Suasana di ruangan begitu tegang karena tim dari pusat ikut hadir dalam meeting kali ini. Juan dengan penuh percaya diri menyampaikan presentasi yang materinya disusun oleh Tara kemarin. Dia menatap gadis itu dengan geram karena telah menolaknya. Lelaki itu begitu kesal karena setiba di apartemen, Amanda sudah pulang karena terlalu lama menunggu.
"Performa penjualan cabang ini menurun cukup drastis dibanding dengan bulan yang sama tahun lalu. Namun, ini tak mengapa karena saya yakin kita bisa mengejarnya di bulan depan."
Semua orang menyimak penjelasan Juan dengan serius. Lelaki ini agak kaku dibanding dengan Andreas yang lebih luwes dan suka bercanda.
"Saya sendiri masih beradaptasi dengan suasana di kantor ini. Kelak, kita akan mengadakan event-event yang akan mengangkat penjualan. Contohnya ...."
Juan kembali memaparkan rencana kerjanya. Ternyata slide presentasi yang disusun oleh Tara hanya bersifat umum. Lelaki itu telah menambahkan beberapa poin penting lainnya untuk melengkapi.
Setelah presentasi selesai, semua orang bertepuk tangan. Ternyata rancangan yang lelaki itu susun cukup bagus karena merupakan terobosan baru yang belum pernah cabang ini lakukan sebelumnya.
"Yang saya perlukan hanya satu. Kerjasama tim yang baik dari kalian semua."
Juan lama menetap di luar negeri. Sehingga dia banyak mengadaptasi kebiasaan warga di sana untuk diterapkan di cabang yang akan dia pimpin.
Sebelum memilih kantor mana yang akan dia pegang, lelaki itu menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk meneliti . Dan dia cukup terkejut melihat ada nama Tara di daftar karyawan.
Sebenarnya hampir semua cabang melakukan kecurangan. Hanya saja di cabang ini dia menemukan cinta pertama, yaitu Giyanti Ditara. Lelaki itu langsung meminta papanya membuat surat keputusan agar ditempatkan di sini sesegera mungkin.
"Saya cukupkan sampai di sini. Kalian boleh istirahat makan siang. Saya sudah memesan katering yang disediakan di depan."
Para peserta mulai membersihkan meja dan memasukkan barang-barang ke tas.
"Untuk bagian keuangan dan sekretaris saya, tolong tetap di ruangan. Makan siangnya akan diantar ke sini. Masih ada meeting lanjutan bersama perwakilan kantor pusat dan tim audit."
Mendengar kata audit, Tara tertegun dan saling berpandangan dengan kepala divisi keuangan. Sepertinya kali ini tamat sudah riwayat mereka.
***
"Kami memberikan dua pilihan kepada anda semua sebagai solusi terbaik dari kasus ini. Mengingat masa kerja yang sudah cukup lama dan performance yang bagus."
Perwakilan dari pusat memulai meeting lanjutan setelah mereka makan siang. Menu katering yang dipesan Juan cukup mewah karena mengeluarkan dana pribadi. Sayangnya, bagi Tara dan tim HRD itu terasa tidak enak di lidah. Mereka sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini.
"Pilihan pertama yaitu mengundurkan diri tanpa kompensasi apa pun. Sehingga nama baik akan tetap terjaga."
Mendengar itu, Tara saling melempar pandangan dengan kepala keuangan.
"Sedangkan pilihan kedua dipecat dengan tidak hormat dan mendapatkan uang pesangon. Tapi nama baik tercoreng."
Tim audit mulai membagikan berkas yang di-klip sebagai barang bukti dari hasil penyelidikan mereka. Beberapa kecurangan itu diberi tanda khusus sehingga setiap orang bisa melihatnya secara jelas.
Tara mengambilnya dengan malas dan membiarkannya tergeletak di meja. Rak perlu membela diri karena keputusan sudah ditentukan. Meeting hari ini hanya sebagai pemberitahuan resmi bahwa mereka diminta untuk segera keluar dari perusahaan.
Tara menunduk dengan mata berkaca-kaca. Jika boleh memilih dipecat dengan pesangon, tentu saja dia akan mengambilnya. Namun, mamanya akan kecewa jika sampai tahu.
Sudah cukup papanya yang membuat malu keluarga. Jika dia mengulangi hal yang sama, maka mereka akan semakin hina di mata orang lain.
"Keputusan Anda semua kami tunggu sekarang juga. Saya sebagai wakil dari pusat akan langsung memprosesnya hari ini juga, supaya tidak berlarut-larut. Lagipula bukti sudah cukup dari tim audit."
Juan menatap Tara dengan lekat. Ingin mengetahui seberapa kuat gadis itu mengendalikan diri. Dia yakin bahwa sekretarisnya itu ingin menangis sejak tadi. Hanya saja berusaha menahan agar terlihat tegar di mata mereka.
"Saya pilih mengundurkan diri, Pak," jawab kepala keuangan dengan cepat. Dia rela tidak mendapat uang pesangon asal masih bisa diterima bekerja di tempat lain.
"Saya juga, Pak," jawab wakil divisi keuangan.
Tara menatap dua orang itu dengan gamang, lalu beralih ke arah tim audit dan perwakilan pusat. Gadis itu sengaja tak mau melihat Juan karena rasa benci yang kembali hadir setelah diperlakukan seperti ini.
"Bagaimana dengan Ibu Tara?"
"Saya--"
"Dijawab saja, Ra. Kami nunggu keputusan kamu," timpal Juan.
Tara membuang pandangan karena tak sudi melihat lelaki itu. Amarah sudah mulai berkobar di dada. Namun, gadis itu mati-matian berusaha menahannya agar tak memalukan diri sendiri. Dia bersalah dan tak mungkin mengelak lagi.
"Saya memilih untuk mengundurkan diri."
Juan tersentak lalu mengulum senyum, merasa salut atas keputusan yang Tara ambil. Dia tak menyangka jika gadis itu berani mengambil resiko. Dia tahu bahwa nama baik sedang dipertahankan oleh para tersangka di ruangan ini.
"Oke. Kami memberikan waktu satu bulan kepada Anda semua untuk mengajukan surat pengunduran diri."
"Baik, Pak."
"Untuk penggantinya, Anda semua jangan khawatir. Kami dari kantor pusat akan mengirim orang untuk menempati posisi Bapak dan Ibu sekarang."
Tara mengepalkan tangan di bawah meja karena geram. Begitu teganya Juan memperlakukan mereka seperti ini.
"Dulu Pak Andre pernah berjanji tidak akan melibatkan kami dalam kasus ini. Kami hanya melaksanakan perintahnya," ucap Tara bersuara. Kali ini dia benar-benar tak terima.
Juan, tim audit dan perwakilan dari pusat saling berpandangan. Mereka berbisik-bisik sembari berdiskusi untuk beberapa saat.
"Pak Andreas sudah tidak berada di cabang ini lagi. Jadi keputusan resmi adalah kekuasaan mutlak dari kepala cabang yang baru."
Tara akhirnya melirik ke arah Juan dan menatapnya garang.
"Untuk Pak Andreas kami sudah memiliki kebijakan sendiri. Beliau akan dimutasi ke Papua dan lebih memilih untuk mengundurkan diri sama seperti Anda semua."
Suasana menjadi hening. Semua orang akhirnya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Baiklah saya tutup meeting kali ini karena sudah selesai. Apa yang kita bicarakan sudah kami rekam sebagai bukti otentik untuk menyelesaikan kasusnya."
Tara tertunduk lemas dan segera membereskan barangnya. Dia bahkan tak sudi bersalaman dengan mereka dan langsung keluar menuju ruangannya sendiri. Untunglah Juan pintar menutupi sehingga tim dari pusat tidak tersinggung dengan sikap gadis itu.
Setelah selesai mengantar perwakilan dari pusat dan tim audit pulang, Juan bergegas menuju ke ruangan Tara. Entah mengapa dia merasa khawatir dengan gadis itu.
***
"Ya, Ma?" tanya Tara ketika menjawab panggilan.
"Papa kamu sudah sadar, Nak," jawab Diana dengan suara terbata-bata.
"Alhamdulillah," ucap Tara dengan penuh syukur.
"Cuma itu--" isak Diana di seberang sana.
"Ada apa, Ma? Jangan bikin Tara khawatir."
"Papa harus dioperasi karena ada sumbatan di pembuluh darahnya."
Seketika ponsel digenggaman Tara terlepas. Gadis itu berteriak melampiaskan amarah. Dia mengambil vas bunga dan melemparnya tepat ke arah pintu, ketika tiba-tiba saja Juan muncul. Sehingga pelipis lelaki itu terkena pecahan kaca dan mengucurkan darah. Lalu tubuh besarnya ambruk ke lantai.
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak