LOGINSekarang terbungkus dalam kantong mayat, Evan mulai merasakan amarah yang lebih panas dari api neraka membakar jiwanya.
*Aku tidak boleh mati. Tidak boleh!*
Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Aliran hangat menjalar dari tulang belakangnya, menyebar ke seluruh tubuh yang remuk. Bukan kehangatan biasa, ini seperti lava yang mengalir dalam pembuluh darahnya, seperti petir yang menyambar dari dalam.
Tulang-tulang yang patah berderak. Otot-otot yang robek berkedut. Ada energi yang terbangun di dalam dirinya, energi yang selama ini tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit.
Di kegelapan kantong mayat, dalam rasa sakit yang tak terperi, Evan Pendragon bersumpah, *Suatu hari semua orang yang menghancurkan hidupku akan merasakan penderitaan yang sama, tunggu saja!*
Van hitam melaju menembus kegelapan malam, mesin dieselnya menderu pelan menyusuri jalan berliku menuju pegunungan utara Zantris. Sorot lampu depan membelah kabut tipis yang menggantung di lereng terjal.
Mobil itu akhirnya berhenti. Evan yang merasakan setiap belokan, setiap goncangan, menghantam tulang-tulangnya yang patah, akhirnya bisa menghela napas lega.
"Sudah sampai," suara kasar salah satu pria terdengar dari depan.
Pintu bagasi terbuka dengan bunyi klik logam. Udara dingin pegunungan langsung menusuk kantong kuning, membuat Evan menggigil. Dua pasang tangan kasar mengangkat kantong berisi tubuhnya.
"Berat juga mayat ini," keluh salah satu dari mereka.
"Diam saja! Dokter Reema sudah menunggu."
Evan merasakan tubuhnya diangkat dan dibawa menyusuri lorong yang panjang, terdengar dari suara langkah kaki yang bergema. Suara pintu besi berderit terbuka, kemudian tertutup dengan bunyi keras. Udara berubah lebih hangat, tercium aroma antiseptik yang menyengat.
Kantong kuning diletakkan di atas permukaan dingin dan keras. Suara langkah kaki menjauh, kemudian pintu tertutup lagi. Keheningan menyelimuti ruangan.
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka kembali. Langkah kaki yang lebih ringan mendekat, diikuti bunyi peralatan medis yang bergeser.
"Baiklah, mari kita lihat apa yang kita dapat!" Evan mendengar suara lembut wanita di luar sana.
Resleting kantong terbuka dari atas kepala Evan. Seberkas cahaya terang menyilaukan mata kirinya yang masih berfungsi. Ia berkedip, berusaha menyesuaikan diri dengan pencahayaan.
"Astaga!" suara wanita itu tersentak.
Evan melihat sosok wanita berusia sekitar tiga puluhan berdiri di sampingnya. Wajahnya cantik dengan kacamata tipis bertengger di hidung mancung. Rambut cokelat tertata rapi, dikuncir ke belakang. Jas lab putih yang dikenakannya terlihat bersih tanpa noda.
"Aku Dr. Reema," wanita itu memperkenalkan diri sambil memeriksa denyut nadi Evan dengan alat canggih. "Direktur Pusat Penelitian Veridax-Vexlar Integration Complex. Atau dalam istilah yang lebih sederhana, tempat kami menciptakan dewa perang."
VVIC. Evan pernah mendengar rumor tentang tempat ini. Fasilitas rahasia pemerintah untuk mempersiapkan para tentara dalam peperangan kelak.
"Proyek Veridax mengkhususkan diri pada modifikasi biologis ekstrem. Serum adaptasi, rekayasa genetik, mutasi terkontrol. Sedangkan Proyek Vexlar menangani aspek cybernetic, implan syaraf, eksoskeleton, mata robotik, integrasi AI langsung ke otak manusia."
Mata Evan melebar. Ia mulai memahami ke mana arah pembicaraan ini.
"Selama sepuluh tahun, kami telah menggunakan puluhan relawan terpidana mati sepertimu untuk menciptakan tentara super. Sayangnya, tingkat kematian masih sangat tinggi. Sembilan puluh tujuh persen subjek tidak bertahan melewati tahap pertama atau kedua."
Dr. Reema membungkuk, kini matanya sejajar dengan Evan. "Tapi lihat dirimu... kau masih hidup setelah penyiksaan yang seharusnya bisa membunuh seekor induk gajah. Itu memberitahu kami sesuatu yang menarik tentang komposisi biologismu."
"Aku akan memberikanmu dua pilihan, Evan Pendragon! Pertama, kami kembalikan dirimu ke Penjara Inferium. Dalam kondisi ini, kau akan mati dalam hitungan jam, jika Eric dan kawan-kawannya tidak menghabisimu lebih dulu."
Evan tahu pilihan itu sama dengan hukuman mati.
"Atau kedua, kau menjadi bagian dari Proyek Dewa Tempur kami. Kemungkinanmu mati juga tinggi, tapi jika berhasil, kau akan terlahir kembali sebagai seseorang yang jauh melampaui manusia biasa."
Dalam kepalanya yang berdenyut sakit, Evan menimbang pilihan. Kematian pasti atau kemungkinan mati. Tapi pilihan kedua memberikan sesuatu yang tidak dimiliki pilihan pertama, harapan untuk bisa membalas dendam.
Dengan usaha luar biasa yang membuatnya hampir pingsan, Evan menganggukkan kepala dengan lemah.
Dr. Reema tersenyum. "Keputusan yang bijak. Selamat datang di neraka barumu, Evan Pendragon!"
---
Ruang Isolasi tengah malam.
Evan terbaring di tempat tidur logam yang dingin, tubuhnya dihubungkan dengan berbagai selang dan monitor. Serum penenang mengalir dalam pembuluh darahnya, tapi pikirannya tetap bergejolak.
Rasa sakit mulai mereda, digantikan oleh rasa kantuk yang sangat. Pandangannya mengabur, realitas dan mimpi mulai bercampur.
Di tengah kabut kesadarannya, sosok tak asing menampakkan diri di samping tempat tidur.
"Ayah?" bisik Evan dengan suara yang hampir tak terdengar.
Ardhan Pendragon berdiri di sana, mengenakan jubah putih bercahaya lembut. Wajahnya persis seperti yang Evan ingat, bijaksana, tenang, dan penuh kasih sayang.
"Sudah saatnya, Anakku," suara Ardhan terdengar dalam seperti suara dari kedalaman bumi.
"Apakah Ayah datang untuk menjemputku?"
Ardhan menggeleng. "Belum. Takdirmu masih panjang, Evan. Dan Ayah datang untuk memberikan apa yang menjadi hakmu."
Pria itu mengulurkan tangan, meletakkannya di dada Evan. Kehangatan menyebar dari sentuhan itu, berbeda dengan kehangatan yang pernah Evan rasakan sebelumnya.
"Dalam lima ratus tahun, hanya satu keturunan Pendragon yang akan mewarisi Tulang Naga. Kau yang terpilih, Anakku."
"Tulang... Naga?"
"Itulah sebabnya kau bisa bertahan hidup meski tubuhmu dihancurkan. Tulang Naga adalah pondasi kekuatan sejati leluhur keluarga kita, kemampuan untuk menyerap dan mengolah energi dengan kecepatan yang tidak dimiliki manusia biasa. Kemampuan untuk berkembang dua kali lipat lebih cepat dari siapapun."
Evan merasakan sesuatu bergerak di dalam tulang belakangnya, seperti ular raksasa yang menggeliat.
"Tapi itu belum cukup. Tubuh dan jiwamu harus melalui pembentukan ulang total. Kau akan disiksa, dipecah, dan disusun kembali berkali-kali. Dan untuk menahan semua itu..."
Ardhan mengangkat tangannya. Di telapaknya, sebuah jantung berdenyut dengan cahaya merah darah. Bukan jantung manusia, ini jauh lebih besar, dengan urat-urat emas yang berkilauan di permukaannya.
"Jantung Naga Bumi Pendragon. Ini akan memberikan kekuatan sirkulasi darah seratus kali lipat dari jantung manusia. Kemampuan kultivasi energi yang tak terbatas. Dan yang terpenting, ketahanan untuk melewati transformasi yang akan kau hadapi."
Evan terpesona menatap jantung yang masih berdenyut itu. Setiap detakannya mengirimkan gelombang kekuatan yang bisa ia rasakan meski hanya melihatnya.
"Ini akan sakit. Lebih sakit dari apapun yang pernah kau alami."
"Lakukan! Aku sudah tidak takut sakit lagi."
Ardhan meletakkan jantung naga di atas dada Evan. Seketika, rasa sakit yang tak terbayangkan meledak di seluruh tubuhnya.
Dadanya serasa dibelah dengan kapak raksasa. Jantung naga meleleh menembus kulit, tulang rusuk, menuju jantung manusianya yang masih berdenyut lemah.
"AAAAHHHHH!" Evan menjerit dengan suara yang tidak pernah keluar dari tenggorokannya sebelumnya. Air mata mengalir deras, tubuhnya berkonvulsi hebat.
Black maju pertama kali. Tubuhnya berubah berwarna keabu-abuan metalik, seperti ada besi hidup yang melapisi kulitnya. "Rasakan ini, Bocah!"Tinju keras mengarah ke wajah Evan. Sang Pendragon Junior menghindar dengan memiringkan kepala, tapi serangan kedua sudah menyusul. Siku Black menghantam rusuk kiri Evan dengan bunyi benturan logam."Argh!" Evan terpental beberapa meter, merasakan tulang rusuknya teramat ngilu."Hahaha!" Black tertawa puas. "Asal kau tahu, Tinju besi Harimau Vandar bukan main-main!"Rock muncul dari bayangan di belakang Evan seperti hantu. Pisau panjang di tangannya berkilat mengarah ke punggung. Evan berputar cepat, menangkis dengan lengan kiri. Ia meringis saat lengannya tergores hingga siku."Kau terlalu lambat seperti nenek-nenek!" Rock menyeringai sadis.Green melompat dari atas meja direktur, kaki kanannya menendang kepala Evan dengan kekuatan penuh. Evan terjatuh ke lantai marmer, mata berkunang-kunang. Kalau manusia biasa, mungkin kepalanya sudah pecah."
Evan bergerak seperti bayangan maut menuju mansion utama. Penjaga-penjaga berjatuhan satu per satu tanpa sempat berteriak. Mata robotiknya merekam segalanya, Dr. Reema dan tim peneliti di VVIC menyaksikan dengan tegang.Alarm belum sempat berbunyi ketika Evan sudah mencapai lantai tiga. Dua orang berseragam hitam menghadangnya di koridor."Berhenti! Identitas apa...?"Evan bergerak sebelum mereka menyelesaikan kalimat. Tangan kanannya mencengkeram tenggorokan penjaga pertama, mengangkatnya hingga kaki tidak menyentuh lantai. Penjaga kedua mencoba mengeluarkan pistol, tapi Evan sudah menendang pergelangan tangannya hingga patah.KRAK!Leher penjaga pertama patah. Tubuhnya merosot lemas. Penjaga kedua yang tangannya patah mencoba berteriak, tapi Evan sudah membekap mulutnya dan memutar kepalanya dengan keras.Mereka tidak bertahan lama.Pintu ruang kerja Lorenzo berlapis besi menghadang di ujung koridor. Evan memasang bom plastik di engsel pintu. Ledakan kecil yang teredam membuat pintu
Di dalam dadanya, jantung naga mulai menggerogoti jantung manusianya seperti asam yang memakan logam. Setiap serabut otot jantung lama dicabik, diganti dengan serabut baru yang lebih kuat.Evan merasakan darahnya terbakar. Setiap tetes cairan dalam pembuluh darahnya digantikan dengan darah murni Naga Bumi Pendragon. Cairan emas bercampur merah mengalir deras, membersihkan setiap sel, setiap jaringan, dan setiap organ.Setiap detak jantung baru mengirimkan gelombang energi murni ke seluruh tubuhnya. Darahnya tidak lagi sekadar pembawa oksigen, kini menjadi konduktor energi yang memungkinkan kultivasi kekuatan pada level yang tak terbayangkan.Proses itu rasanya seperti berlangsung berjam-jam lamanya. Waktu kehilangan maknanya di tengah siksaan yang melampaui batas fisik dan mental.Ketika rasa sakit akhirnya mereda, Evan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya masih hancur, tapi ada energi baru yang mengalir, kuat, murni, tak terbatas."Sekarang kau adalah keturunan sejati Naga Bumi P
Sekarang terbungkus dalam kantong mayat, Evan mulai merasakan amarah yang lebih panas dari api neraka membakar jiwanya.*Aku tidak boleh mati. Tidak boleh!*Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Aliran hangat menjalar dari tulang belakangnya, menyebar ke seluruh tubuh yang remuk. Bukan kehangatan biasa, ini seperti lava yang mengalir dalam pembuluh darahnya, seperti petir yang menyambar dari dalam.Tulang-tulang yang patah berderak. Otot-otot yang robek berkedut. Ada energi yang terbangun di dalam dirinya, energi yang selama ini tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit.Di kegelapan kantong mayat, dalam rasa sakit yang tak terperi, Evan Pendragon bersumpah, *Suatu hari semua orang yang menghancurkan hidupku akan merasakan penderitaan yang sama, tunggu saja!*Van hitam melaju menembus kegelapan malam, mesin dieselnya menderu pelan menyusuri jalan berliku menuju pegunungan utara Zantris. Sorot lampu depan membelah kabut tipis yang menggantung di lereng terjal.Mobil itu akhirnya
Bunyi kunci berderit keras menggema di lorong Blok E Penjara Inferium. Evan Pendragon terbangun dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Matanya yang bengkak bekas pukulan napi senior tadi siang melirik ke arah pintu sel yang terbuka lebar. Sosok tegap Eric berdiri di ambang pintu dengan seringai mengerikan."Bangun, Pembunuh Kecil!" Eric menggeram sambil memasuki sel sempit itu. "Malam ini malam terakhirmu."Evan mencoba mundur ke sudut sel, tapi kakinya yang gemetar tak mampu menahan tubuh kurusnya. Enam bulan hidup di neraka ini telah menggerogoti fisiknya hingga tulang. Kulit pucat dan memar kehitaman menutupi sekujur tubuhnya."Jangan sentuh aku! Aku tidak membunuh mereka."Eric tertawa keras. Tangannya yang kasar mencengkeram kerah baju penjara lusuh remaja yang baru berusia 17 tahun itu dan menyeretnya keluar dari sel."Cerita lama, Bocah. Siapa yang peduli meskipun itu benar?"Eric menyeret Evan menyusuri lorong penjara yang remang-remang dan sunyi. Napi-napi lain yang masih ter







