Share

Part 3

Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit.

"Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami.

"Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku.

"Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan."

"Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas.

"Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene.

"Ayo, Ren!" 

"Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba.

"Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut. 

Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama meluncurkan menuju TPU tempat pengistirahatan terakhir Ibu. Aku melangkah gontai, kini Ibu dan Bapak sudah istirahat berdampingan. Tak pernah aku menyangka semua akan terjadi secepat ini. Mas Dion benar-benar telah sukses menghancurkan kehidupanku.

Tidak ada lagi air mata yang keluar, padahal dada terasa sangat sesak. Bernafas pun terasa sangat berat. Hanya saja air mata seolah-olah sudah kering kerontang. Aku menatap datar gundukan tanah merah milik Ibu, sebegitu cepat Ibu menyusul cintanya. Tanpa memperdulikanku yang juga butuh cinta Ibu, apalagi dalam keadaan seperti ini.

"Sabar, Nak!" Paman sesekali mengusap lembut punggungku. Begitu juga dengan Bibi yang senantiasa memeluk tubuhku. Tak ada respon dariku, hanya diam. 

🌹🌹🌹🌹

Aku memperhatikan rumah yang menyimpan berjuta kenangan antara aku dan kedua orang tuaku.

"Apa kamu tidak mau nginap dulu?" tanya Bi Asih yang membuyarkan lamunanku.

"Tidak, Bi. Besok Zafi ada meeting penting dengan klien." ucapku sambil tersenyum.

"Semenjak Bapak dan Ibumu tiada, kamu enggan sekali untuk menginap di sini, Nak. Kamu harus benar-benar ikhlas!" 

"Zafi ikhlas, Bi. Tapi untuk menginap belum lagi saatnya. Akan tiba masanya, Bi. Terima kasih Zafi ucapkan karena Bibi mau merawat rumah ini." Bi Asih mengangguk, memeluk tubuhku. Setelahnya aku pamit, menuju apartemen yang sudah aku beli 5 tahun terakhir.

🌹🌹🌹🌹

Di dalam perjalanan menuju apartemen, aku sempatkan singgah untuk menyapa Bapak dan Ibu, mengirim do'a agar mereka tenang di alam sana. Beranjak dari pemakaman Bapak dan Ibu, ponsel yang aku pegang berbunyi. Telepon dari Najwa asisten pribadi ku.

"Ya!" 

"Gue udah nemuin alamat mantan suami lo!" ucapan dari Najwa membuat mataku berbinar seketika.

"Lo kirim ke gue lokasinya! Gue akan langsung ke sana!" aku mematikan sambungan telepon. Tidak lama sebuah alamat di kirim Najwa ke ponselku.

Tunggu aku Dion, aku akan datang! Membuatmu hancur, seperti apa yang kau lakukan padaku!

🌹🌹🌹

Aku memarkirkan mobil tak jauh dari sebuah rumah minimalis dengan desain modern. Memastikan lagi dengan mengecek ulang pesan dari Najwa.

Apa ini rumahnya?

Tak lama kemudian seseorang yang ku kenal keluar dari rumah itu. Mengandeng perempuan yang ku yakin bernama Sherly. Perempuan tersebut mencium punggung tangan suaminya dengan takzim, setelahnya sebuah mobil keluar dari garasi dan perlahan meninggalkan rumah itu. Entah kenapa aku masih betah berdiri melihat perempuan yang masih memindai suaminya tersebut. Hingga sebuah kejadian yang di luar dugaanku terjadi. Tak lama setelah kepergian Dion, sebuah motor sport mewah masuk ke halaman rumah yang masih belum di kunci pagarnya.

Perempuan tadi menyambut dengan sangat ramah, bahkan aku melihat kerlingan manja matanya. Sebuah adegan membuatku menutup mulut ketawa. Laki-laki tersebut mendaratkan ciuman di bib*r Sherly. Tidak perlu menunggu lama segera ku abadikan adegan mesra tak tahu malu mereka dengan ponsel pribadi milikku.

Kehancuran mu akan di mulai Dion!

Setelah berhasil mengambil beberapa gambar, aku tersenyum puas. Tidak sia-sia memiliki benda canggih ini. Kembali menghidupkan mesin mobil, meninggalkan rumah yang sebentar lagi akan sering ku singgahi. Ketika hampir sampai di apartemen, aku melihat mobil Dion sedang terparkir di tepi jalan. Cepat mobil ini mendahuluinya, dan berhenti tidak jauh dari tempat mobil Dion terparkir.

Tak lama mobil itu kembali berjalan, segera aku keluar dari mobil melambaikan tangan meminta pertolongan. Semoga Dion termakan umpanku. Dan untung saja dia berhenti. Turun dari mobil dan melangkah ke arahku.

"Kenapa, Mba?" tanya Dion ketika mendekat, memicingkan mata seperti mengenalku.

"Oh, ini Mas. Mobil saya mogok." ucapku lembut.

"Saya rasa kita pernah bertemu sebelumnya, tapi lupa dimana. Baiklah, coba saya cek dulu!" berlalu meninggalkanku dan mencoba menyalakan mobil.

"Ini nyala kok, Mbak!" teriak Dion dari kaca mobil.

"Wah, bisa ya! Tadi gak bisa lo, Mas. Terima kasih" aku mendekat. Dion keluar dari mobil.

"Sama-sama, Mba! Tapi wajah kamu gak asing lo!" sekali lagi Dion mengatakan itu.

"Mungkin mirip kali, Mas. Padahal wajah saya gak pasaran lo!" aku tertawa.

"Tawa kamu benar-benar mengingatkan saya sama seseorang. Boleh kita kenalan?" Dion mulai termakan umpanku.

"Boleh, Mas. Saya Zafi, Zafira Hanan" aku mengulurkan tangan, sedangkan Dion hanya menatapku tak percaya.

"Z-zafi?" ucapannya memastikan.

"Iya, Mas! Kamu?"

"Kamu lupa denganku, Fi?" aku berlagak seperti tengah mengingat seseorang.

"Aku Dion, Fi! Mantan suamimu?" aku membulatkan mata sempurna. 

"Mas Dion? Ya Allah, aku pangling lo!" tertawa kecil dengan menepuk lembut dadanya.

"Hmm, kamu sibuk?" 

"Gak, Mas? Kenapa?"

"Kita mampir dulu ke Cafe di depan sana." menunjuk sebuah Cafe yang tidak jauh dari tempat berdiri kami sekarang. Aku mengangguk setuju. 

🌱

"Bagaimana kabar kamu, Fi?" tanya Dion setelah kami sampai di Cafe dan memesan minuman.

"Aku baik, Mas? Kamu bagaimana?" aku masih menampilkan senyum terbaik.

"Aku baik. Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" pertanyaan ini membuatku tak bisa lagi menampakkan senyum. Dendam yang ku simpan rapi kini seolah berkobar kembali.  

"Fi?" Dion melambaikan tangan di wajahku.

"Eh, oh. Iya, Mas! Bapak dan Ibu baik-baik saja, Alhamdulillah. Bagaimana dengan orang tuamu, Mas?"  Dion menunduk, seperti menyimpan duka mendalam. Aku tahu, tak lama setelah kepergiannya mantan Ibu mertuaku sakit-sakitan hingga meninggal dunia. 

"Ibu telah berpulang, Fi. Bahkan aku belum sempat meminta maaf." matanya berkaca. Tangan ini mengusap lembut punggung tangan Dion. Dion sedikit terkejut dengan perlakuan ku, tetapi setelahnya dia menerima.

"Apa kamu membenciku, Fi?" kini tangan Dion menggenggam erat tanganku. Sedikit risih, tetapi akting ku harus perfect.

"Tidak, Mas!" 

"Atas semua perlakuanku?" 

"Tentu saja! Karena memang sudah takdirnya seperti ini. Bagaimana kabar istrimu?" Dion melepaskan genggaman tangannya.

"Dia baik-baik saja. Tetapi setelah lima tahun pernikahan, kami belum juga di karunia buah hati!" ucapnya jujur.

"Kalau itu urusan Allah, Mas. Kita tidak bisa memaksakannya, kamu hanya perlu berikhtiar. Jangan lupa berdo'a setelahnya" nasehatku. 

"Apa kamu masih sendiri, Fi?" 

"Sampai sekarang masih, Mas. Banyak hal yang ingin ku gapai." aku memandang ke arah luar. Salah satunya menghancurkan mu.

"Bisakah setelah ini kita sering bertemu?" tatapnya penuh harap saat aku kembali memalingkan wajah ke arahnya.

"Aku tidak bisa janji, Mas. Aku sedang sibuk mengembangkan bisnis." Dion kecewa mendengar jawabanku. 

"Bagaimana dengan bertukar kontak?" aku mengangguk.

Setelah pertemuan yang tidak bisa di bilang singkat itu, Dion pamit karena ada urusan. Sedangkan aku masih betah di Cafe. Menikmati alur permainan yang sebentar lagi akan aku mainkan.

"Najwa! Tolong kirim salah satu orang kepercayaan lo buat ngikutin perempuan itu! Lapor ke gue setiap gerak geriknya, gue juga perlu dokumentasi!" perintah ku pada asisten pribadi saat telpon telah tersambung.

"Oke!" 

"Satu lagi! Selidiki setiap usaha milik apapun yang tengah di kelola oleh Dion!" 

"Siap, Bos! Percayakan sama gue!" 

Telpon ku matikan, aku tak sabar dengan semua permainan ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status