Home / Rumah Tangga / Dendam Mantan Istri / Jebakan Dari Mantan

Share

Jebakan Dari Mantan

last update Last Updated: 2025-09-04 02:30:53

# Bab 3 – Jebakan

Langkah kaki Nadine terdengar tergesa di lorong rumah megah Arga. Malam itu ia merasa tidak tenang. Pesan anonim yang masuk ke ponselnya semakin sering, bahkan ada yang berisi foto dirinya sedang berjalan bersama Arga.

Ia menemukan Arga di ruang kerja, sibuk menatap layar laptop. “Arga,” panggilnya pelan.

Arga menoleh. “Kenapa, Nad?”

Nadine menggenggam ponselnya erat. “Seseorang mengikutiku. Aku menerima pesan-pesan aneh. Aku takut, Arga. Jangan-jangan… ini ulah Alena.”

Arga terdiam sejenak. Nama itu kembali mengusik hatinya. Ia mencoba menenangkan Nadine. “Aku akan jaga kamu. Kalau benar ini ulah dia, aku akan selesaikan.”

Namun di dalam hatinya, Arga mulai resah. Ia tidak lagi yakin bahwa Alena hanya sekadar melanjutkan hidup. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disusunnya.

---

Beberapa hari kemudian, Tania Wibowo menghadiri acara sosial yang digelar sebuah yayasan. Ia senang karena bisa bertemu banyak orang baru. Tapi tanpa ia sadari, salah satunya adalah Alena Putri.

Alena tampil anggun dengan gaun biru tua, senyum manis menghiasi wajahnya. Tania sempat terkejut, tapi Alena segera mendekat dengan ramah.

“Halo, kamu Tania kan? Adik Arga?” sapa Alena dengan lembut.

Tania gugup. “I-ya… Kak Alena. Sudah lama tidak bertemu.”

Alena menggenggam tangan Tania. “Aku tahu mungkin kamu canggung. Tapi jangan khawatir, aku tidak ada masalah denganmu. Kamu masih seperti adikku sendiri.”

Ucapan itu terdengar tulus, membuat Tania sedikit luluh. Ia tidak tahu bahwa dibalik senyum itu, ada niat tersembunyi.

---

Di tempat lain, Revan semakin curiga dengan pergerakan orang-orang di sekitar perusahaan Arga. Ia menemukan tanda-tanda bahwa data internal benar-benar bocor.

Ia menghubungi Arga. “Aku yakin ada orang dalam yang mengkhianatimu. Dan aku takut… ini ada hubungannya dengan Alena.”

Arga meremas kepalanya. “Kenapa semua orang menuduh Alena? Dia memang marah padaku, tapi aku tidak percaya dia akan sejauh itu.”

Revan menatap sahabatnya serius. “Kamu terlalu meremehkan dia, Ga. Kadang, orang yang paling kita sakiti justru yang paling berbahaya.”

---

Sementara itu, Alena semakin dekat dengan Bima Satya. Malam itu mereka makan malam bersama di ruang pribadi sebuah restoran.

Bima tersenyum puas. “Investor besar yang tadinya ingin bekerja sama dengan Arga, sekarang sudah beralih padaku. Semua berkat informasi yang kamu berikan.”

Alena menyesap anggur, lalu tersenyum tipis. “Itu baru permulaan. Aku ingin dia kehilangan lebih banyak. Bukan hanya bisnis, tapi juga orang-orang yang dia sayangi.”

Bima menatapnya dengan kagum sekaligus heran. “Kamu benar-benar wanita berbahaya. Tapi hati-hati, jangan sampai kamu ikut terbakar dalam api dendammu sendiri.”

Alena hanya tersenyum samar. Dalam hatinya, ia tidak peduli terbakar—asal Arga ikut hancur.

---

Suatu sore, Tania menerima ajakan dari Alena untuk bertemu di sebuah galeri seni. Tania yang polos tidak merasa curiga. Mereka menghabiskan waktu berbincang ringan, bahkan Tania merasa nyaman bersama Alena.

Namun diam-diam, Alena memotret kebersamaan mereka. Foto itu ia kirimkan secara anonim ke ponsel Nadine.

> “Adik Arga lebih suka bersamaku daripada bersamamu.”

Nadine yang melihat foto itu langsung marah. Ia merasa Alena sengaja mendekati Tania untuk membuat jarak antara dirinya dan Arga.

Ketika malam tiba, Nadine meledak. “Arga! Apa maksudnya Alena mendekati adikmu? Apa kamu masih membiarkan dia masuk ke hidupmu?”

Arga terkejut menerima foto itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Aku… aku tidak tahu soal ini.”

Namun keretakan mulai terbentuk. Nadine merasa posisinya semakin terancam, sementara Arga mulai curiga ada permainan besar yang sedang dijalankan mantan istrinya.

---

Di sisi lain, Raka Pramudya, pengacara yang membantu Alena, mulai merasa rencana ini terlalu jauh. Ia menemuinya di apartemen.

“Len, kamu harus berhenti. Menjatuhkan bisnis Arga satu hal, tapi melibatkan Tania? Itu terlalu kejam.”

Alena menatapnya dingin. “Justru itu kuncinya. Kalau Arga kehilangan orang-orang yang dia sayangi, dia akan benar-benar hancur.”

Raka menghela napas. “Aku khawatir kamu tidak akan bisa kembali setelah ini.”

Alena menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak butuh kembali. Aku hanya butuh menang.”

---

Revan yang semakin curiga akhirnya mulai melakukan penyelidikan pribadi. Ia diam-diam menghubungi seseorang di kalangan hukum, dan menemukan bahwa Raka Pramudya sering kali terlihat bersama Alena.

“Jadi ini benar,” gumam Revan. “Alena tidak sendirian. Dia punya orang kuat di belakangnya.”

Namun Revan menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri. Sebab, di balik semua ini, ia juga menyimpan perasaan untuk Alena. Sebagian dirinya ingin memperingatkan Arga, tapi sebagian lagi ingin membiarkan rencana Alena berhasil—karena itu berarti ia punya kesempatan untuk mendekati wanita yang ia cintai sejak lama.

---

Sementara itu, intrik semakin dalam.

Bima yang awalnya hanya ingin memanfaatkan Alena, mulai tergoda oleh pesonanya. Ia menatap wanita itu dengan kekaguman yang berubah menjadi keinginan pribadi.

“Len,” kata Bima suatu malam setelah pertemuan bisnis, “bagaimana kalau kita tidak hanya jadi sekutu, tapi juga… lebih dari itu?”

Alena tersenyum sinis. “Jangan salah paham, Bima. Aku ada di sini untuk menghancurkan Arga, bukan untuk jadi bagian dari hidupmu.”

Bima tertawa kecil. “Kamu memang berbeda. Tapi hati-hati, karena semakin dalam kamu masuk ke permainan ini, semakin sulit kamu keluar.”

---

Nadine semakin gelisah. Ia merasa diserang dari segala sisi. Malam itu ia menangis di pelukan Arga. “Aku tidak kuat, Ga. Aku merasa Alena selalu ada di antara kita. Seolah aku hanya bayangan.”

Arga mengusap rambutnya. “Kamu bukan bayangan, Nad. Kamu nyata, dan aku memilihmu.”

Namun kata-kata itu justru membuat hatinya sendiri bergetar. Benarkah ia memilih Nadine sepenuhnya? Atau bagian dari dirinya masih tertambat pada Alena?

---

Di apartemennya, Alena menatap papan penuh foto dan catatan. Ia menambahkan foto terbaru—gambar Nadine menangis di pelukan Arga, hasil bidikan orang suruhannya.

“Bagus sekali,” bisiknya. “Retakan sudah mulai terbentuk. Tinggal sedikit lagi sebelum semuanya runtuh.”

Ia tersenyum dingin. Di balik senyum itu, api dendam semakin membara, siap melahap siapa pun yang terjebak di dalam

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Mantan Istri   Keputusan dan pertanda awal

    Warisan Dendam Fajar yang pucat menyapu jendela apartemen Maya. Namun udara di dalam ruangan jauh dari damai. Aroma melati yang sempat menghilang kini kembali, lebih tajam, menyesakkan dada. Maya memandangi laptop yang masih menyala sejak malam—halaman terakhir naskahnya menampilkan satu kalimat yang ia ingat jelas: “Kisah dendam ini belum usai Ia menutup laptop dengan gemetar. “Alena… apa yang kau inginkan dariku?” Pertanda Awal Ketika Maya masuk kantor pagi itu, rekan-rekannya menatap heran. “Kau terlihat pucat,” ujar Rina, sahabatnya. Maya hanya tersenyum hambar. “Kurang tidur.” Namun begitu ia duduk, komputer kantornya langsung menyala sendiri. Di layar, folder dokumen pribadinya terbuka, meski ia yakin sudah terkunci. Sebuah file baru muncul: warisan.docx. Tangan Maya bergetar saat membukanya. Di dalamnya hanya ada satu kalimat: “Maya, dengarkan bisikan malammu. Aku di sisimu.” Ia buru-buru menutupnya, napas tersengal. Kapten Surya Kembali Sore hari, Kapten

  • Dendam Mantan Istri   Bayangan yang tersisa

    Bayangan yang Tersisa Hujan deras membasahi kota Jakarta malam itu. Sirine ambulan yang membawa jasad Arga, Nadine, dan Tania telah lama padam, meninggalkan jejak lampu merah-biru yang memantul di jalanan basah. Rumah besar keluarga Pratama kini kosong, hanya menyisakan dinding yang penuh retakan dan aroma melati yang samar—aroma yang tak akan pernah hilang. Maya duduk di ruang tamu apartemennya, menatap kosong layar ponsel. Di sebelahnya, Kapten Surya menulis laporan terakhir mengenai tragedi yang menimpa keluarga Pratama. Meski kasus dinyatakan “selesai”, Maya tahu semuanya jauh dari kata berakhir. “Bagaimana bisa kita menutupnya begitu saja?” Maya memecah keheningan. “Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk semua kematian itu.” Surya mendesah. “Secara resmi, kita sebut saja gangguan mental kolektif. Media suka istilah itu.” Maya memalingkan wajah. “Kau tidak percaya itu.” Kapten Surya menatapnya lama. “Tidak. Aku juga melihatnya, May. Bayangan itu. Wanita dengan gaun

  • Dendam Mantan Istri   warisan dendam 2

    Warisan Dendam Hujan rintik kembali turun ketika Maya dan Kapten Surya tiba di pemakaman tua di pinggiran kota. Udara malam terasa lebih pekat dari biasanya; bau tanah basah bercampur aroma melati yang menusuk. Lentera kecil di pintu gerbang berayun pelan tertiup angin, seolah memberi peringatan agar mereka tidak melangkah lebih jauh. Surya menyalakan senter. “Kita benar-benar akan menggali makam orang mati tengah malam? Ini melanggar banyak aturan, Maya.” “Dia tidak mati seperti yang kita kira,” balas Maya mantap. “Kalau jasadnya ada, aku akan tenang. Kalau tidak… kita tahu dendamnya masih berkeliaran.” Mereka berjalan menyusuri lorong sempit di antara nisan yang ditumbuhi lumut. Kilatan petir sesekali menyingkap bayangan pohon beringin besar yang meliuk seperti makhluk raksasa. Di depan mereka akhirnya berdiri sebuah nisan putih dengan ukiran nama: ALENA PRATAMA. Maya menatap batu nisan itu lama. Udara di sekeliling mendadak lebih dingin. “Inilah saatnya,” ucapnya lirih.

  • Dendam Mantan Istri   Warisan dendam

    # Bab 8 – Warisan Dendam Hujan deras mengguyur kota seolah tak rela berhenti. Di sebuah kafe kecil, Maya duduk menatap jendela berembun sambil memutar rekaman wawancara lama Alena berulang-ulang. Kata-kata “Dendamku adalah warisan” terus menggaung di telinganya. Di depan meja, Kapten Surya menatapnya penuh rasa tak percaya. “Kau tampak seperti orang yang menemukan rahasia besar negara,” gumamnya. “Apa Bapak tidak merasa aneh? Setiap orang yang dekat dengan Arga mati dengan cara tragis. Revan di makam Alena, Nadine nyaris melompat, Arga sendiri…” Maya berhenti sejenak, menggenggam cangkir panas erat-erat. “Dan sekarang ada pesan yang muncul di kamarku. Ini bukan kebetulan.” Surya menyandarkan punggung. “Saya polisi, Maya. Saya percaya bukti, bukan… hantu.” “Kalau begitu mari kita cari bukti. Bantu saya membuka kembali kasus kematian Alena. Saya curiga kematiannya dulu… tidak wajar.” --- Malamnya mereka berdua mendatangi rumah sakit tempat Alena dahulu dinyatakan meninggal.

  • Dendam Mantan Istri   warisanku ada padamu

    ---# Bab 8 – Warisan Dendam*(Bagian 1 dari 3, ±2000 kata)*Hujan turun tanpa henti di malam itu, sama seperti malam ketika Arga Pratama mengakhiri hidupnya. Rumah megah keluarga Pratama kini dipenuhi garis polisi. Lampu merah biru berputar, menyinari dinding yang masih berlumuran darah.Tubuh Arga telah dibawa ke kamar mayat. Namun keheningan rumah itu masih terasa mencekam. Beberapa polisi yang berjaga mengaku mendengar suara tangisan wanita di dalam, padahal ruangan kosong.“Kapten, apakah kita yakin ini hanya kasus bunuh diri?” tanya seorang polisi muda, wajahnya pucat.Kapten Surya, pria paruh baya dengan tatapan tajam, menyalakan rokoknya. “Luka di dadanya jelas bekas tusukan sendiri. Tidak ada tanda perlawanan. Semua mengarah ke bunuh diri.”“Tapi…” polisi muda menelan ludah, “…saya melihat sesuatu di cermin ruang tamu. Ada… wajah wanita.”Kapten Surya menoleh cepat. “Wanita? Siapa?”“Cantik… tapi menyeramkan. Separuh wajahnya rusak terbakar. Dia tersenyum pada saya.”Surya te

  • Dendam Mantan Istri   Malam Penjemputan

    Langit malam kembali gelap pekat, seolah tidak ada lagi cahaya yang sanggup menembus awan hitam. Hujan deras mengguyur tanpa belas kasihan, seperti tirai air yang menutup seluruh kota. Petir sesekali menyambar, memantulkan bayangan rumah besar keluarga Pratama yang kini lebih mirip rumah kematian.Di ruang kerjanya, Arga Pratama duduk dengan wajah pucat. Matanya merah, penuh garis lelah. Tangannya gemetar saat menatap USB hitam di meja, benda yang berisi rekaman suara dan wajah Alena. Sesuatu yang seharusnya tidak lagi memiliki kekuatan apa pun, kini mengendalikan seluruh hidupnya.Ia ingin membuangnya. Tapi setiap kali mencoba, ada bisikan di telinganya. Bisikan itu lembut namun menusuk, membuat jantungnya berhenti sejenak.*“Jangan coba-coba, Arga. Aku masih di sini.”*Arga memejamkan mata, menggeleng keras, mencoba menepis suara itu. Tapi bulu kuduknya tetap berdiri, keringat dingin bercucuran.---Di kamar lain, Nadine Kusuma duduk di pojok ranjang, memeluk kakinya sendiri. Tubuhn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status