“Di mana kamu?” Ayu dengan telepon yang masih menempel di telinganya, membayar ongkos taxi. “Tungguin aku masih baru sampai ini.”
Ayu masuk ke dalam mall yang terletak di tengah kota. Pusat perbelanjaan itu masih terlihat sepi, karena baru saja buka. Ayu adalah termasuk pendatang pertama. Gadis itu dengan dandanannya yang mulai berani, berjalan menuju sebuah coffee shop.
“Ikka! Dilla!” Ayu berteriak senang.
Dia segera berlari kecil menghampiri dua teman yang dulunya pernah akrab dengannya ketika sedang kursus kecantikan. Ika dan Dilla sebelumnya memang tidak pernah jalan dengan Ayu, karena gadis itu selalu menghindar dan pulang duluan untuk kencan diam-diam dengan Faisal.
“Eh, tambah bongsor saja kamu,” sapa Ika.
“Kemana saja kau semalaman?” Faisal menatap tajam ke arah Ayu.Gadis itu baru pulang sore hari setelah kemarin seharian tidak ada di rumah. Dia berpamitan menginap dan mematikan handphone tanpa sempat Faisal memberi izin atau pun melarang. Pria itu merasa kesal dan marah pada istri mudanya.“Kan Ayu sudah kirim pesan semalam.”“Lalu kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?”“Baterinya habis.”“Jangan alasan, Ayu!”“Sudahlah, Mas, yang penting kan Ayu sudah pulang. Mas butuh sesuatu dariku? Apa Mas merindukanku dan ingin meni
“Bapak …,” Rianti sujud di sisi lelaki tua yang terbaring lemah.“Kamu sudah datang, Nduk?” Terdengar getaran di nada bicaranya.“Iya, Pak, Rianti di sini. Bapak kenapa sampai jatuh sakit?” Rianti membelai rambut putih yang mendominasi kepala ayahnya.“Menurutmu kenapa, Nduk?” Pertanyaan itu membungkam bibir Rianti.Hening sejenak menguasai suasana kamar tersebut. Hanya ada helaan napas berat Bapak dan hembusan napas lemas Rianti. Dia menatap ayahnya dengan penuh rasa bersalah. Gara-gara dirinya, pria itu terbujur lemah di peraduan.Rianti pulang segera menuju ke Lumajang, ketika mendapatkan telep
“Jangan gegabah, Dik, itu urusan rumah tangga Mas Faisal dan mbak yu Rianti, kita tidak boleh ikut campur.” Mansyur berusaha mengendalikan emosi Fitri.“Tidak ikut campur bagaimana sih, Mas? Mbak Rianti itu kakakku, bukan lagi ipar, malah Mas Faisal itu yang ipar. Mana ada saudara kaya dia. Kamu tahu sendiri bukan, setiap kali keluara bapak dan ibu dalam kesusahan, setiap kali kita ataupun mas Farrel perlu bantuan, kepada siapa kita mengadu?” Fitri mengelus dadanya, napasnya naik turun tidak beraturan.Ya pada mbak Rianti. Mana bisa kita ngomong baik-baik dengan Mas Faisal? Dia itu tidak pekaaa, tidak pernah peka dengan perasaan orang lain. Kalau peka, mana tega dia selingkuh dan menyakiti hati mbakk Rianti. Gak mungkin, pria seperti itu jika tidak bertobat, maka Surga dijauhkan darinya. Inget, Mas, Surg
“Jadi kamu yang bernama Ayu?” Fitri menatap perempuan muda di hadapannya.“Iya, Mbak. Mbak siapa ya?” Ayu menatap heran ke arah Fitri dan Anisa.Dia baru saja bangun dari tidur siangnya, tiba-tiba saat Ayu keluar kamar dan hendak makan dua orang wanita itu sudah menghadangnya dengan sorot mata dingin. Ayu tidak mengerti masalah apa yang membuat mereka berdua membencinya.“Kamu tidak tahu siapa kami?” Fitri mendesis jengkel.“Memangnya kita pernah bertemu ya, Mbak?” Ayu bersikap acuh. “Pasti temannya Mbak Rianti ya, apa bibik tidak kasih tahu kalau Mbak Rianti tidak ada di rumah.”Ayu dengan acuh me
Faisal segera pulang ketika mendapatkan telepon dari Rianti, yang terdengar sangat mengkhawatirkan. Pria itu terkejut ketika Rianti terdengar bingung, kacau dan setengah histeris menceritakan perkelahian ketiga wanita itu. Faisal bisa dengan jelas mendengar teriakan dan kegaduhan lewat ponsel istri pertamanya. Belum lagi tangisan ketakutan Dewi.Benar saja, sesampainya dia di rumah, keadaan sangat kacau balau. Faisal melihat jilbab yang robek dan rambut Fitri berantakan. Tak kalah mengerikan juga keadaan rambut Anisa, ada goresan panjang di pipi adik iparnya, semoga saja tidak meninggalkan luka. Apalagi Faisal tahu bagaimana Anisa merawat diri.Bik Ina sedang sibuk membersihkan pecahan vas dan kaca, akibat perkelahian ketiga wanita tersebut. Rumah bagaikan kapal pecah, dan Faisal melihat Ayu duduk dengan mencengkram bantal di kursi.
“Kenapa mukamu bete, Yu?” Ikka yang baru saja pulang bekerja melihat Ayu sedang duduk di kontrakannya dengan wajah cemberut. “Banyak Mak lampir di rumah suamiku,” sahut Ayu asal. Wajah gadis itu terlihat ditekuk dan bola matanya berputar saat mengucapkan kalimatnya. “Mak lampir? Maksudmu?” Dilla yang baru saja muncul di depan pintu, langsung saja menceletuk ucapan Ayu “Itu, adik dan ipar suamiku datang. Ngeselin banget mulutnya nyotot sekali kalau ngomong. Pingin aku uleg jadikan rujak!” Ayu dengan bersemangat mempraktekan gerakan mengulek rujak. “Memangnya apa yang mereka lakukan sampai kamu kesal sekali?” Dilla yang penasaran duduk di depan Ayu dengan kaki yang tertekuk. “Masa mereka bilang aku Sundal?” Ayu melotot dengan sorot mata penuh kekesalan. “Dasar pakai hijab tapi mulut tidak tahu diselametin. Nyrocos terus … mulutnya nyinyirin aku terus. Memangnya kenapa kalau aku jadi istri kedua? Bukan juga istri simpanan. Gini-gini aku juga dinikahi secara agama, sah, hamil dan m
Ayu merasa dirinya menjadi terdakwa dalam persidangan. Wanita itu merasa kesal ketika keesokan harinya kembali, ternyata Fitri dan Anisa masih ada di rumah. Wajah Ayu dia tekuk, malas berhadapan dengan saudara Faisal yang selalu menyudutkan dirinya.Dia tahu kalau dirinya sudah kalah telak. Ayu pun merasa sedikit demi sedikit perhatian Faisal padanya mulai berkurang. Pria itu tidak lagi mengutamakan dirinya seperti dulu, ketika mereka masih belum menikah. Tepatnya ketika perut Ayu belum membesar dan melahirkan Dewi.“Keputusan Ayu sudah bulat, Mas. Ayu ingin menjadi istri yang mandiri dan tidak selalu merepotkan Mbak Rianti.” Ayu menatap Faisal dengan tegas.“Kamu yakin bisa tinggal sendiri? Selama ini semua pekerjaan rumah tangga sudah diselesaikan o
Rumah ini … meskipun tidak sebesar dan semewah rumah Faisal, tetapi Ayu merasa puas. Rumah ini jauh lebih baik daripada rumah orang tuanya di kampung. Apalagi Faisal rutin memerintahkan pekerja untuk membersihkan rumah yang tidak pernah di tempati itu.Ayu menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Gadis itu memandang langit- langit kamar dengan perasaan puas. Dia menggerakan kedua tangan dan kaki terbuka dan tertutup, seperti gerakan orang yang sedang berenang.“Mas, sini dong bubuk sama aku.” Ayu menepuk tempat tidur di sisinya yang kosong. Faisal masih berdiri dengan kaku di dalam ruangan yang pintunya terbuka. Lelaki itu seperti orang bodoh yang tidak tahu harus melakukan apa. “Mas … sini dong, kita kan sudah lama tidak berduaan begini.” Ayu memiringkan tubuhnya dan menumpu kepala dengan satu tangan.Gadis itu mengedipkan matanya manja. Dia meletakkan satu jari berputar di belahan dadanya. Ayu melepaskan satu bagian kancing blouse, sambil matanya menatap Faisal dengan penuh kei