Share

Bab 2

Helena semalaman tidak bisa tertidur memikirkan tentang kutukan yang ada pada diri Axton. Dia tidak sanggup jika harus begini. Dia sangat ingin mengembalikan Axton, ingin mengetahui mengapa Axton membunuh kakaknya. Helena bangkit di tengah malam, mengganti bajunya dan menutup kunci rumah. Rencananya malam ini dia ingin menuju Balkan, pusat kota para penyihir. Di sana banyak sekali para penyihir yang sangat handal. Helena berharap dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dia melewati hutan yang begitu gelap, suara auman serigala membuat dia merinding. Seketika nyalinya menciut, dia takut berada disini sendiri. Helena memutar arahnya, sangat sepi kota di malam hari, semua orang pasti di rumah berkumpul dengan keluarganya. Dia duduk di kursi taman, menatap bunga-bunga indah di hadapannya. Helena paling suka melukis bunga, kelopaknya yang berwarna-warni dan aroma harum dari bunga selalu menginspirasinya.

“Kenapa aku bertemu denganmu lagi?” ucap Vale yang tiba-tiba muncul di hadapan Helena. Dia yang sedang duduk hampir saja terjungkal karena terkejut.

“Astaga Vale! Kenapa kau mengejutkanku!” teriak Helena gemas. Dia mencubit lengan Vale, namun lelaki itu malah tertawa.

“Kau tau kan julukanku dewa angin, aku bisa muncul kapan saja,” ucap Vale menyombongkan dirinya.

“Ya, seperti hantu. Kenapa kau ada di sini malam begini?” tanya Helena.

“Aku baru selesai mengajar, tuan Smith memintaku mengajarkan anaknya menguasai elemen api,” ucap Vale.

“Benarkah? Aku juga ingin mempelajarinya, apakah boleh?” tanya Helena, Vale tidak menjawab, dia malah membuat hembusan api dan menghilang lagi. Helena sangat kesal dengan sikap Vale, kenapa selalu muncul dan menghilang tiba-tiba.

Karena lelah dan tak kunjung jawaban, Helena memutuskan menyelinap ke dalam kastil, dia ingin melihat Axton, entah kenapa dia sangat ingin melihat wajah Axton. Helena melakukan teleportasi. Namun, saat dia melakukan itu, seekor kucing tanpa sengaja masuk ke dalam jubahnya dan berakhirlah mereka di sini, di dalam kamar Axton; Helena dan seekor kucing putih yang menggemaskan.

“Hei, kenapa kamu mengikutiku astaga.” Helena mengangkat kucing itu, dia menggendongnya lalu membawanya duduk di samping Axton yang berbaring. Sudah hampir dua hari semenjak kematian kakaknya, dia tidak tega membiarkan raga Axton terus menerus seperti ini. Belum lagi Axton tidak bisa makan dan minum, Helena khawatir Axton akan mati jika terus begini.

“Meong.”

Kucing itu melompat ke atas Axton, duduk di atas dada lelaki itu, menggerakkan ekornya. Matanya menatap mata Axton. Tangan kucing itu memegang dahi Axton. Dia bisa mengetahui jika pangeran tertidur itu masih memiliki harapan hidup. Helena menggendong kembali kucing itu, mereka saling bertatapan. Entah apa yang terjadi, seketika Helena bisa melihat bagaimana caranya melepaskan kutukan Axton. Dalam penglihatannya dia melihat hutan kematian Sendero Encantando. Ada bunga foxglove keemasan di sana. Seketika dia mendapatkan pencerahan, jiwa Axton pasti ada kaitannya dengan hutan itu meski dia tak tau pasti.

Kucing itu mencakar Helena lalu melompat pergi, entah kemana dia menghilang saat Helena mencarinya. Malam itu juga Helena berusaha mencari tau dimana letak hutan kematian yang sempat ia lihat. Ia melangkahkan kakinya menuju perpustakaan kota, tempat dimana semua peta dan buku sihir tersimpan. Namun, malam hari begini, perpustakaan tutup. Dia baru saja akan berbalik pulang saat cahaya yang bersinar dari dalam perpus seperti percikan cahaya sihir menarik perhatiannya. Dia lalu mencoba menerobos dengan teleportasinya. Sebenarnya Helena tidak bisa sembarangan teleportasi, tergantung pada kekuatan Mana miliknya. Kalau saja kekuatan Mana-nya habis karena kelelahan, dia tidak akan bisa mengeluarkan sihir apa pun.

Helena diam-diam memperhatikan cahaya yang terus ada lalu menghilang itu. Dia berjalan tanpa bersuara menuju rak buku paling akhir, di sana dia melihat seorang anak kecil perempuan yang sedang membaca buku dengan tongkatnya.

"Kamu sedang apa? Kenapa ada di sini?" tanya Helena. Anak perempuan usia sebelas tahun itu berbalik, dia terkejut melihat Helena.

"Ma-maaf, aku hanya belajar sihir," ucapnya menunduk lalu mengembalikan buku sihir yang dia pegang.

"Kau tertarik dengan sihir?" tanya Helena. Anak itu mengangguk dengan antusias. Helena lalu mendekat dan mengusap kepalanya.

"Biarkan aku mengajarimu tentang sihir, walau aku tidak memiliki tingkatan, tapi aku menguasai penyembuhan, aku biasa menyembuhkan orang lain," ucap Helena. Anak itu berbinar senang mendengar ucapan Helena.

"Cobalah baca mantra dengan hati-hati, kamu harus mengayunkan tongkat dengan perlahan dan bentuk ayunan tongkatmu harus sama dengan gambar di buku," ucap Helena.

Tangan Helena meraih tangan anak itu, dia membantunya mengayunkan tongkat, dan benar saja, seketika sihir anak itu berhasil. Dia berhasil membuat bunga layu di hadapannya menjadi hidup kembali.

"Wow, terima kasih, Helena!" ucapnya dengan bersemangat.

"Bagaimana kau tau aku Helena?" tanyanya.

"Siapa yang tidak mengenalmu? Kau kan adik dari Selena, penyihir tingkat satu yang sangat sempurna. Tidak ada yang bisa mengalahkan Selena, tetapi sayangnya Selena telah tiada, padahal aku ingin belajar dengan dia. Dasar pangeran terkutuk! Kalau saja dia tidak membunuh Selena, semua penyihir cilik pasti akan mahir."

Helena tersenyum, dia tidak menyangka kakaknya sangat populer di sekolah sihir. Selain membantu pemerintahan, Selena juga mengajar di sekolah sihir. Selena adalah penyihir berbakat, dia bisa menguasai kemampuan tanpa batas, bahkan energi Mana yang Selena miliki seakan-akan tidak terbatas.

"Ini sudah larut malam, pulang dan tidurlah," ucap Helena mengusap kepala anak itu.

"Aku ingin bisa menguasai sihir agar lepas dari kutukan ini," ucap anak itu mengerucutkan bibirnya.

"Kutukan? Kutukan apa?"

"Coba buat aku menjadi marah," ucapnya.

Helena tak tau maksud anak itu, tetapi ia mencubit lengan anak itu dengan agak kuat.

Seketika anak perempuan itu berubah menjadi kucing putih, Helena terkejut melihatnya.

"Astaga, kau kucing tadi? Kau dikutuk menjadi kucing?" ucap Helena. Anak perempuan itu hanya mengeong pelan. Dia akan berubah menjadi manusia setelah satu jam menjadi kucing.

"Yaampun aku kasihan kepadamu," ucap Helena.

Tak lama setelah satu jam menunggu, anak perempuan itu kembali menjadi manusia.

"Kau lihat kan? Aku menjadi kucing ketika marah. Aku dulu dikutuk karena pernah tidak sengaja melukai kucing. Dasar penyihir jahat! Oh ya, namaku Winter."

"Aku ingat bisa melihat bagaimana melepaskan pangeran Axton saat bertatapan denganmu, bagaimana kamu bisa melakukan hal itu?" tanya Helena.

"Mudah saja, sejak dulu aku memiliki indra keenam, tapi aku tidak pernah mahir menguasai sihir apa pun. Semua keluargaku adalah penyihir tingkat empat, dan yang mengutukku adalah saudara kembarku sendiri. Aku sangat kesal tidak bisa membalas sihirnya, dia selalu mengerjaiku."

Helena tertawa kecil mendengar penjelasan Winter yang sangat lucu. Wajahnya manis dan menggemaskan baginya.

"Ini sudah malam, pulanglah."

Winter menggeleng, dia sedang tidak ingin pulang, dia selalu diremehkan oleh keluarganya karena tidak bisa menjadi penyihir. Sementara kelemahan Winter adalah ia suka lupa dengan mantra.

"Tidak mau, aku mau tidur di sini saja."

"Baiklah, kalau begitu tidurlah, Winter, aku ingin mencari peta."

"Kau ingin mencari hutan kematian kan? Kau tidak akan menemukannya di peta," ucap Winter.

"Lalu bagaimana menemukan hutan kematian?" tanya Helena bingung.

"Sini ikut aku."

Winter berjalan mengitari perpustakaan, dia lalu ke ruangan paling pojok, menekan tombol ruangan dan terbuka. Ruangan rahasia yang menyimpan buku-buku sihir untuk penyihir tingkat satu. Buku itu berterbangan, tidak seperti buku di ruangan depan yang tertata rapi dalam rak. Heena baru tau ada ruangan seperti ini. Setiap buku itu dilapisi bubuk peri, jadi bisa terbang sendiri.

"Ini dia bukunya," ucap Winter. Dia meraih buku bersampul merah, buku yang bisa menunjukkan peta dunia, Winter menujuk salah satu daerah.

"Di sini hutan kematian, di kota Balkan, kau hanya bisa datang ketika malam hari, temukan foxglove emas dan di sana semua jiwa terkutuk berada."

“Foxglove?” tanya Helena heran, dia belum pernah mendengar hal ini.

“Astaga, kau tidak tau? Semua jiwa yang terkutuk akan terperangkap di hutan kematian itu, tetapi tidak ada satu pun orang yang bisa melihat jiwa-jiwa itu kecuali ... Selena sendiri.”

Helena menganga mendengar pernyataan Winter, sejenak dia menyerah dengan niatnya yang akan membebaskan jiwa Axton. Kalau hanya Selena yang bisa melihat, bagaimana dia bisa menemukan jiwa-jiwa terkutuk itu.

“Aku tau niatmu, aku bisa membaca pikiranmu, kemungkinannya sangat kecil bisa menemukan jiwa Axton. Jujur saja saat dulu Selena mengajar kelasku, aku pernah sedikit melihat apa yang tengah ja pikirkan, jadi aku tahu rahasia ini. Selena sangat bijaksana menggunakan kekuatannya, dia panutanku, dia hanya mengutuk orang-orang yang jahat.”

Helena mengangguk, kakaknya itu memang sangat baik, dia selalu menggunakan sihirnya pada orang-orang yang jahat. Kakaknya selalu menegakkan keadilan bagi masyarakat tidak mampu.

“Coba saja ke Balkan kalau mau membebaskan jiwa pangeran, barangkali kau menemukan petunjuk lain, tapi aku lebih suka kamu tidak membantu pangeran, biar saja dia mati sebentar lagi. Sebenarnya, kutukan itu mengutuk selamanya, pangeran tidak akan bisa bergerak, sampai umurnya yang ditentukan oleh Dewa. Walaupun dia tidak makan ataupun minum, dia akan tetapi hidup, tetapi hidupnya ya seperti yang kita lihat, hanya terbujur kaku. Aku tahu itu semua karena pamanku juga kena kutukan yang sama, pamanku suka sekali mencuri dan merampok, saat itu Selena langsung mengutuknya.”

Helena merasa bodoh, dia tidak tau apa-apa soal ini. Dia tercengang dengan ucapan Winter, tidak menyangka jika kakaknya memiliki kekuatan sihir yang begitu kuat.

“Baiklah, terima kasih, Winter, aku akan mencoba mencari tahu.”

“Iya, hati-hati di jalan. Aku sarankan kau berangkat subuh.” Winter mengedipkan matanya, dia lalu melambaikan tangan kepada Helena, hendak keluar berjalan-jalan di tengah malam. Bagi Winter, dia tidak pernah nyaman tidur di rumah, hanya dia yang tidak bisa sihir, terkadang orang tuanya sendiri selalu mengatakan dia anak yang tidak berguna, padahal Winter memiliki bakat luar biasa di bidang sastra.

Winter ingin menjalani hidup sebagai manusia normal, tetapi orang tuanya selalu meremehkan manusia biasa. Mereka selalu berkata menjalani hidup menjadi penyihir lebih terjamin, segalanya lebih mudah. Bahkan kini para penyihir disejahterakan oleh Lucas dengan kebijakan barunya. Para penyihir yang mampu menaikkan hingga tingkat tiga akan bekerja di pemerintahan dan dinobatkan sebagai perajurit perang.

Winter memilih tidur di bangku taman. Walau dingin, dia sangat menyukai di sini, serasa sepi dan tidak satu pun orang yang mengejeknya. Helena merasa iba dengan Winter, dia membangunkan Winter dan mengajaknya untuk tidur di rumahnya.

“Jangan tidur di sini, nanti kamu akan terserang flu, ayo tidur di rumahku saja.”

Winter tersenyum melihat Helena yang mengikutinya sejak tadi, dia kira Helena telah pulang. Helena menyiapkan minuman hangat, dia juga menyiapkan kasur yang nyaman untuk Winter tidur.

“Terima kasih, suatu saat aku akan membalas kebaikanmu.”

“Sudah, tidak perlu begitu, yang terpenting kamu bisa tidur nyenyak malam ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status