Di sudut ruangan tanpa penerangan, Arman menggigil. Bahunya yang kurus ringkih berselimutkan kain sarung yang penuh tambalan di sana-sini. Pria itu ketakutan. Matanya nyalang menatap sekitar, seolah-olah ada sesuatu yang menakutkan sedang mengincar nyawanya.Semenjak Arman mendengar kabar tentang kematian kelima temannya, dia tidak pernah lagi keluar dari rumah. Tiap pintu, jendela, dia kunci dari dalam. Bahkan seekor nyamuk kebun pun tak dibiarkan bisa lolos karena tiap celah telah Arman tutup rapat memakai kepingan papan kayu bulian, dipaku kuat dari dalam. Arman begitu ketakutan setengah mati.Sesungguhnya teror demi teror sudah menghantuinya sejak lama. Namun, Arman tidak begitu ambil peduli. Dia pikir mana bisa hantu penasaran bisa sampai merenggut nyawa manusia. Yang dia tahu, hantu hanya bisa menakut-nakuti atau paling parah hanya bisa membikin manusia demam tinggi atau ketempelan saja.Siapa sangka, hantu Menur mampu melakukan aksi brutal. Terbukti dengan kematian Maymun, Samin
Arman bergeser pelan-pelan, turun dari ranjang, melangkah mengendap-endap. Dia berusaha tidak menghasilkan suara sedikit pun.Arman ingat ada sebuah lubang kecil di pintu kamarnya yang tempo hari dia tutupi menggunakan potongan tripleks bekas. Lebih baik Arman mencoba mengintip saja dari sana, ketimbang menanti yang tak pasti sembari menduga-duga.Untungnya potongan tripleks itu tidak sulit dibuka. Arman mendekatkan sebelah matanya ke pintu, mengintip. Namun, pria kurus itu salah terka. Ternyata sosok Menur yang telah berubah wujud menjadi lebih mengerikan, sedang menyeringai ke arahnya. Jarak mereka hanya terhalang daun pintu saja.Arman tak sempat lari maupun mengelak ketika Menur menancapkan kukunya yang runcing tajam ke bola mata kanan pria itu."Arrggh!"Teriakan Arman membungkam katak rawa, menghentikan jangkrik yang mengerik, membuat burung hantu mengarahkan kepalanya ke sumber suara.Di detik-detik terakhir, Arman masih berusaha berontak melepaskan diri. Namun sayangnya kuku Me
Malam ini Desa Kumpeh diselimuti kabut tebal yang tak biasa. Jarak pandang ke depan hanya terbatas hingga beberapa meter saja, selebihnya gelap dan pekat. Padahal tidak ada siapa pun yang membakar sampah sembarangan. Bulan ini pun bukan pula musim kemarau yang biasanya berkabut akibat kebakaran hutan yang terjadi karena gesekan ranting-ranting kering.Semenjak adanya kematian beberapa orang pria secara mengenaskan, tak ada lagi warga desa yang berani unjuk hidung di luar rumah pada waktu senja hingga fajar menjelang. Mereka takut sekali bakal menjadi 'korban' berikutnya.Desas-desus dan bisik-bisik di antara warga mengatakan bahwa kematian keenam pemuda akibat dijadikan tumbal dari pabrik karet getah yang baru saja dibangun di wilayah Kota Jambi.Tentu warga tidak berani mengambil risiko. Mereka masih ingin hidup lebih lama. Mereka masih ingin merasakan bernapas hingga usia tua, bukan menjadi tumbal keserakahan manusia tak beriman yang hanya memikirkan harta semata.Situasi mencekam se
Seketika nyali Sanusi yang biasanya besar menjadi menciut mendengar wasiat aneh dari dukun yang dianggap aneh oleh Sanusi sendiri.Bagaimana bisa dia kabur seorang diri? Bukankah itu dianggap pengecut dan tidak setia kawan? Apalagi dia ialah pemimpin kampung, ke mana tanggung jawabnya? Sedangkan dia sendiri yang meminta Pakdo Ramli ke sini untuk membantu memecahkan misteri hilangnya salah satu warganya. Nurani dan pikiran Sanusi berdebat tak terkendali."Turuti saja permintaanku!" Pakdo Ramli seperti bisa membaca segala perdebatan di hati Sanusi. Mau tidak mau, Sanusi hanya bisa mengangguk patuh. Lagi dan lagi.Pakdo Ramli kemudian duduk bersila di depan sesajen. Kedua tangannya bersandar pada lutut. Matanya terpejam. Bibirnya yang dinaungi kumis lebat bergerak-gerak sebab sedang merapal mantra-mantra.Sanusi memperhatikan aksi dukun tersebut selama tiga puluh menit, tak ada yang terjadi. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan persis di atas gua tersembunyi yang hanya bisa dilihat Pa
Selama satu minggu Sanusi merahasiakan peristiwa itu. Dia tidak berani menceritakan kejadian yang hingga kini membuat bulu kuduknya berdiri, kepada siapa pun termasuk istrinya.Di dalam hati Sanusi, ada perasaan bersalah yang menyerang sanubari baiknya. Namun di sisi yang lain, dia takut sekali jika nanti pada akhirnya dia yang akan disalahkan oleh orang lain.Pekerjaan Sanusi menjadi tidak beres. Ada saja yang terlalai. Makannya pun tak enak, tidur pun menjadi tak lelap. Sanusi serba salah. Hendak mengadu, tapi kepada siapa? Dia benar-benar hilang akal.Satu-satunya orang yang bisa diajak diskusi saat ini ialah Ujang, asisten pribadinya yang sejak beberapa hari lalu memberikan tatapan penasaran. Mungkin karena Uajng mendapati si kepala kampung berperilaku tidak seperti biasanya: menjadi pemurung dan lebih sering melamun di belakang meja kerjanya."Ujang." Sanusi berkata ragu-ragu.Ujang yang sedang merapikan berkas-berkas berisi laporan para warga desa, meninggalkan pekerjaannya lalu
"Kalau Bapak mau, saya akan menemani Bapak ke sana." Ujang mengangguk mantap.Meski penakut, Ujang ialah asisten yang setia. Demi melihat bosnya tidak bergundah gulana lagi, pemuda itu bersiap melawan rasa ketakutannya.Bagi Ujang seorang pemimpin desa haruslah dalam keadaan sehat jiwa dan raga. Sedangkan kondisi Sanusi sekarang, tidak mengarah ke sana. Beberapa kali Sanusi salah menandatangi berkas-berkas warga. Beberapa kali Ujang mengoreksinya. Ujang tidak mau hal ini terus-terusan terjadi dan ujung-ujungnya dia juga yang ikut kesusahan.~AA~Untuk kedua kalinya, Ujang ke tempat itu. Gubuk Pakdo Ramli yang kini terlihat lebih menyeramkan. Halaman yang dulunya tidak dtumbuhi rumput liar, kini pagarnya telah dirambati tanaman menjalar yang memiliki bulu-bulu halus pada daun serta seluruh batangnya.Sanusi dan Ujang saling pandang. Tempat itu kini benar-benar seperti bangunan tak berpenghuni. Semakin menyeramkan."Bapak cek saja dulu ke dalam. Mungkin Pakdo Ramli sedang semedi atau mel
Pukul sembilan pagi. Kali ini Sanusi yang mengayuh sepeda dan Ujang yang duduk manis di boncengan belakang. Terakhir kali kaki Ujang keseleo akibat terburu-buru mengendarai sepeda ontelnya meninggalkan kediaman Pakdo Ramli yang tidak lagi berpenghuni. Tentu dengan kondisi pergelangan kaki yang cidera seperti itu, Ujang tidak mungkin membawa beban yang lebih berat dari berat badannya sendiri.Sebab jarak antara rumah Sanusi dan pohon beringin keramat tidak begitu jauh letaknya, Sanusi mengayuh sepeda pelan-pelan saja. Waktu yang dia butuhkan hanya tiga puluh menit untuk mencapai tempat itu.Udara lembab. Tadi subuh hujan deras membasahi bumi. Terlihat masih ada sisa-sisa buliran air pada daun-daun di kanan-kiri jalan yang mereka lewati. Seharusnya jika tidak ada peristiwa tidak menyenangkan di desa, pastilah suasana hati mereka menjadi menyenangkan. Namun, semenjak desa ditimpa berbagai kemalangan, pemandangan asri, udara sejuk, tidak lagi berhasil mengusir kegundahan dari benak dan per
Seketika tubuh Sanusi lemas bagai kehilangan tulang. Apalagi tak jauh dari ikat kepala itu, terdapat sebelah sandal jepit Pakdo Ramli. Kuat dugaan mereka, dukun itu terjatuh ke dasar jurang yang di bawahnya terdapat sungai berarus deras.Kaki Sanusi tak kuat lagi menopang berat tubuhnya. Dia jatuh terduduk. Ujang yang melihat, segera mendekat.Dengan bibir bergetar Sanusi berkata, "Bagaimana ini, Jang? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caraku menjelaskan pada Mak Hasnah tentang pencarian anaknya? Sedangkan satu-satunya orang yang bisa membantu kita, malah ... malah menjadi korban, Jang.""Mari kita pulang dulu, Pak. Lebih baik kita pulang saja. Kita bicarakan lagi setelah kita di rumah." Ujang menenangkan.Bersusah payah Ujang membantu si kepala kampung berdiri, lalu pemuda itu menggotong bahkan sesekali menyeret tubuh menggigil Sanusi ke arah sepeda yang terparkir.~AA~Seorang wanita melamun terbingkai dalam jendela kamarnya. Rutinnya masih sama, menerawang menatap ke arah area p