Bab 16
"Sayang, kamu sudah pulang?" Hans bertanya setelah ia membukakan pintu rumah untuk Nida yang baru saja datang dari luar. Senyum laki-laki itu terlihat begitu manis saat menyambut sang istri yang sudah ia tunggu kedatangannya sejak tadi.Nida sendiri merasa terkejut saat melihat bukan Bi Retno yang membukakan pintu untuknya, tetapi justru suaminya sendiri."Em, iya," kata Nida, membalas pertanyaan retoris suaminya.Setelahnya, Nida langsung masuk ke dalam rumah, disusul oleh Hans yang segera mensejajarkan langkah mereka setelah sebelumnya menutup kembali pintu rumahnya."Tadi ke mana saja dengan Gisel? Kenapa baru pulang semalam ini, Sayang?" tanya Hans di sela langkah mereka menuju kamar.Ini memang sudah jam delapan malam. Sejak tadi siang bahkan Hans sudah menghubungi Nida, tetapi wanita itu tak menjawab panggilannya satu kali pun hingga membuatnya merasa khawatir. Maka dari itu, Hans sengaja menunggu kepulangan NidBab 17"Hari ini Mas sepertinya akan pulang terlambat. Kamu ingat 'kan kalau hari ini sedang pembukuan bulanan di restorant? Jadi sepertinya Mas harus lembur. Tidak apa-apa kan kalau Mas pulang terlambat?" ujar Hans ketika ia dan Nida tengah menikmati sarapan. Nida hanya mengangguk sebagai respons atas ucapan suaminya. Memangnya kenapa kalau Hans pulang terlambat? Toh saat Hans jarang pulang ke rumah ini pun Nida merasa baik-baik saja. "Soal apa yang kamu minta tadi malam, Mas akan menyetujuinya. Kamu ingin mengelola salah satu restoran kita, seperti halnya Diaz, 'kan? Mas akan meminta Diaz untuk menyerahkan salah satu restoran untuk kamu kelola," ujar Hans lagi. Ia telah memikirkan hal itu semalaman dan berpikir tidak ada salahnya jika ia memberikan kesempatan pada Nida untuk mengelola salah satu cabang restorannya.Nida yang sebelumnya hanya fokus pada makanan di depannya, seketika mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Hans. "Buka
Bab 18Pagi ini, Lily tampak sudah berada di rumah putrinya untuk menumpang sarapan. Ia memang sengaja mengunjungi anak sulungnya itu karena tahu hari ini Hans masih berada di rumah istri pertamanya. Tentu saja kedatangan Lily bukan tanpa tujuan berarti. Ia sebenarnya memiliki sebuah rencana yang hendak ia utarakan kepada Diaz. "Kalau kita buat perempuan bodoh itu celaka hingga kandungannya tidak dapat diselamatkan, menurutmu bagaimana, Diaz?" tanya Lily kepada putrinya. Wanita paruh yang selalu berpenampilan glamor itu berbicara di sela-sela acara sarapannya bersama sang putri. "Aku sudah pernah bilang, kan? Itu terlalu beresiko, Bu. Bagaimana kalau kita ketahuan? Yang ada justru kita yang akan dirugikan," kata Diaz, yang lagi-lagi menolak usulan dari ibunya untuk membuat hubungan Nida dan Hans kembali merenggang. "Lalu kamu mau bagaimana? Tidak mungkin kita diam saja dan membiarkan suamimu kembali mesra dengan istri tuanya, 'kan?" Lily hanya
Bab 19Di restoran, Hans tampak sibuk dengan pekerjaannya. Ia mulai mengecek hasil penjualan restoran satu bulan ini, mengecek stok persediaan dapur, juga soal gaji karyawan yang akan diberikan tiga hari ke depan. Namun, di tengah kesibukannya itu Hans tiba-tiba teringat dengan perkataan Nida tadi pagi. Istri pertamanya itu mengatakan jika kedua restoran cabangnya hampir bangkrut. Ia jadi bertanya-tanya, kenapa Nida bisa berkata seperti itu? Apa benar hanya karena ingin menjelek-jelekkan Diaz? Namun, karena Hans tahu jika Nida bukan tipe orang yang suka bicara omong kosong, perkataan wanita itu tadi pagi ternyata mulai memengaruhi pikirannya. "Apa aku tanya Diaz saja ya? Tapi selama ini Diaz selalu memberikan laporan keuangan restoran cabang dan pendapatan di sana selalu stabil. Tidak mungkin Diaz berbohong padaku, 'kan?" Hans bermonolog. Ia ingin mempercayai Diaz dengan semua laporan keuangan yang rutin diberikan padanya, tetapi ucapan Nida tadi pagi ju
Bab 20Diaz dan Heru yang melihat kedatangan Hans yang tanpa aba-aba, jelas saja merasa sangat terkejut. Mereka langsung panik, saling menjauhkan diri yang tadi begitu rapat, tapi akhirnya hanya bisa tertahan di ranjang saat sadar mereka hanya terbungkus selimut, sementara tubuh mereka tak mengenakan apa-apa lagi di dalam sana. "M-mas Hans, kenapa kamu tidak menghubungiku dulu sebelum pulang?" cicit Diaz, yang suaranya bahkan hampir tidak terdengar. Hans tersenyum sinis saat menatap ke arah istrinya. Bisa-bisanya Diaz masih berani berbicara seperti itu, setelah kebusukannya telah terpampang dengan nyata. Hans benar-benar tak menyangka, istri yang selama ini begitu ia cintai, bahkan karena kehadiran Diaz pula ia sampai mengabaikan istrinya pertamanya, ternyata tega berbuat seperti ini padanya. Hans baru merasakan sekarang, jika ternyata dikhianati rasanya sesakit ini. Apa ini juga yang Nida rasakan ketika dulu ia memaksa wanita itu untuk menyet
Bab 21Setelah mendapati kenyataan menyakitkan tentang perselingkuhan istri kesayangannya, kini satu-satunya yang ada di pikiran Hans hanyalah pulang ke rumah sang istri pertama. Ia benar-benar merasa kalut dan berharap dengan bertemu Nida suasana hatinya akan membaik. Perjalanan dari rumah Diaz ke kediaman Nida yang sebenarnya tidak terlalu jauh, entah kenapa sekarang terasa begitu lama bagi Hans. Padahal pria itu sudah mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, tapi rasanya ia tidak sampai-sampai di rumah Nida. Saking kesalnya dengan keadaan ini, ia bahkan sampai mengumpat setiap menemui kemacetan atau ada yang menyalip mobilnya. Sampai akhirnya, Hans tiba di kediaman Nida. Ia dengan cepat melangkahkan kakinya memasuki rumah untuk mencari istrinya. "Nida! Sayang! Kamu di mana?" panggil Hans seperti orang yang tengah kesetanan. Ia bahkan berteriak dengan kencang, padahal rumah itu jelas tidak terlalu besar. "Tuan? Ada a
Bab 22."Diaz? Tumben kamu ke sini? Loh, kamu naik taksi? Mobilmu ke mana?" Lily yang baru saja membuka pintu rumah karena ada yang menekan bel, merasa heran saat mendapati jika putrinyalah yang berada di sana. Wanita paruh baya itu bertambah heran ketika melihat mobil taksi yang terlihat baru meninggalkan halaman rumahnya. "Aku capek, Bu. Apa tidak bisa aku dibiarkan masuk terlebih dulu?" ujar Diaz, yang memang tampak kacau sekali keadaannya. "Ya sudah ayo masuk," kata Lily. Kemudian, keduanya pun langsung memasuki rumah dan berhenti di ruang tengah. "Aku mau dibuatkan jus jambu dong, Bu. Ada, kan?" pinta Diaz, begitu dia duduk di kursi ruang tengah tersebut. "Kamu pikir ibumu ini pembantu? Ambil sendiri kalau mau minum!" omel Lily, merasa kesal dengan tingkah putri sulungnya tersebut. Di rumah itu memang tidak ada pembantu seperti di rumah Diaz. Jadi jika menginginkan sesuatu mereka harus melakukan semuanya sendiri, tanpa
Bab 23"Tahu tidak, Mas? Kesalahan yang paling bodoh yang telah istri kesayanganmu itu lakukan adalah memakai uang restoran untuk memenuhi gaya hedonnya dan keluarganya," kata Nida, memulai penjelasannya. Hans diam, tetapi tangannya tanpa sadar mengepal karena amarah yang ia rasa. Jadi Diaz memakai uang restoran? Benar-benar kurang ajar istri keduanya itu. Sudah diberi kepercayaan, tetapi justru disalahgunakan. "Itu hanya awal dari kehancuran restoranmu, Mas. Diaz dan ibunya yang OKB norak itu juga sering mengajak teman dan kerabat mereka makan di restoran secara gratis. Tampaknya mereka ingin pamer, karena Diaz yang dulu hanya perempuan miskin, kini telah naik derajatnya karena telah menikah denganmu. Bukan hanya itu saja, karena kebodohan perempuan itu yang memakai uang restoran tanpa perhitungan, akhirnya dia tidak bisa menutupi biaya operasional. Gaji karyawan keteteran, tagihan pada penyuplai juga sering telat dibayarkan, sampai akhirnya yang paling
Bab 24 Malam ini Diaz tak bisa memejamkan mata. Ia masih duduk di balkon kamarnya yang berada di lantai dua dengan pandangan kosong yang tampak menyedihkan. Matanya tampak sembab, pun wajahnya yang pucat semakin memperlihatkan betapa berat masalah yang tengah dihadapinya. Bahkan, hawa dingin yang semakin menusuk kulit pun sama sekali tak wanita itu pedulikan. Di tengah keheningan yang melingkupi Diaz, tiba-tiba suara dering ponsel terdengar dalam kamar. Diaz pun dengan malas-malasan menghampiri suara itu, dan bertambah tak bersemangat ketika melihat nama Heru yang ternyata membuat panggilan. "Halo," sapa Diaz, lantas segera mendudukkan diri di atas ranjang. Ia tampak tak bersemangat karena hingga sekarang Hans tak juga menghubunginya. "Halo, Diaz. Kamu kenapa baru bisa dihubungi? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ujar Heru, terdengar sangat mengkhawatirkan Diaz. Ia benar-benar takut Hans menyakiti Diaz setelah kejadian tadi siang."Ada apa meneleponku?" tanya Diaz, tak memedulikan sedi