Share

Balasan Terakhir

last update Last Updated: 2025-09-04 02:31:46

# Bab 4 – Balasan Terakhir

Langit malam gelap tanpa bintang ketika Arga menerima kabar mengejutkan dari kantor pusat Pratama Group. Sejumlah besar aset perusahaan mendadak dibekukan. Beberapa kontrak penting dibatalkan secara sepihak. Investor yang dulu loyal, kini beralih ke rival terbesarnya: Bima Satya.

Arga menghantam meja dengan kepalan tangan. “Sial! Siapa yang berani bermain sejauh ini?”

Revan, yang berdiri di sampingnya, menatap serius. “Aku sudah menduganya. Ini bukan sekadar permainan bisnis. Ini dendam pribadi. Dan aku yakin, Alena ada di balik semua ini.”

Arga terdiam. Hatinya tidak ingin percaya, tapi semua bukti mengarah ke sana. Alena… apa benar kamu tega sejauh ini?

---

Malam itu, Alena berdiri di balkon apartemennya, memandang kota yang berkilau. Di sampingnya, Bima duduk dengan segelas anggur.

“Pratama Group sudah goyah. Arga tinggal menunggu jatuh,” kata Bima puas.

Alena tersenyum tipis. “Bagus. Tapi itu belum cukup. Aku ingin dia kehilangan lebih banyak—hatinya, keluarganya, segalanya.”

Bima mengangguk, namun dalam hatinya, ia merasa Alena terlalu jauh. Wanita ini bukan hanya sekutu, tapi badai yang bisa menelannya juga.

---

Sementara itu, Nadine semakin terpuruk. Hubungannya dengan Arga penuh pertengkaran. Foto-foto dan pesan misterius terus menghantuinya. Hingga suatu malam, ia berkata dengan suara serak, “Aku tidak sanggup lagi, Arga. Aku tidak ingin hidup di bawah bayangan Alena.”

Air mata Nadine jatuh, dan untuk pertama kalinya Arga tidak bisa berkata apa-apa. Karena ia tahu—sebagian dari dirinya memang masih terikat pada mantan istrinya.

---

Di tengah kekacauan itu, Tania menjadi korban berikutnya. Suatu sore ia diculik saat pulang dari kampus oleh orang-orang tak dikenal. Arga panik saat menerima telepon ancaman.

> “Kalau kamu ingin adikmu selamat, lepaskan semua kontrak besar Pratama Group. Serahkan juga saham pribadimu.”

Arga gemetar. “Siapa kalian?! Apa maumu?!”

Telepon terputus. Arga jatuh terduduk. “Tania…”

Revan segera menenangkannya. “Kita harus cari tahu siapa dalangnya.”

Arga menatap sahabatnya dengan mata merah. “Kalau ini ulah Alena… aku tidak akan pernah memaafkannya.”

---

Di tempat persembunyian, Tania menangis dengan tangan terikat. Ia tidak tahu siapa yang menculiknya. Namun saat pintu terbuka, ia terbelalak melihat sosok Alena berdiri di ambang pintu.

“Kak Alena… kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar.

Alena mendekat, menyentuh pipinya lembut. “Maaf, Tania. Aku tidak ingin menyakitimu. Tapi aku harus melakukan ini agar Arga merasakan sakitnya kehilangan.”

Tania terisak. “Kak… Arga masih sayang sama Kak Alena. Dia sering sebut nama Kakak meski di depan Nadine…”

Alena tertegun. Kata-kata Tania menusuk jantungnya. Namun ia segera mengeraskan hati. “Cinta tidak berarti apa-apa setelah dikhianati.”

---

Raka Pramudya, yang sejak awal sudah ragu, akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia menemui Arga diam-diam.

“Arga, dengar aku baik-baik. Semua ini memang ulah Alena. Tapi kau harus tahu, dia hanya dimanfaatkan Bima Satya. Bima-lah dalang sebenarnya. Alena hanyalah wanita yang terbakar oleh dendam.”

Arga terpaku. “Alena… dimanfaatkan?”

Raka menatapnya tajam. “Ya. Kalau kau ingin menghentikan ini, kau harus berhadapan dengan Bima.”

---

Keesokan malamnya, Arga akhirnya menemukan lokasi di mana Tania disekap. Ia datang bersama Revan. Saat mereka menerobos masuk, suasana kacau. Orang-orang suruhan Bima mencoba menghadang, tapi perkelahian sengit terjadi.

Di tengah kekacauan itu, Arga menemukan Tania yang terikat. Ia berlari menghampiri, namun tiba-tiba suara dingin menghentikannya.

“Berhenti di situ, Arga.”

Arga menoleh. Alena berdiri di balik bayangan, menatapnya dengan mata penuh api.

“Alena…” suara Arga bergetar. “Kenapa kamu melakukan ini?”

Alena maju perlahan. “Karena kamu sudah merenggut segalanya dariku. Sekarang giliranmu merasakannya.”

Arga menatapnya putus asa. “Kalau aku bersalah, hukum aku! Tapi jangan libatkan Tania. Dia tidak salah apa-apa.”

Alena terdiam. Suara Tania terdengar lirih, “Kak Alena… tolong… aku tahu Kakak masih mencintai Mas Arga.”

Air mata Alena nyaris jatuh, tapi Bima tiba-tiba masuk, menodongkan pistol.

“Sudahlah, Len. Jangan buang waktu. Kita habisi saja dia sekarang.”

Alena menoleh kaget. “Apa maksudmu, Bima?”

Bima tertawa dingin. “Kamu kira aku mau menolongmu? Aku hanya memanfaatkan dendammu. Sekarang saatnya aku singkirkan Arga, dan kamu juga. Kalian berdua sama-sama beban.”

Alena terbelalak. Ia baru sadar ia dipermainkan.

---

Saat Bima mengangkat pistolnya ke arah Arga, Revan menyerbu dari samping. Perkelahian sengit meledak. Suara tembakan bergema, membuat ruangan panik.

Di tengah kekacauan itu, Alena akhirnya membuat keputusan. Ia melompat, mendorong Bima tepat saat pistol meletus. Peluru melesat, menghantam tubuhnya sendiri.

“Alena!” Arga berteriak histeris.

Bima terjatuh setelah dihajar Revan, sementara orang-orangnya kabur. Polisi yang dipanggil Raka datang tak lama setelah itu, menangkap Bima dalam keadaan babak belur.

---

Arga berlari memeluk tubuh Alena yang berlumuran darah. “Kenapa kamu lakukan ini?!”

Alena tersenyum lemah. “Mungkin… karena aku tidak pernah benar-benar bisa berhenti mencintaimu, Arga.”

Air mata Arga jatuh. “Jangan bicara begitu! Kamu akan selamat, aku janji!”

Alena menggeleng pelan. “Tidak ada yang bisa menyelamatkanku dari diriku sendiri. Dendamku… sudah membunuhku jauh sebelum peluru ini. Tapi… setidaknya aku bisa melindungimu kali ini.”

Matanya perlahan terpejam, meninggalkan senyum tipis di bibirnya.

Arga menjerit, merasakan kehilangan yang jauh lebih sakit daripada apa pun.

---

Beberapa minggu kemudian…

Pratama Group perlahan bangkit kembali setelah Bima ditangkap. Nadine memilih meninggalkan Arga, merasa tidak sanggup hidup dalam bayang-bayang cinta lamanya.

Tania pulih dari trauma, meski luka batinnya masih tersisa. Raka kembali ke dunianya sebagai pengacara, sementara Revan tetap menjadi sahabat setia Arga—meski hatinya selalu membawa cinta diam untuk Alena yang kini telah tiada.

Di makam Alena, Arga berdiri sendirian dengan setangkai bunga putih. Angin berhembus lembut, membawa bisikan yang seakan datang dari hatinya sendiri.

“Maafkan aku, Alena. Maaf karena membuatmu hancur. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Dendammu mungkin merenggut segalanya, tapi cintamu akan selalu hidup di dalamku.”

Air matanya jatuh. Untuk pertama kalinya, Arga benar-benar merasa kalah—bukan oleh bisnis, bukan oleh lawan, tapi oleh cinta dan dendam yang tak pernah selesai.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Mantan Istri   Keputusan dan pertanda awal

    Warisan Dendam Fajar yang pucat menyapu jendela apartemen Maya. Namun udara di dalam ruangan jauh dari damai. Aroma melati yang sempat menghilang kini kembali, lebih tajam, menyesakkan dada. Maya memandangi laptop yang masih menyala sejak malam—halaman terakhir naskahnya menampilkan satu kalimat yang ia ingat jelas: “Kisah dendam ini belum usai Ia menutup laptop dengan gemetar. “Alena… apa yang kau inginkan dariku?” Pertanda Awal Ketika Maya masuk kantor pagi itu, rekan-rekannya menatap heran. “Kau terlihat pucat,” ujar Rina, sahabatnya. Maya hanya tersenyum hambar. “Kurang tidur.” Namun begitu ia duduk, komputer kantornya langsung menyala sendiri. Di layar, folder dokumen pribadinya terbuka, meski ia yakin sudah terkunci. Sebuah file baru muncul: warisan.docx. Tangan Maya bergetar saat membukanya. Di dalamnya hanya ada satu kalimat: “Maya, dengarkan bisikan malammu. Aku di sisimu.” Ia buru-buru menutupnya, napas tersengal. Kapten Surya Kembali Sore hari, Kapten

  • Dendam Mantan Istri   Bayangan yang tersisa

    Bayangan yang Tersisa Hujan deras membasahi kota Jakarta malam itu. Sirine ambulan yang membawa jasad Arga, Nadine, dan Tania telah lama padam, meninggalkan jejak lampu merah-biru yang memantul di jalanan basah. Rumah besar keluarga Pratama kini kosong, hanya menyisakan dinding yang penuh retakan dan aroma melati yang samar—aroma yang tak akan pernah hilang. Maya duduk di ruang tamu apartemennya, menatap kosong layar ponsel. Di sebelahnya, Kapten Surya menulis laporan terakhir mengenai tragedi yang menimpa keluarga Pratama. Meski kasus dinyatakan “selesai”, Maya tahu semuanya jauh dari kata berakhir. “Bagaimana bisa kita menutupnya begitu saja?” Maya memecah keheningan. “Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk semua kematian itu.” Surya mendesah. “Secara resmi, kita sebut saja gangguan mental kolektif. Media suka istilah itu.” Maya memalingkan wajah. “Kau tidak percaya itu.” Kapten Surya menatapnya lama. “Tidak. Aku juga melihatnya, May. Bayangan itu. Wanita dengan gaun

  • Dendam Mantan Istri   warisan dendam 2

    Warisan Dendam Hujan rintik kembali turun ketika Maya dan Kapten Surya tiba di pemakaman tua di pinggiran kota. Udara malam terasa lebih pekat dari biasanya; bau tanah basah bercampur aroma melati yang menusuk. Lentera kecil di pintu gerbang berayun pelan tertiup angin, seolah memberi peringatan agar mereka tidak melangkah lebih jauh. Surya menyalakan senter. “Kita benar-benar akan menggali makam orang mati tengah malam? Ini melanggar banyak aturan, Maya.” “Dia tidak mati seperti yang kita kira,” balas Maya mantap. “Kalau jasadnya ada, aku akan tenang. Kalau tidak… kita tahu dendamnya masih berkeliaran.” Mereka berjalan menyusuri lorong sempit di antara nisan yang ditumbuhi lumut. Kilatan petir sesekali menyingkap bayangan pohon beringin besar yang meliuk seperti makhluk raksasa. Di depan mereka akhirnya berdiri sebuah nisan putih dengan ukiran nama: ALENA PRATAMA. Maya menatap batu nisan itu lama. Udara di sekeliling mendadak lebih dingin. “Inilah saatnya,” ucapnya lirih.

  • Dendam Mantan Istri   Warisan dendam

    # Bab 8 – Warisan Dendam Hujan deras mengguyur kota seolah tak rela berhenti. Di sebuah kafe kecil, Maya duduk menatap jendela berembun sambil memutar rekaman wawancara lama Alena berulang-ulang. Kata-kata “Dendamku adalah warisan” terus menggaung di telinganya. Di depan meja, Kapten Surya menatapnya penuh rasa tak percaya. “Kau tampak seperti orang yang menemukan rahasia besar negara,” gumamnya. “Apa Bapak tidak merasa aneh? Setiap orang yang dekat dengan Arga mati dengan cara tragis. Revan di makam Alena, Nadine nyaris melompat, Arga sendiri…” Maya berhenti sejenak, menggenggam cangkir panas erat-erat. “Dan sekarang ada pesan yang muncul di kamarku. Ini bukan kebetulan.” Surya menyandarkan punggung. “Saya polisi, Maya. Saya percaya bukti, bukan… hantu.” “Kalau begitu mari kita cari bukti. Bantu saya membuka kembali kasus kematian Alena. Saya curiga kematiannya dulu… tidak wajar.” --- Malamnya mereka berdua mendatangi rumah sakit tempat Alena dahulu dinyatakan meninggal.

  • Dendam Mantan Istri   warisanku ada padamu

    ---# Bab 8 – Warisan Dendam*(Bagian 1 dari 3, ±2000 kata)*Hujan turun tanpa henti di malam itu, sama seperti malam ketika Arga Pratama mengakhiri hidupnya. Rumah megah keluarga Pratama kini dipenuhi garis polisi. Lampu merah biru berputar, menyinari dinding yang masih berlumuran darah.Tubuh Arga telah dibawa ke kamar mayat. Namun keheningan rumah itu masih terasa mencekam. Beberapa polisi yang berjaga mengaku mendengar suara tangisan wanita di dalam, padahal ruangan kosong.“Kapten, apakah kita yakin ini hanya kasus bunuh diri?” tanya seorang polisi muda, wajahnya pucat.Kapten Surya, pria paruh baya dengan tatapan tajam, menyalakan rokoknya. “Luka di dadanya jelas bekas tusukan sendiri. Tidak ada tanda perlawanan. Semua mengarah ke bunuh diri.”“Tapi…” polisi muda menelan ludah, “…saya melihat sesuatu di cermin ruang tamu. Ada… wajah wanita.”Kapten Surya menoleh cepat. “Wanita? Siapa?”“Cantik… tapi menyeramkan. Separuh wajahnya rusak terbakar. Dia tersenyum pada saya.”Surya te

  • Dendam Mantan Istri   Malam Penjemputan

    Langit malam kembali gelap pekat, seolah tidak ada lagi cahaya yang sanggup menembus awan hitam. Hujan deras mengguyur tanpa belas kasihan, seperti tirai air yang menutup seluruh kota. Petir sesekali menyambar, memantulkan bayangan rumah besar keluarga Pratama yang kini lebih mirip rumah kematian.Di ruang kerjanya, Arga Pratama duduk dengan wajah pucat. Matanya merah, penuh garis lelah. Tangannya gemetar saat menatap USB hitam di meja, benda yang berisi rekaman suara dan wajah Alena. Sesuatu yang seharusnya tidak lagi memiliki kekuatan apa pun, kini mengendalikan seluruh hidupnya.Ia ingin membuangnya. Tapi setiap kali mencoba, ada bisikan di telinganya. Bisikan itu lembut namun menusuk, membuat jantungnya berhenti sejenak.*“Jangan coba-coba, Arga. Aku masih di sini.”*Arga memejamkan mata, menggeleng keras, mencoba menepis suara itu. Tapi bulu kuduknya tetap berdiri, keringat dingin bercucuran.---Di kamar lain, Nadine Kusuma duduk di pojok ranjang, memeluk kakinya sendiri. Tubuhn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status