Share

Part 2

Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak. 

"Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan.

"Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak.

"Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu.

"Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami. 

"Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah.

"Iya, Bu." aku tersenyum.

"Bi, titip Ibu ya."

"Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak. 

Setelah memastikan mereka tak ada di sini. Sesak yang dari tadi ku tahan, kini ku lepaskan. Aku menangis sejadi-jadinya di makam Bapak. Entah berapa jam aku menangis, aku hanya merasa kepala kian berat. 

"Pak, yang tenang ya! Zafi akan kuat demi Ibu, Pak" 

"Semoga apapun pilihan dari Mas Dion, akan menjadi baik untuknya, Pak."

"Zafi akan coba ikhlas, Pak."

"Hanya saja tidak ada maaf untuknya."

"Zafi!" suara seseorang mengejutkanku. Paman berjalan setengah berlari ke arahku.

"Ibumu kuatir, sudah hampir dua jam kamu disini, Nak. Hari juga sudah mau magrib!" ucap Paman terengah-engah.

"Maafkan Zafi, Paman"

"Tidak apa, ayo kita pulang. Kasihan Ibumu!" aku mengikuti langkah Paman kemudian menaiki motor menuju rumah.

Sesampainya di halaman, kembali tubuh ini terhenyak. Tenda yang tadi digunakan untuk tamu undangan berganti dengan tenda untuk orang yang datang melayat.

"Kak Zafi!" Irene saudara sepupuku datang dan menghambur ke pelukanku.

"Kakak yang sabar ya, Kak. Irene sangat prihatin dengan semua yang menimpa Kakak." ucapnya terisak.

"Mas Dion benar-benar brengsek, Kak. Dia sudah mencampakkan wanita hebat seperti Kakak!" isaknya dalam pelukku.

 "Sudah Irene, Insya Allah Kakak kuat. Tapi Kakak minta, kamu jangan sebut lagi nama Dion di depan Kakak!" ucapku tegas.

"Maafkan Irene, Kak." dia mulai melepaskan pelukan.

"Kalian disini?" Bibi menghampiri kami.

"Zafi, bersihkan badanmu, Nak! Selepas magrib akan ada orang datang untuk tahlilan." perintah Bibi padaku.

"Baik, Bi. Ibu dimana, Bi?"

"Ibumu di kamar, Nak. Bibi minta istirahat. Kasihan Ibumu." jawab Bibi dengan mata berkaca-kaca.

"Terimakasih, Bi. Zafi pamit dulu ya!" ucapku pada Bibi.

"Iya, Nak." aku kembali melangkah kaki ke dalam rumah. Teringat setiap momen yang baru saja terjadi.

Masih banyak pelayat yang duduk di dalam rumah. Di depan ruangan tamu yang cukup besar, terpampang tulisan Zafi dan Dion yang sudah di dekorasi seindah mungkin. Melihat itu ingin rasanya ku musnahkan segalanya, tetapi aku masih bisa menahan meski bersusah payah. Langkah ini mulai memasuki kamar, aku mengunci pintu dari dalam. Pernak pernik di dinding, bahkan foto prewedding juga terpampang. Aku mengambil foto tersebut dan,

Prang! 

Semuanya hancur berantakan. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku beruntung saat meminta untuk mendesign kamar ini menjadi ruangan kedap suara.

****

"Pak, kamar Zafi dibuat kedap suara ya, Pak." pintaku saat Bapak hendak merehab beberapa bagian rumah.

"Kenapa, Nak?"

"Bapak kan tau Zafi hobi bernyanyi, Zafi takut suara Zafi bisa terdengar oleh tetangga." ucapku manja.

"Lo, kan bagus, Nak. Biar tetangga pada ada hiburan."

"Tapi suara Zafi kan cempreng, Pak." rajukku lagi.

"Iya, Sayang. Kamu tenang saja ya!" Bapak mencium pucuk kepalaku.

****

Bapak!

Bapak!

Hu hu hu

Aku berteriak seperti dan menangis seperti orang gila. Iya, jika dilihat aku sekarang seperti orang gila. Make-up yang sudah hancur serta pakaian yang tak lagi seperti layak pakai. Tadinya aku akan menjadi ratu sehari, tetapi itu cuma mimpi.

"Zafi, Zafi! Buka pintunya, Nak!" Terdengar gedoran pintu dari arah luar. Sebelum membuka pintu, aku melihat ke cermin. Ah, cermin kenapa engkau tak bisa sedikit berbohong. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang.

"Zafi. ibumu nak!"

Mendengar kata Ibu aku langsung membukakan pintu kamar.

"Astagfirullah. Apa yang terjadi, Nak?" Bi Asih histeris melihat bentuk kamar ku yang sudah seperti kapal pecah.

"Ibu kenapa, Bi?" aku mengalihkan perhatian Bi Asih.

"Itu, Ibumu pingsan Nak." mendengar penuturan Bi Asih aku langsung berlari menuju kamar Ibu, tidak ku pedulikan beberapa tamu yang hadir untuk acara tahlilan. 

Disamping Ibu terlihat Paman dan Irene serta beberapa tetangga yang langsung memberi ku jalan.

"Bu, bangun Bu." aku menggoyang tubuh Ibu. Ibu yang hanya diam tak bersuara dan tiba-tiba kejang.

"Paman, segera bawa Ibu ke rumah sakit Paman!" titahku.

Tanpa ba bi bu. Paman menggendong Ibu kedalam mobilku. 

"Irene ikut Kakak ya, biar Umi yang handle semua tamu di rumah." pinta Irene padaku, aku hanya mengangguk.

Paman meletakkan Ibu di kursi penumpang dengan aku menjadi penyangga kepala Ibu. Paman yang mengambil alih kemudi sedang Irene duduk si sebelahnya. Perjalanan 30 menit kerumah sakit terasa sangat lama. Berkali-kali aku minta Paman untuk lebih ngebut membawa mobil, dan entah berapa kali Paman melanggar lalu lintas. Sampai akhirnya pelataran parkir rumah sakit terlihat juga.

"Tolong, ada pasien yang butuh pertolongan!" teriak Paman di pintu unit gawat darurat. Beberapa perawat segera membawa brankar. Paman menggendong Ibu keluar dari mobil dan meletakan Ibu  di atas brankar. Segera kami berlari memasuki ruang UGD, Dokter yang berjaga malam langsung menghampiri.

Serangkaian pemeriksan dilakukan, sampai alat pengejut jantung ditempelkan ke dada Ibu. Aku yang melihat semua itu tidak bisa lagi berkata apa. Air mataku luruh, sekelebat pikiran buruk lalu lalang di pikiranku.

"Tidak-tidak!" aku berbicara sendiri.

"Bapak dengan keluarga pasien?" seorang perawat menghampiri Pamanku.

"Iya ,dok!"

"Maaf pak, kami tidak bisa menolong Ibu. Perkiraan Dokter, Ibu sudah meninggal beberapa menit yang lalu!" 

Mendengar penjelasan Suster, aku langsung menghambur memeluk Ibu. Ku goyang-goyang tubuh Ibu dan terus berteriak.

"Ibu! Bangun, Bu! Kenapa Ibu tinggalkan Zafi sendirian menghadapi semua ini, Bu?" isakku. Irene mencoba memelukku tetapi aku terus meronta.

"Istighfar, Kak!" Irene juga ikut menangis melihat kondisiku. Aku yang sudah tidak bisa menopang bobot tubuhku, kemudian ambruk. Entah berapa kali aku pingsan. Terakhir kali aku sadar, aku sedang di ruangan serba putih dengan jarum infus di tanganku. Bau obat-obatan menyeruak di hidungku. 

"Kak!" terdengar pelan suara Irene saat mataku sudah terbuka. Aku melihat ke arahnya, wajah putih itu sudah memerah karena tak bisa menahan tangis. Bahkan mata bulat ini kini tengah sembab.

"Berapa lama Kakak tidak sadarkan diri, Ren?" 

"Sudah hampir seharian, Kak!" jawab Irene sambil mengelus tanganku.

"Bagaimana dengan Ibu, Ren?" aku bertanya dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti.

"Semuanya sudah di urus sama Papa, Kak. Dua jam lagi Bibi akan di kebumikan." jelas Irene.

Lagi, aku tersedu. Kenapa semua ini harus menimpaku? Di hari yang seharusnya aku bahagia, malah berganti dengan derai air mata. Gara-gara laki-laki yang bernama Dion, aku harus kehilangan kedua orang tua. Dion, kamu harus merasakan bagaimana pedihnya kehilangan seperti apa yang tengah ku rasakan kini. Cepat atau lambat, aku akan mendatangimu kembali. Pada saat itu, kamu akan bersujud di kakiku. Tanganku mengepal erat, sakit kehilangan yang kurasa kini, menumbuhkan rasa dendam yang telah terpatri di hati. 

"Antar aku kepemakaman Ibu, Ren!" perintahku pada Irene. Aku mencabut paksa infus yang ada di tangan hingga darah berceceran.

"Tapi, Kak!" aku menatap nyalang Irene hingga dia tak bisa menolak perintahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status