Share

3. Memperbaiki Hubungan

Bab 3. 

Hari ini suasana di rumah Nida tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Jika sebelumnya di rumah itu hanya ada Nida dan Bi Retno, maka hari ini Hans seharian penuh berada di sana. Itu adalah hal yang tak pernah pria tersebut lakukan sejak ada Diaz di antara mereka. 

Apa Nida senang dengan hal tersebut? Sayangnya, jawabannya adalah tidak. Ia yang sudah terbiasa tanpa suaminya, kini justru merasa risi karena laki-laki itu terus menempelinya ke mana pun ia pergi. 

"Kamu mau makan sesuatu, Dek? Biar Mas suruh Bi Retno buatkan untukmu. Pokoknya hari ini kamu nggak boleh capek-capek. Kalau mau apa-apa, kamu bisa minta tolong Mas atau Bi Retno. Oke?" ujar Hans pada Nida yang sejak beberapa jam lalu hanya mengurung diri di kamar karena merasa kesal sebab selalu diikuti oleh suaminya.

 Ini sudah hampir masuk waktu makan siang, jadi tak heran jika Hans bertanya apa yang hendak Nida makan. 

"Mas kenapa hari ini nggak ke restoran?" tanya Nida, yang jujur saja merasa tak nyaman karena Hans sejak tadi tak mau menjauh darinya. Ia bahkan tak peduli dengan pertanyaan Hans sebelumnya. 

Hans memang memilik restoran yang cukup besar dan terkenal. Restoran tersebut juga sudah  memiliki dua cabang, yang salah satunya berada di luar kota. Dari ketiga restoran itu lah Hans mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup untuk memanjakan kedua istrinya dengan limpahan materi. 

"Mas mau jaga kamu di rumah, jadi hari ini sengaja Mas nggak berangkat ke restoran dulu," ujar Hans seraya menampilkan senyum terbaiknya. 

Namun, bukannya merasa senang atau tersanjung atas perhatian suaminya, Nida justru merasa sangat kesal. Ia sudah muak dengan kehadiran Hans di sisinya. Bahkan, sebelum tahu jika dirinya hamil, Nida sebenarnya sudah memiliki rencana untuk menggugat cerai Hans ke pengadilan agama. Sayang sekali, kehamilannya ini membuatnya harus berpikir ulang atas keputusan tersebut.

"Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas. Seharusnya kamu berangkat kerja saja. Aku justru nggak nyaman kalau Mas ada di sini," ujar Nida dengan jujur.

Hans tentu saja merasa tercengang dengan pengakuan istrinya. Bukankah seharusnya Nida senang karena ia mau meluangkan waktu untuk menemaninya yang sedang sakit? Lalu kenapa ucapan wanita itu justru seperti itu? 

Namun, Hans tak mau terlalu ambil pusing dengan perkataan istrinya. Ia berusaha memahami jika sikap Nida ini disebabkan oleh rasa kecewa atas perlakuan tak adilnya selama mereka menjalani pernikahan poligami. Sekarang, yang perlu Hans lakukan hanya berusaha memperbaiki hubungan mereka dan itu pasti tak akan sulit karena memang pada dasarnya Nida adalah perempuan pemaaf serta berhati lembut. 

"Baiklah kalau memang kamu nggak nyaman Mas di sini. Mas ke luar dulu kalau begitu, mau lihat Bi Retno masak apa untuk makan siang kita," ujar Hans seolah tak merasa sakit hati dengan perkataan Nida sebelumnya. Padahal, ia justru merasa sebaliknya. 

Sebelum keluar dari kamar, Hans menyempatkan diri untuk mengecup pipi istrinya. Nida yang tak sempat menghindar pun hanya bisa mendengus kasar karena merasa kesal dengan sikap Hans yang tiba-tiba saja berubah begitu manis, seperti saat rumah tangga mereka belum dimasuki oleh Diaz. Sayang sekali, Nida yang merasa sudah tak lagi mencintai suaminya, jadi merasa malas ketika mendapatkan perlakuan seperti itu.  

Hans pun keluar dari kamar utama tersebut dan langsung menuju dapur. Seperti katanya tadi pada Nida, ia ingin melihat apa yang akan dimasak oleh pembantu rumah tangganya untuk makan siang mereka. 

"Masak apa, Bi?" tanya Hans, yang ternyata hal tersebut membuat Bi Retno terkejut karena tak menyadari kedatangan Hans yang tiba-tiba. "Eh, maaf, Bi. Saya nggak bermaksud membuat Bibi terkejut," kata Hans, yang tampak merasa bersalah. 

"Iya, Tuan, nggak apa-apa," balas Bi Retno dengan tersenyum sopan. "Buat makan siang nanti, Bibi masak cumi asam manis sama tumis labu siam. Apa Tuan mau makan yang lain?" lanjutnya. 

"Nggak, Bi, saya rasa itu saja sudah cukup," ujar Hans. Ia tidak pernah pemilih soal makanan, jadi apa pun yang dihidangkan, pasti akan ia makan asal rasanya cocok di lidahnya. 

Laki-laki itu kemudian mengambil kursi yang berada di meja makan, lantas ia taruh di depan mini bar yang berada di sana agar ia bisa mengobrol dengan asisten rumah tangganya. 

"Bi, saya mau tanya-tanya soal Nida," ujar Hans, tampak mulai serius. 

"Oh iya, Tuan, silakan. Tuan mau tanya apa?" sahut pembantu rumah tangga yang masih tetap sibuk dengan masakannya tersebut. 

"Selama kehamilan Nida ini, apa Nida ada mengeluh sesuatu, Bi? Mungkin Nida mual-mual atau sering merasa pusing seperti perempuan hamil kebanyakan?" tanya Hans, yang sebenarnya merasa malu karena harus menanyakan keadaan istrinya sendiri pada orang lain. 

Padahal di sini ia yang berstatus sebagai suami Nida. Seharusnya ia yang paling tahu bagaimana keadaan wanita itu. Namun, sayang sekali, ia justru tak tahu apa-apa soal istrinya sendiri. Bahkan, kehamilan Nida saja baru ia ketahui kemarin malam. 

"Kalau mual-mual dan pusing, Nyonya memang pernah mengalaminya di awal-awal kehamilan, Tuan. Bahkan Nyonya sampai nggak bisa makan nasi karena terus muntah. Baru sekitar dua mingguan ini nyonya bisa makan nasi," ujar Bi Retno mengingat-ingat apa yang terjadi pada majikan perempuannya beberapa bulan ini. 

"Oh ya? Lalu kalau nggak makan nasi, Nida makan apa selama ini?" tanya Hans yang cukup terkejut dengan cerita pembantunya. 

Pasalnya, Nida ini seperti orang Indonesia kebanyakan, yang belum bisa merasa kenyang sebelum lambungnya terisi nasi.  

"Cuma makan buah dan roti saja, Tuan," jawab Bi Retno lagi.  

Hans benar-benar tak habis pikir dengan istri pertamanya itu. Jika selama kehamilan memang Nida mengalami kesulitan seperti itu, kenapa tak pernah sekalipun perempuan itu mengeluh kepadanya? Jangankan mengeluh atas apa yang dirasakan selama hamil muda, mengatakan jika sedang hamil saja tak Nida lakukan. Tak inginkah Nida bermanja-manja pada Hans, seperti perempuan yang sedang hamil pada umumnya? 

"Kalau ngidam, Bi? Apa Nida pernah ngidam sebelumnya?" tanya Hans lagi dengan penasaran. 

Dulu, sebelum ada Diaz di antara mereka, Hans sering kali membayangkan jika Nida hamil dan ngidam. Dalam khayalan Hans, istrinya itu akan meminta hal yang tak biasa di waktu yang tak biasa juga, dan ia akan dengan senang hati mencarinya, meski sulit. Namun, sayang sekali, saat Nida benar-benar hamil, ia justru tak tahu apa-apa tentang keadaan perempuan itu. 

"Beberapa kali nyonya pernah ngidam, Tuan. Seperti orang hamil pada umumnya, Nyonya Nida ngidam buah-buahan asam atau makanan yang manis-manis. Biasanya Nyonya Nida pergi beli sendiri jika sedang menginginkan sesuatu," ujar Bi Retno lagi. 

Hans hanya bisa menghela napas panjang mendengar hal itu. Sayang sekali, ia tak bisa mendampingi Nida di masa-masa sulit kehamilan wanita itu. Namun, sekarang belum terlambat, 'kan? Hans ingin sekali menebus semua sikap abainya selama ini dengan perhatian yang berlimpah pada perempuan itu. 

"Ya sudah, Bi, terima kasih sudah menjawab pertanyaan saya. Bibi lanjut saja masaknya," ujar Hans, yang sudah merasa cukup dengan sesi tanya jawabnya. Ia lantas pergi dari sana, melangkahkan kakinya tak tentu arah dan berkeliling di dalam rumah minimalis yang sangat jarang ia kunjungi satu tahun terakhir ini. 

Bersambung

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status