Bab 2 – Api Dendam
Hari-hari setelah perceraian itu berjalan cepat, tapi di hati Alena, waktu seakan berhenti. Ia tidak lagi menjalani hari sebagai wanita biasa; ia berubah menjadi sosok dengan satu tujuan: menghancurkan Arga Pratama. Kirana, sahabatnya, selalu menjadi saksi perubahan itu. Malam itu mereka duduk di apartemen Alena, dengan meja penuh kertas, peta jaringan bisnis, dan catatan-catatan kecil yang berisi strategi. “Len, aku serius,” kata Kirana sambil menatap wajah sahabatnya yang tampak lelah namun penuh semangat. “Kalau kamu terus begini, hidupmu hanya akan dipenuhi dendam. Apa kamu tidak takut kehilangan dirimu sendiri?” Alena meletakkan pulpen, menatap sahabatnya dengan sorot mata tajam. “Aku sudah kehilangan diriku, Kir. Sejak dia meninggalkanku, sejak dia memilih wanita itu… aku bukan lagi Alena yang dulu. Aku hanya punya satu alasan untuk terus bernapas: membuat Arga merasakan apa yang aku rasakan.” Kirana terdiam, lalu menghela napas. “Baiklah. Kalau itu jalanmu, aku akan tetap di sampingmu. Tapi aku harap kamu tahu kapan harus berhenti.” Alena tidak menjawab. Dalam hatinya, tidak ada kata berhenti. --- Sementara itu, Arga semakin tenggelam dalam dunianya yang baru bersama Nadine. Walau ia tampak bahagia di depan publik, di balik itu, Arga sering kali terjebak dalam pikiran tentang Alena. Suatu sore, Arga dan Nadine duduk di balkon rumah baru mereka. Nadine menyesap wine, lalu menatap Arga. “Kamu masih memikirkan dia, ya?” Arga terdiam. “Aku tahu,” lanjut Nadine dengan suara lembut. “Aku tahu kamu mencintainya. Tapi dia sudah pergi, Arga. Sekarang aku di sini. Aku ingin jadi bagian dari hidupmu, bukan hanya bayangan yang berdiri di sampingmu.” Arga menatap Nadine, mencoba tersenyum. “Aku bersamamu sekarang, Nadine. Itu sudah cukup.” Namun di dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu hanyalah setengah kebenaran. --- Di sisi lain, pertemuan rahasia antara Alena dan Bima Satya semakin intens. Bima, rival bisnis Arga, memiliki ambisi menjatuhkan Pratama Group dari posisi teratas. Dan Alena, dengan segala informasi yang dimilikinya tentang Arga, menjadi sekutu yang sempurna. Suatu malam, mereka bertemu di sebuah hotel mewah. “Aku sudah meneliti semua laporan keuangan Pratama Group yang kamu berikan,” kata Bima sambil memandang berkas. “Arga memang lihai, tapi dia punya celah. Jika kita mainkan dengan tepat, dia bisa jatuh.” Alena tersenyum dingin. “Itu yang aku inginkan. Aku tahu semua kebiasaannya, kelemahannya, bahkan orang-orang yang dia percayai. Aku akan gunakan semuanya.” Bima menatap wanita itu dengan kagum. “Kamu berbahaya, Alena. Aku suka.” Namun dalam hatinya, Bima juga punya agenda tersembunyi. Ia ingin memanfaatkan dendam Alena untuk kepentingannya sendiri. --- Revan Wiratama, sahabat Arga, mulai merasakan perubahan suasana. Ia sering melihat Arga tampak tidak fokus di kantor, seakan pikirannya terbagi dua. “Bro, kamu harus hati-hati,” kata Revan suatu siang di ruang rapat. “Aku dengar ada beberapa investor yang tiba-tiba menarik diri. Kayaknya ada yang sedang main di belakang kita.” Arga mengernyit. “Aku akan selidiki. Tapi… kamu pikir siapa yang berani?” Revan menatap Arga dengan hati-hati. “Aku tidak tahu. Tapi kalau aku harus menebak… mungkin seseorang yang punya alasan pribadi.” Arga terdiam. Nama Alena langsung terlintas di kepalanya, tapi ia menggeleng cepat. Tidak mungkin… Alena tidak akan sejauh itu. Namun ia tidak tahu, itu justru awal dari badai besar. --- Di apartemennya, Alena kembali bertemu dengan Raka Pramudya. Pengacara muda itu menaruh tumpukan dokumen di meja. “Ini semua kontrak bisnis terbaru Arga,” kata Raka. “Aku punya beberapa kenalan di dalam perusahaannya. Mereka tidak terlalu loyal.” Alena menatap dokumen itu dengan puas. “Bagus. Aku akan pastikan dia kehilangan segalanya.” Raka memperhatikannya. “Len, boleh aku jujur? Aku mengerti sakit hatimu. Tapi dendam bukan obat. Kadang, dendam hanya membuatmu semakin hancur.” Alena menatapnya tajam. “Aku sudah hancur sejak dia mencampakkanku. Jadi biar aku yang tentukan bagaimana caraku bangkit.” Raka terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan mata Alena yang membuatnya sekaligus kagum dan khawatir. --- Beberapa hari kemudian, Tania Wibowo, adik Arga, secara tak sengaja mendengar percakapan mencurigakan antara dua karyawan di kafe dekat kantor. “Katanya ada bocoran data keluar dari dalam perusahaan…” bisik salah satunya. Tania terkejut. Ia langsung menghubungi Arga. “Mas, aku dengar sesuatu. Kayaknya ada pengkhianat di dalam.” Arga terdiam lama. Suaranya serius. “Terima kasih, Tania. Aku akan selidiki.” Namun Tania tidak tahu bahwa keterlibatannya dalam masalah ini akan membuatnya masuk ke pusaran intrik yang berbahaya. --- Di malam yang sama, Alena dan Kirana berbicara di balkon apartemen. “Len, aku takut kamu tidak sadar kalau semakin banyak orang yang akan terseret dalam rencana ini,” kata Kirana. “Memang itu yang aku mau, Kir,” jawab Alena dingin. “Arga harus kehilangan semuanya. Bukan hanya perusahaannya, tapi juga orang-orang yang dia cintai. Termasuk adiknya.” Kirana terbelalak. “Tania? Jangan, Len! Dia tidak bersalah!” Alena menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. “Dalam perang, tidak ada yang benar-benar tidak bersalah.” Untuk pertama kalinya, Kirana merasa sahabatnya berubah menjadi orang lain—wanita yang lebih kejam daripada yang pernah ia kenal. --- Sementara itu, Nadine mulai merasa gelisah. Ia sering menerima pesan anonim di ponselnya: > “Arga tidak akan pernah benar-benar mencintaimu.” > “Kamu hanya pengganti. Dia akan kehilanganmu juga.” Nadine tidak tahu siapa yang mengirim pesan itu, tapi ia bisa menebak. Nama Alena selalu menghantui pikirannya. Suatu malam ia berkata pada Arga, “Aku merasa ada seseorang yang ingin menghancurkan kita.” Arga menggenggam tangannya. “Aku tidak akan biarkan itu terjadi.” Namun dalam hati, ia tahu—perang sudah dimulai. --- Di sebuah ruang gelap, Alena berdiri di depan papan penuh foto, dokumen, dan garis-garis benang merah yang menghubungkan nama-nama orang terdekat Arga. Di tengah papan itu, terpampang foto Arga dengan tanda silang merah besar. Alena menyentuh foto itu dengan ujung jarinya, lalu berbisik pelan. “Arga… sebentar lagi, kamu akan merasakan sakit yang jauh lebih dalam daripada yang pernah kamu buat aku rasakan.” Api dendam itu sudah menyala. Dan tidak ada yang bisa memadamkannya. ---Warisan Dendam Fajar yang pucat menyapu jendela apartemen Maya. Namun udara di dalam ruangan jauh dari damai. Aroma melati yang sempat menghilang kini kembali, lebih tajam, menyesakkan dada. Maya memandangi laptop yang masih menyala sejak malam—halaman terakhir naskahnya menampilkan satu kalimat yang ia ingat jelas: “Kisah dendam ini belum usai Ia menutup laptop dengan gemetar. “Alena… apa yang kau inginkan dariku?” Pertanda Awal Ketika Maya masuk kantor pagi itu, rekan-rekannya menatap heran. “Kau terlihat pucat,” ujar Rina, sahabatnya. Maya hanya tersenyum hambar. “Kurang tidur.” Namun begitu ia duduk, komputer kantornya langsung menyala sendiri. Di layar, folder dokumen pribadinya terbuka, meski ia yakin sudah terkunci. Sebuah file baru muncul: warisan.docx. Tangan Maya bergetar saat membukanya. Di dalamnya hanya ada satu kalimat: “Maya, dengarkan bisikan malammu. Aku di sisimu.” Ia buru-buru menutupnya, napas tersengal. Kapten Surya Kembali Sore hari, Kapten
Bayangan yang Tersisa Hujan deras membasahi kota Jakarta malam itu. Sirine ambulan yang membawa jasad Arga, Nadine, dan Tania telah lama padam, meninggalkan jejak lampu merah-biru yang memantul di jalanan basah. Rumah besar keluarga Pratama kini kosong, hanya menyisakan dinding yang penuh retakan dan aroma melati yang samar—aroma yang tak akan pernah hilang. Maya duduk di ruang tamu apartemennya, menatap kosong layar ponsel. Di sebelahnya, Kapten Surya menulis laporan terakhir mengenai tragedi yang menimpa keluarga Pratama. Meski kasus dinyatakan “selesai”, Maya tahu semuanya jauh dari kata berakhir. “Bagaimana bisa kita menutupnya begitu saja?” Maya memecah keheningan. “Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk semua kematian itu.” Surya mendesah. “Secara resmi, kita sebut saja gangguan mental kolektif. Media suka istilah itu.” Maya memalingkan wajah. “Kau tidak percaya itu.” Kapten Surya menatapnya lama. “Tidak. Aku juga melihatnya, May. Bayangan itu. Wanita dengan gaun
Warisan Dendam Hujan rintik kembali turun ketika Maya dan Kapten Surya tiba di pemakaman tua di pinggiran kota. Udara malam terasa lebih pekat dari biasanya; bau tanah basah bercampur aroma melati yang menusuk. Lentera kecil di pintu gerbang berayun pelan tertiup angin, seolah memberi peringatan agar mereka tidak melangkah lebih jauh. Surya menyalakan senter. “Kita benar-benar akan menggali makam orang mati tengah malam? Ini melanggar banyak aturan, Maya.” “Dia tidak mati seperti yang kita kira,” balas Maya mantap. “Kalau jasadnya ada, aku akan tenang. Kalau tidak… kita tahu dendamnya masih berkeliaran.” Mereka berjalan menyusuri lorong sempit di antara nisan yang ditumbuhi lumut. Kilatan petir sesekali menyingkap bayangan pohon beringin besar yang meliuk seperti makhluk raksasa. Di depan mereka akhirnya berdiri sebuah nisan putih dengan ukiran nama: ALENA PRATAMA. Maya menatap batu nisan itu lama. Udara di sekeliling mendadak lebih dingin. “Inilah saatnya,” ucapnya lirih.
# Bab 8 – Warisan Dendam Hujan deras mengguyur kota seolah tak rela berhenti. Di sebuah kafe kecil, Maya duduk menatap jendela berembun sambil memutar rekaman wawancara lama Alena berulang-ulang. Kata-kata “Dendamku adalah warisan” terus menggaung di telinganya. Di depan meja, Kapten Surya menatapnya penuh rasa tak percaya. “Kau tampak seperti orang yang menemukan rahasia besar negara,” gumamnya. “Apa Bapak tidak merasa aneh? Setiap orang yang dekat dengan Arga mati dengan cara tragis. Revan di makam Alena, Nadine nyaris melompat, Arga sendiri…” Maya berhenti sejenak, menggenggam cangkir panas erat-erat. “Dan sekarang ada pesan yang muncul di kamarku. Ini bukan kebetulan.” Surya menyandarkan punggung. “Saya polisi, Maya. Saya percaya bukti, bukan… hantu.” “Kalau begitu mari kita cari bukti. Bantu saya membuka kembali kasus kematian Alena. Saya curiga kematiannya dulu… tidak wajar.” --- Malamnya mereka berdua mendatangi rumah sakit tempat Alena dahulu dinyatakan meninggal.
---# Bab 8 – Warisan Dendam*(Bagian 1 dari 3, ±2000 kata)*Hujan turun tanpa henti di malam itu, sama seperti malam ketika Arga Pratama mengakhiri hidupnya. Rumah megah keluarga Pratama kini dipenuhi garis polisi. Lampu merah biru berputar, menyinari dinding yang masih berlumuran darah.Tubuh Arga telah dibawa ke kamar mayat. Namun keheningan rumah itu masih terasa mencekam. Beberapa polisi yang berjaga mengaku mendengar suara tangisan wanita di dalam, padahal ruangan kosong.“Kapten, apakah kita yakin ini hanya kasus bunuh diri?” tanya seorang polisi muda, wajahnya pucat.Kapten Surya, pria paruh baya dengan tatapan tajam, menyalakan rokoknya. “Luka di dadanya jelas bekas tusukan sendiri. Tidak ada tanda perlawanan. Semua mengarah ke bunuh diri.”“Tapi…” polisi muda menelan ludah, “…saya melihat sesuatu di cermin ruang tamu. Ada… wajah wanita.”Kapten Surya menoleh cepat. “Wanita? Siapa?”“Cantik… tapi menyeramkan. Separuh wajahnya rusak terbakar. Dia tersenyum pada saya.”Surya te
Langit malam kembali gelap pekat, seolah tidak ada lagi cahaya yang sanggup menembus awan hitam. Hujan deras mengguyur tanpa belas kasihan, seperti tirai air yang menutup seluruh kota. Petir sesekali menyambar, memantulkan bayangan rumah besar keluarga Pratama yang kini lebih mirip rumah kematian.Di ruang kerjanya, Arga Pratama duduk dengan wajah pucat. Matanya merah, penuh garis lelah. Tangannya gemetar saat menatap USB hitam di meja, benda yang berisi rekaman suara dan wajah Alena. Sesuatu yang seharusnya tidak lagi memiliki kekuatan apa pun, kini mengendalikan seluruh hidupnya.Ia ingin membuangnya. Tapi setiap kali mencoba, ada bisikan di telinganya. Bisikan itu lembut namun menusuk, membuat jantungnya berhenti sejenak.*“Jangan coba-coba, Arga. Aku masih di sini.”*Arga memejamkan mata, menggeleng keras, mencoba menepis suara itu. Tapi bulu kuduknya tetap berdiri, keringat dingin bercucuran.---Di kamar lain, Nadine Kusuma duduk di pojok ranjang, memeluk kakinya sendiri. Tubuhn