menarik gadis itu dan menyentuh pipinya dengan lembut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status