Share

Dendam Kutukan Sang Penyihir
Dendam Kutukan Sang Penyihir
Penulis: ARA

Bab 1

Axton, seorang pangeran tampan dan gagah perkasa, dia memiliki fisik sempurna namun tidak dengan kepribadiannya. Axton pangeran yang suka menindas rakyatnya demi keuntungan pribadi. Setiap tahun dia melipatgandakan pajak, sedangkan rakyat miskin yang tidak bisa membayar harus menjadi budaknya. Pagi ini dia mendatangi rumah tua seorang kakek yang bekerja sebagai petani. Dia datang bersama dengan lima pengawalnya.

"Cepat bayar utang pajakmu!" ucap Axton dengan melipat tangannya di depan dada. Dia bersikap angkuh dan tak peduli seberapa menderita kakek tua itu. Hanya ada satu lembar uang yang dimiliki kakek tua itu, lainnya tidak ada lagi. Axton merampas uang itu lalu pergi.

"Tuan, apakah kita tidak terlalu kejam? Kakek tua itu sepertinya memang tidak memiliki uang sama sekali," salah satu pengawalnya mengingatkan perbuatan Axton, namun Axton menggeleng kuat. Baginya, setiap detik adalah cara untuk menghasilkan uang lebih banyak.

Axton bersikap keras kepala, tidak peduli bagaimana keadaan orang lain. Apa yang sudah dia tetapkan, maka siapa pun harus menurutinya. Hampir semua orang menakuti sosok lelaki itu, takut kalau-kalau mereka akan berakhir menjadi budaknya. Jika tidak membayar, Axton akan menaikkan bunganya dan memotong gaji saat mereka telah menjadi budak.

Para penduduk resah dengan kepemimpinan Axton. Mereka ingin memberontak, namun tidak ada yang berani. Bisa saja Axton berbuat lebih buruk. Terakhir kali ada kabar bahwa Axton memenggal kepala seorang pencuri pedang salah satu prajurit, pencuri itu berniat menjual pedang prajurit untuk mendapatkan uang anaknya yang sakit. Tanpa mendengar penjelasan itu, ketika tertangkap, Axton langsung memenggal kepalanya. Sangat kejam, bengis tanpa ampun.

“Pangeran, ada tamu di kastil. Kita harus segera kembali. Gubernur Eropa Timur telah menunggu kehadiran pangeran,” ucap salah satu prajurit yang mengawal. Axton beserta pengawalnya segera kembali naik ke kuda mereka, kembali ke kastil.

Belarus, gubernur Eropa Timur telah duduk di sofa kuning keemasan. Dia menunggu kehadiran pangeran Axton, ada hal yang mendesak sampai dia sendiri yang datang tanpa utusan. Belarus dulu sangat berteman baik dengan Rovaldo—ayah Axton. Namun semenjak Rovaldo meninggal, kepemimpinan dipegang oleh Axton. Sayangnya, semua peraturan dirombak oleh Axton dan menyebabkan kekacauan, terutama kenaikan harga pajak termasuk ekspor-impor. Dua hari yang lalu saja ia menerapkan pajak impor yang lebih tinggi dan keputusan ini membuat bagian Timur merasa kewalahan. Mereka membutuhkan beras dari luar negeri, kalau dinaikkan pajaknya, mereka bisa mati kelaparan karena eksportir tidak mau menjual berasnya. Axton hanya tersenyum miring mendengar ucapan Belarus. Keputusan dia menurutnya adalah yang paling tepat; kenaikan pajak akan membuat semakin kaya.

“Yah, bagaimanapun juga keputusan ada di tanganku, aku sudah menetapkan, jadi turuti saja!” Axton mengucapkan dengan tegas, tatapannya sangat serius, tidak mau dibantah.

Belarus menghela napasnya. Anak muda yang keras kepala, batinnya. Belarus sangat khawatir dengan cara kepemimpinan Axton. Keputusan yang dia buat hanya menguntungkan para pejabat dan kalangan atas. Lalu bagaimana dengan rakyat miskin? Mereka yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya.

“Tidak bisa, kamu harus menarik keputusanmu. Rakyat sangat membutuhkan impor beras. Ladang sedang kering,” ucap Belarus.

“Ini bukan urusanmu. Urusan antar negara adalah urusanku, Belarus, urusi saja bagian Timur.”

Axton hendak berdiri meninggalkan Belarus, namun Belarus mencegahnya.

“Berhenti, dengarkan aku dahulu, anak muda! Kamu harusnya belajar dariku tentang memimpin dan mensejahterakan rakyat.” Belarus menatap Axton dengan tatapan lembut. Dia mempelajari satu hal: melunakkan hati yang keras dengan kelembutan.

“Kau harusnya yang berkaca! Kalau kau cerdas memimpin, kenapa hanya menjadi gubernur?” ucap Axton. Tak disangka kalimat Axton membuat Belarus benar-benar marah. Dia menjentikkan jarinya, memanggil seseorang yang ada di luar ruangan. Belarus memanggil senjatanya, senjata di saat dia benar-benar marah.

Seorang gadis cantik keluar. Wajahnya ditutupi kain tipis, rambutnya berwarna emas diikat ekor kuda, pakaiannya serba hitam. Axton jelas mengetahui siapa di hadapannya. Selena Dazzle, seorang penyihir yang paling ditakuti di negeri itu.

“Ada apa ini? Kau menggunakan penyihir untuk membuatku tunduk kepadamu? Itu tidak mungkin! Kau pikir aku bodoh?” Axton tertawa dengan lantang, menantang. Dia sungguh membenci berhubungan dengan penyihir. Rencananya bulan depan dia akan membuat aturan bahwa semua penyihir harus dihukum gantung. Mereka sangat meresahkan. Semua penyihir itu berkeliaran bebas dan melakukan sihir semaunya sendiri.

“Kalau kamu tidak mau bekerja sama, kau akan tau akibatnya.”

Selena menggerakkan tangannya, hendak mengeluarkan sihir kepada Axton. Namun, entah bagaimana Axton lebih dulu mengeluarkan pedangnya, cepat sekali, dan berhasil menusukkannya ke jantung wanita itu. Axton menatap tajam Selena sementara darah keluar bercucuran di lantai.

“Semua penyihir harus mati, termasuk dirimu,” ucap Axton tajam. Selena merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia bahkan sudah sulit berbicara. Tusukan pedang Axton begitu menyiksanya, membuatnya menderita. Nyawa Selena sudah berada di ujung tanduk. Ada sesuatu yang membuatnya bisa kalah secara spontan seperti ini, tapi ia tidak tahu pasti apa itu.

“Kukutuk kau dan jiwamu!” Selena sempat mengucapkan mantra sebelum napas terakhirnya berdeguk.

Begitu Axton menarik pedangnya, Selena ambruk, jatuh ke lantai, bersamaan dengan Axton yang juga ambruk ke lantai. Belarus terkejut dengan kejadian ini. Diia segera keluar ruangan dan menghilang. Dia tidak mau sampai tersangkut dalam masalah ini, dia takut akan terseret hukuman yang ditetapkan oleh hakim agung nantinya.

Sementara itu, Axton tidak bisa bergerak. Dia tidak bisa bicara ataupun menggerakkan tubuhnya, seolahnya jiwanya terperangkap. Bahkan kini tatapannya berubah menjadi kosong.

Di luar, para penjaga curiga dengan Belarus yang berlari keluar dari istana secara terburu-buru. Mereka masuk ke dalam ruang pertemuan dan terkejut melihat darah Selena berceceran. Tubuh wanita itu dan Axton tergolek di lantai. Mereka segera memanggil bagian medis. Axton dilarikan ke kamarnya dan mayat Selena segera disingkirkan.

Lucas Almero, adik Axton, terkejut dengan kejadian ini. Dia sedang melukis di perpustakaan dan tidak tahu bagaimana kejadian ini bisa terjadi. Lucas segera melaporkan kepada hakim agung dan Belarus dipanggil untuk disidang. Mayat Selena dibuang jauh ke tepi danau, sudah tradisi mereka sejak dulu.

Kejadian ini menggemparkan masyarakat dan nama Axton semakin memburuk. Para penyihir tidak terima dengan kenyataan bahwa Axton telah membunuh salah satu dari mereka.

Dua hari setelah kejadian itu, hakim agung mengundang Belarus dan beberapa pejabat termasuk keluarga kerajaan. Belarus bebas dari jeratan hukuman karena dia tidak bersalah. Dia hanya memanggil Selena saat itu dan Axton-lah yang mulai menyerang. Sedangkan Lucas Almero ditetapkan sebagai raja selanjutnya. Usianya masih dua puluh tahun, lebih muda lima tahun dari kakaknya, tapi Lucas laki-laki yang cukup bijaksana dan polos. Setiap keluhan masyarakat dia dengarkan. Raja yang baru itu perlahan-lahan membenahi sistem masyarakat yang kurang baik.

***

Seseorang mengucapkan sebuah mantra dalam bahasa asinh. Namun, mantra itu sama sekali tidak menyembuhkan, malah orang itu terpental menabrak dinding hingga merasakan sakit di punggungnya. Orang itu adalah Helena. Ia mengaduh pelan sementara memandangi lelaki yang terbaring lemah di depannya.

Kutukan yang dibuat kakaknya, Selena, tidak bisa disembuhkan begitu saja. Dia tidak semahir kakaknya dan tidak tahu bagaimana caranya agar ia bisa menyembuhkan Axton saat ini. Mendengar kegaduhan, para prajurit hendak masuk ke dalam kamar Axton, tapi Helena segera pergi. Dia membuka jendela dan melompat ke bawah.

Helena sangat penasaran kenapa kutukan kakaknya tidak bisa dihapuskan olehnya. Mantranya seolah hanya sebesar biji kacang, tidak ada gunanya. Dia mendesah pelan sembari berjalan menyusuri kota. Dia menyesal tidak mengikuti sekolah sihir seperti kakaknya dulu. Helena hanya sibuk bermain-main menjalani hidupnya. Gadis itu sangat menyukai seni, dia mahir melukis, setiap harinya menjual lukisan dan merajut pakaian. Dia nyaris tidak tertarik dengan dunia sihir.

Helena mengadahkan kepalanya, menatap rembulan yang sangat terang. Ia berharap bisa berbicara dengan Axton, kembali ke masa lalu, bermain dengan bebas dengan lelaki itu. Kini hatinya bimbang, haruskah dia membalaskan dendam atas kematian kakaknya, atau justru membantu Axton melepaskan kutukan itu?

“Hei, Helena!” sapa seorang lelaki, Vale, penyihir yang menguasai api dan angin.

“Hai, Vale! Kau baru mengikuti upacara penyembahan?” tanya Helena.

“Tentu saja. Kenapa kau tidak hadir? Aku turut berduka cita atas meninggalnya Selena.”

“Terima kasih.”

“Apa kamu sudah mendengar? Pangeran Axton sudah dikutuk karena membunuh kakakmu,” ucap Vale dengan tatapan tidak suka.

“Iya, aku tahu. Apa kamu tahu bagaimana melepas kutukan itu?” tanya Helena.

“Apa? Kau mau melepasnya? Biar saja pangeran seperti itu tetap menjadi lemah. Biarlah dia menderita! Untuk apa kamu repot-repot melepas kutukan itu? Jangan menggunakan hati baikmu pada orang yang jahat kepadamu!” tegas Vale.

Helena menghela napas. Ia mungkin membenci Axton yang telah tega membunuh kakaknya, tetapi ia ingin mendengar penjelasan dari Axton, ingin tau kenapa lelaki itu membunuh Selena. Kasus kematian kakaknya ditutup begitu saja oleh hakim agung untuk membersihkan nama pangeran. Helena merasa hidup ini tidak pernah adil. Semua miliknya telah diambil dan ia tidak memiliki siapa pun lagi di sana.

“Baiklah, kalau kamu tidak tahu caranya. Biar aku sendiri yang mencari tahu.” Helena menatap Vale sekilas lalu berbalik.

“Aku tahu. Jangan remehkan aku. Aku ini Vale, penyihir kelas tiga. Meski aku tak semahir kakakmu, tapi aku tahu sihir yang Selena kuasai. Meski begitu, aku tidak akan memberi tahumu karena aku tidak setuju dengan pilihanmu yang ingin membebaskan Axton. Itu ide tidak masuk akal.”

“Aku memiliki alasanku sendiri. Lagipula, akulah yang memiliki masalah dengan Axton, kenapa kau harus melarangku?”

Vale tidak menjawab, dia malah menggunakan sihirnya untuk membuat angin kencang hingga membuatnya langsung menghilang. Ciri khas Vale. Saat dia kesal, dia akan menghilang begitu saja.

Helena mendengkus, menurutnya sikap Vale cukup kekanakan.

Tentang balas dendam… Helena masih ragu. Ia cukup yakin bahwa ia akan bisa merelakan dan memaafkan Axton nantinya. Lelaki itu pasti punya alasan sendiri.

Entah bagaimana ia cukup yakin, sebab Axton dulu pernah menyelamatkan nyawanya… dan Helena tak bisa untuk melupakan hutang itu begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status