Share

Part 8 Deep Talk Sebagai Istri

"Pagi Sayang, gimana tidurnya? Mimpi apa tadi malam?" Sapa Re yang terlihat samar wajahnya sudah berada di hadapanku.

Ia makin mendekatkan wajahnya ke arahku, dan benar saja ia langsung mengecup bibirku hingga nyaris melumatnya. Spontan, ku dorong tubuhnya dari hadapanku.

"Loh, kenapa Sayang? Aku suamimu loh ini," dengan nadanya yang cukup tinggi.

"Re, nanti kita bisa ngobrol sebentar? Ada hal yang gak bisa aku tahan sendiri lagi," jawabku yang langsung berdiri menuju kamar mandi.

"Bisa, aku tunggu nih kamu disini," balasnya.

Baru saja sekitar 10 menit aku berada di kamar mandi, aku mendengar suara dering ponsel Re berbunyi. Aku mencoba untuk menguping dari balik dinding kamar mandi ini, namun suaranya perlahan semakin jauh.

"Sial dia justru ke balkon!" gerutuku.

Dengan penggunaan sabun yang belum maksimal, ku lilitkan handuk ke lingkar tubuhku, lalu mengendap-endap keluar dari kamar mandi untuk sekedar mencari tahu suamiku ini sedang berhubungan dengan siapa.

"Ya sudah kalo memang begitu, sisanya urus terakhir. Yang penting dia gak curiga," sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Re berhasil membuatku berpikir secara berlebihan.

"Apa maksudnya?" Batinku.

Lalu terdengar langkah kaki menuju masuk kembali ke dalam kamar, dan aku tentu saja berpura-pura sudah selesai mandi.

"Abis darimana?" Tanyaku dengan ketus.

"Angkat telepon nih dari kantor," jawabnya dengan datar.

"Kamu mau nanya apa sih, Sayang?" Tanyanya sembari duduk di atas ranjang menatapku yang masih mengenakan pakaian gaun rumah ini.

"Sini aku bantu kancingin," tambahnya yang langsung berdiri menarikkan kancing yang terletak pada bagian punggungku. Tak lama ia langsung memelukku erat dari belakang, dan bibirnya mengarah ke leherku.

Ia cumbui leher ini dengan kasarnya, bahkan sesekali ia gigit. Sementara aku masih mendiamkannya dan sedikit menikmati apa yang tengah ia lakukan.

"Sayang suka?" Tanyanya, dengan semakin menjadi mengarahkan tangannya ke bagian dadaku.

"Re, stop!" ketusku yang langsung menyingkirkan tangannya. Ia tampak kaget dan menarikku ke ranjang. Aku menepis tangannya.

"Re aku mau bicara!" 

"Apa sih Sayang!" Pertama kalinya aku mendengar ia membentakku dengan kencang.

Aku masih coba mengontrol emosi yang mengalir di dalam tubuh ini, sehingga sesekali aku atur ritme pernapasan.

Aku tarik tangannya, ku ajak dia duduk saling berhadapan.

"Re, kamu bisa jujur sama aku?" Aku menatap matanya tajam. Ku lihat mata coklat khasnya sedang menatapku. Tujuan ku terus menatapkan mata ke arahnya sebagai justifikai bahwa ia tidak terlibat dalam hal apapun, ia paham bahwa saat ini aku begitu serius untuk membicarakan hal ini.

"Apa yang harus aku jujurin? Kamu kan udah tahu semua. Laila, tolong jangan menciptakan masalah, dong!" Lagi, dia menjawabku dengan ketus lagi.

Aku heran dengan perubahan sikapnya yang secara nyata terjadi semenjak hari pernikahan berlangsung.

"Apakah ada yang sedang kamu tutupi dari aku?" Tanyaku pelan.

Ia menundukkan wajahnya, ia tak menatap mataku.

Bagiku itu sudah cukup mewakili akan jawabannya, bahwa memang benar ia punya sesuatu yang ditutupi olehku sebagai istrinya.

Tak lama ia menghembuskan nafas, dan pelan-pelan menjawab,

"Gak ada Sayang. Berapa kali harus aku jelaskan bahwa aku tidak melakukan apapun yang sedang kamu pikirkan," tegasnya.

"Lantas, mengapa kamu selalu menghindar dariku ketika kamu mengangkat panggilan telepon?" Tanyaku yang langsung pada inti kekesalan dan overthinking terjadi beberapa hari ini pasca berlangsungnya pernikahan.

"Ya memangnya kamu mau dengar pembicaraanku dengan staff?" Tanyanya balik.

"Ya, kenapa tidak? Aku juga tidak memiliki singgungan terhadap kantormu. Aku ini istrimu loh Re, bukan orang lain yang tidak perlu tahu apa yang sedang kamu lakukan, apa yang sedang kamu pikirin, bahkan apa yang sedang terjadi dengan kamu. Aku ini istrimu loh Re. Tapi mengapa beberapa hari ini justru kau buat aku terus berpikir dan mencurigai semua tindakanmu?" Jelasku yang lebih terperinci.

"Sayang, dengerin aku ya kali ini. Aku punya alasan kok untuk tidak membebani kamu dengan menceritainya, atau sekedar mengangkat telepon dari orang lain di depanmu. Bagiku kamu adalah rumah, ya tempat ternyamanku. Aku tidak mau membuat rumahku kotor dengan menyediakan selalu keluh kesahku, bahkan permasalahan kantor yang tidak seberapa itu. Jadi kalo saat ini kamu sedang berpikir yang menyimpang, tolong deh dipikirkan lagi. Wajar gak dengan suami berpikir demikian?" Ucapnya sembari melihat mataku, begitupun aku yang terus menatapnya selama ia berbicara.

"Hanya itu?" Terangku.

"Iya Sayang. Apa kamu masih belum percaya dan meragukan aku?" 

"Re, aku gak pernah ragu untuk menerima lamaranmu, tapi semenjak nikah beberapa hari yang lalu, aku merasa versi dirimu jauh berubah dari sebelumnya," ujarku dengan menjelaskan apa yang sedang aku ragukan dan rasakan dari diri Re.

"Sayang, justru ketika mereka yang masih berada dalam ikatan pacaran, tak akan pernah tahu faktanya seperti apa. Sebab mereka semua telah menggunakan topeng untuk menarik perhatian lawan jenis atau target yang mereka sedang perjuangkan. Sementara menikah, ya sudah wajarnya kamu tahu apa yang telah berubah dari pasanganmu, termasuk juga diri aku," Re menjelaskan kembali tentang kerisauan perasaanku terkait kecurigaanku kepadanya.

Aku terdiam. Perasaanku sangat kacau dengan jawaban ia yang begitu menenangkan sementara apabila mengingat kelakukannya membuatku benci lagi kepadanya.

"Ada lagi yang masih kamu raguin?" Tanyanya lagi.

"Masih banyak Re, semua tentang lo yang gue ragukan, mulai dari sikap dan karakter, panggilan telepon misterius, surat yang ku temukan di lemari, dan setelah ini apalagi?" bisikku dalam hati.

"Hmm sudah deh Re, aku gak tau harus bagaimana," balasku singkat.

Tak lama, ia berdiri dan mengambil ponsel dekat meja riasku. Ia berjalan lagi menujuku, lalu berkata

"Ini aku lihatkan ke kamu isi chat yang ada dalam ponselku," ucapnya dan langsung membuka aplikasi chat. 

Dari aplikasi chat tersebut, hanya tersedia 10 pesan. Teratas adalah namaku yang kini kontaknya telah ia ubah menjadi lovely wife, lalu di posisi nomor dua adalah mamanya, dan sisanya grup pekerjaan.

"Puas sudah?" Tanyanya sembari tersenyum kepadaku.

"Ini pasti ada yang ganjal, aku bisa tahu dan merasakan ada yang tengah ia sembunyikan, namun semua buktinya telah ia kondisikan melalui ponsel lain." batinku dalam hati yang terus yakin bahwa ada yang sedang ia tutupi dariku.

"Ya sudah Sayang. Maaf ya aku curigaan seperti ini," ucapku pelan.

"Aku yakin bisa membongkar rahasia ini," desisku dalam hati.

"Ya sudah, jangan jutek lagi. Aku paham kok kamu merasakan cemburu gitu, paham. Namun jangan berlebihan. Hubungan ini kita harus jaga, Sayang. Kita bangun dengan rasa kepercayaan satu sama lain. Apabila sudah ada pelanggaran dalam hubungan ini, maka sudah tidak ada lagi arti kepercayaan." Re menjelaskan secara detail terkait kecurigaanku. 

****

Aku jelas melihatnya bersama perempuan bergaun merah tengah berdansa dalam ruangan club mewah khas Italia. Aku melihatnya sedang bercumbu dengan perempuan lain, namun tak ku lihat dengan pasti wajah perempuan itu. 

"Reee........" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status