LOGIN
Bunyi kunci berderit keras menggema di lorong Blok E Penjara Inferium. Evan Pendragon terbangun dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Matanya yang bengkak bekas pukulan napi senior tadi siang melirik ke arah pintu sel yang terbuka lebar. Sosok tegap Eric berdiri di ambang pintu dengan seringai mengerikan.
"Bangun, Pembunuh Kecil!" Eric menggeram sambil memasuki sel sempit itu. "Malam ini malam terakhirmu."
Evan mencoba mundur ke sudut sel, tapi kakinya yang gemetar tak mampu menahan tubuh kurusnya. Enam bulan hidup di neraka ini telah menggerogoti fisiknya hingga tulang. Kulit pucat dan memar kehitaman menutupi sekujur tubuhnya.
"Jangan sentuh aku! Aku tidak membunuh mereka."
Eric tertawa keras. Tangannya yang kasar mencengkeram kerah baju penjara lusuh remaja yang baru berusia 17 tahun itu dan menyeretnya keluar dari sel.
"Cerita lama, Bocah. Siapa yang peduli meskipun itu benar?"
Eric menyeret Evan menyusuri lorong penjara yang remang-remang dan sunyi. Napi-napi lain yang masih terjaga di sel mereka hanya memandang datar.
Di ujung lorong, sosok-sosok besar menunggu dengan tatapan penuh kebencian. Boris si raksasa Blok E, Samson yang dikenal sebagai penyiksa paling sadis, dan beberapa napi lain yang wajahnya sudah ditekuk amarah.
"Akhirnya kelinci percobaan kita datang juga," Boris menggeram sambil mengepalkan tangannya yang sebesar palu godam.
Eric mendorong tubuh lemah Evan hingga jatuh terguling di hadapan para preman itu. "Kalian bisa bekerja dengan tenang. Aku sudah atur semua menara pengawas dialihkan ke sisi lain."
Samson meludah ke lantai, tepat di samping wajah Evan yang terkapar. "Sudah saatnya kita beri pelajaran pada bocah sombong ini."
Mereka menyeret Evan melalui pintu belakang menuju halaman berumput yang gelap. Angin malam berhembus dingin, membuat tubuh kurus Evan menggigil hebat. Lampu-lampu menara pengawas memang telah dialihkan ke sudut yang berlawanan.
"Tolong... aku tidak bersalah!"
Boris menendang perut Evan dengan sepatu boot tebalnya. Tubuh kurus itu melayang dan menghantam tanah keras.
"Bersalah atau tidak, kau sudah membuat seseorang merasa terancam. Dia menginginkanmu mati!"
Samson bergabung dengan tendangan brutal ke tulang rusuk Evan. Suara patah tulang terdengar di udara malam yang sunyi. Evan menjerit kesakitan, tubuhnya meringkuk seperti udang.
"Jangan bunuh dia terlalu cepat!" Eric berkata sambil menyalakan rokok. "Biarkan dia merasakan penderitaan yang panjang."
Yang lainnya bergantian menghujani tubuh lemah Evan dengan pukulan dan tendangan. Setiap serangan menghancurkan tulang dan otot yang sudah hampir tidak tersisa. Wajahnya bengkak hingga mata kanannya tertutup rapat. Darah mengalir deras dari hidung dan mulutnya.
"Rasakan ini!" Boris mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi dan menghentakkannya ke tangan kiri Evan. Suara patah tulang bergema mengerikan. Jari-jari Evan bengkok ke arah yang tidak wajar.
Evan menjerit histeris. Air matanya bercampur darah membasahi pipi yang memar. "Hentikan... kumohon..."
Tapi permohonannya malah membakar amarah para penyiksa itu. Samson mencengkeram rahang Evan dengan tangan kotornya dan memuntir paksa hingga terdengar suara dislokasi yang menyayat hati.
"Mulut cerewetmu ini yang membuat masalah!" Samson memukul rahang yang sudah lepas itu hingga darah segar menyembur kemana-mana.
Evan tak lagi bisa berteriak. Rahangnya yang hancur hanya bisa mengeluarkan suara aneh seperti binatang sekarat. Matanya menatap kosong ke langit malam yang gelap.
Eric mendekat dan menancapkan ujung jari ke mata kiri Evan. "Mata ini yang selalu menatap sombong pada kita."
Dengan sadis, Eric mencongkel mata kiri Evan hingga terlepas dari rongganya. Darah mengalir deras membasahi tanah di bawahnya. Tubuh Evan kejang-kejang menahan rasa sakit yang tak tergambarkan.
"Sekarang kaki dan tangannya," Boris memerintah dengan nada dingin.
Mereka menginjak-injak kaki kanan dan kiri Evan bergantian. Tulang kering dan tulang paha patah berkeping-keping. Tangan kanannya yang sudah remuk diinjak lagi hingga hancur lebur.
Setelah hampir satu jam penyiksaan, tubuh Evan tergeletak tak bergerak di tengah genangan darahnya sendiri. Napasnya tersengal-sengal sangat lemah. Tulang-tulangnya yang hancur membuat tubuhnya seperti boneka rusak yang dibuang.
"Sudah cukup!" Eric mengangkat tangannya. "Biarkan dia sekarat perlahan!"
Para penyiksa itu berjalan menjauh sambil tertawa puas, meninggalkan Evan sendirian dalam kegelapan. Tubuhnya tak mampu bergerak sama sekali. Setiap helaan napas terasa seperti pisau yang merobek paru-parunya.
Di ambang batas kematian, kesadaran Evan melayang antara hidup dan mati. Rasa sakit yang luar biasa membuat pikirannya kabur. Tapi di tengah penderitaan itu, amarah yang mendalam mulai menggelora di dadanya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki memasuki halaman. Empat sosok misterius mengenakan jumpsuit putih dan masker wajah muncul dari kegelapan. Mereka bergerak dengan sikap dingin dan profesional, seperti tim medis yang sudah terlatih.
Salah satu dari mereka berlutut di samping tubuh Evan dan memeriksa denyut nadinya di leher. Jari-jarinya yang dingin menekan dengan lembut, tapi wajahnya tetap datar tanpa ekspresi sedikitpun.
"Bagaimana kondisinya?" tanya sosok lain dengan suara teredam di balik masker.
"Hampir mati. Tapi masih ada sedikit denyut."
Sosok ketiga menoleh ke arah Eric yang masih berdiri di kejauhan mengawasi. Dengan suara keras ia berteriak, "Anak ini sudah mati!"
Evan mendengar pernyataan itu dengan jelas. Di dalam hati ingin berteriak bahwa ia masih hidup, bahwa jantungnya masih berdetak meski lemah. Tapi rahangnya yang hancur tak mampu mengeluarkan suara apapun.
Keempat sosok itu mulai bekerja. Mereka membentangkan kantong mayat kuning di samping tubuh Evan. Dengan hati-hati, mereka memindahkan tubuhnya yang remuk ke dalam kantong itu.
Saat resleting ditarik menutup, kegelapan total menyelimuti Evan. Di dalam kantong yang pengap itu, ia masih bisa merasakan setiap luka di tubuhnya. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuatnya yakin bahwa dia masih hidup.
Tubuhnya diangkat dan dibawa ke sebuah mobil van hitam yang sudah menunggu di luar penjara. Mesin dinyalakan dan kendaraan mulai melaju pelan meninggalkan Penjara Inferium.
Di dalam kantong mayat, kesadaran Evan datang dan pergi seperti gelombang. Tapi di sela-sela rasa sakit yang menyiksa, pikirannya melayang kembali ke peristiwa enam bulan lalu yang mengubah hidupnya selamanya.
Ia ingat betul pagi itu ketika terbangun dan menemukan sebilah belati berlumur darah tergenggam erat di tangannya. Dalam kebingungan dan ketakutan yang luar biasa, ia berlari mencari kedua orang tuanya.
Pemandangan yang ditemuinya di dapur akan selalu terukir dalam ingatan. Ayah dan ibunya tergeletak bersimbah darah di lantai keramik putih dapur. Mata mereka terbuka kosong menatap langit-langit.
Di dekat mayat ayahnya, tulisan dengan darah segar tercoreng di lantai: "EVAN".
Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, pintu rumah didobrak paksa. Polisi masuk dengan senjata teracung, langsung menangkap dan memborgol tangannya yang masih berlumuran darah.
"Evan Pendragon, kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap kedua orang tuamu," suara polisi itu masih terngiang di telinganya.
Tak ada seorangpun yang membelanya. Paman dan bibi yang seharusnya menjadi walinya malah menjauh dan mempercayai semua bukti yang memberatkan Evan. Adiknya, Ivan Pendragon sedang bersekolah di luar negeri dan tidak tahu apa-apa tentang tragedi tersebut.
Sistem peradilan berjalan cepat tanpa memberinya kesempatan membela diri. Bahkan tak ada pengacara yang mau menangani kasusnya. Vonis seumur hidup dijatuhkan dalam persidangan yang berlangsung hanya tiga hari.
Kemudian ia dikirim ke Penjara Inferium, tempat para penjahat paling berbahaya dunia dikurung. Di sanalah mimpi buruknya dimulai.
Black maju pertama kali. Tubuhnya berubah berwarna keabu-abuan metalik, seperti ada besi hidup yang melapisi kulitnya. "Rasakan ini, Bocah!"Tinju keras mengarah ke wajah Evan. Sang Pendragon Junior menghindar dengan memiringkan kepala, tapi serangan kedua sudah menyusul. Siku Black menghantam rusuk kiri Evan dengan bunyi benturan logam."Argh!" Evan terpental beberapa meter, merasakan tulang rusuknya teramat ngilu."Hahaha!" Black tertawa puas. "Asal kau tahu, Tinju besi Harimau Vandar bukan main-main!"Rock muncul dari bayangan di belakang Evan seperti hantu. Pisau panjang di tangannya berkilat mengarah ke punggung. Evan berputar cepat, menangkis dengan lengan kiri. Ia meringis saat lengannya tergores hingga siku."Kau terlalu lambat seperti nenek-nenek!" Rock menyeringai sadis.Green melompat dari atas meja direktur, kaki kanannya menendang kepala Evan dengan kekuatan penuh. Evan terjatuh ke lantai marmer, mata berkunang-kunang. Kalau manusia biasa, mungkin kepalanya sudah pecah."
Evan bergerak seperti bayangan maut menuju mansion utama. Penjaga-penjaga berjatuhan satu per satu tanpa sempat berteriak. Mata robotiknya merekam segalanya, Dr. Reema dan tim peneliti di VVIC menyaksikan dengan tegang.Alarm belum sempat berbunyi ketika Evan sudah mencapai lantai tiga. Dua orang berseragam hitam menghadangnya di koridor."Berhenti! Identitas apa...?"Evan bergerak sebelum mereka menyelesaikan kalimat. Tangan kanannya mencengkeram tenggorokan penjaga pertama, mengangkatnya hingga kaki tidak menyentuh lantai. Penjaga kedua mencoba mengeluarkan pistol, tapi Evan sudah menendang pergelangan tangannya hingga patah.KRAK!Leher penjaga pertama patah. Tubuhnya merosot lemas. Penjaga kedua yang tangannya patah mencoba berteriak, tapi Evan sudah membekap mulutnya dan memutar kepalanya dengan keras.Mereka tidak bertahan lama.Pintu ruang kerja Lorenzo berlapis besi menghadang di ujung koridor. Evan memasang bom plastik di engsel pintu. Ledakan kecil yang teredam membuat pintu
Di dalam dadanya, jantung naga mulai menggerogoti jantung manusianya seperti asam yang memakan logam. Setiap serabut otot jantung lama dicabik, diganti dengan serabut baru yang lebih kuat.Evan merasakan darahnya terbakar. Setiap tetes cairan dalam pembuluh darahnya digantikan dengan darah murni Naga Bumi Pendragon. Cairan emas bercampur merah mengalir deras, membersihkan setiap sel, setiap jaringan, dan setiap organ.Setiap detak jantung baru mengirimkan gelombang energi murni ke seluruh tubuhnya. Darahnya tidak lagi sekadar pembawa oksigen, kini menjadi konduktor energi yang memungkinkan kultivasi kekuatan pada level yang tak terbayangkan.Proses itu rasanya seperti berlangsung berjam-jam lamanya. Waktu kehilangan maknanya di tengah siksaan yang melampaui batas fisik dan mental.Ketika rasa sakit akhirnya mereda, Evan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya masih hancur, tapi ada energi baru yang mengalir, kuat, murni, tak terbatas."Sekarang kau adalah keturunan sejati Naga Bumi P
Sekarang terbungkus dalam kantong mayat, Evan mulai merasakan amarah yang lebih panas dari api neraka membakar jiwanya.*Aku tidak boleh mati. Tidak boleh!*Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Aliran hangat menjalar dari tulang belakangnya, menyebar ke seluruh tubuh yang remuk. Bukan kehangatan biasa, ini seperti lava yang mengalir dalam pembuluh darahnya, seperti petir yang menyambar dari dalam.Tulang-tulang yang patah berderak. Otot-otot yang robek berkedut. Ada energi yang terbangun di dalam dirinya, energi yang selama ini tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit.Di kegelapan kantong mayat, dalam rasa sakit yang tak terperi, Evan Pendragon bersumpah, *Suatu hari semua orang yang menghancurkan hidupku akan merasakan penderitaan yang sama, tunggu saja!*Van hitam melaju menembus kegelapan malam, mesin dieselnya menderu pelan menyusuri jalan berliku menuju pegunungan utara Zantris. Sorot lampu depan membelah kabut tipis yang menggantung di lereng terjal.Mobil itu akhirnya
Bunyi kunci berderit keras menggema di lorong Blok E Penjara Inferium. Evan Pendragon terbangun dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Matanya yang bengkak bekas pukulan napi senior tadi siang melirik ke arah pintu sel yang terbuka lebar. Sosok tegap Eric berdiri di ambang pintu dengan seringai mengerikan."Bangun, Pembunuh Kecil!" Eric menggeram sambil memasuki sel sempit itu. "Malam ini malam terakhirmu."Evan mencoba mundur ke sudut sel, tapi kakinya yang gemetar tak mampu menahan tubuh kurusnya. Enam bulan hidup di neraka ini telah menggerogoti fisiknya hingga tulang. Kulit pucat dan memar kehitaman menutupi sekujur tubuhnya."Jangan sentuh aku! Aku tidak membunuh mereka."Eric tertawa keras. Tangannya yang kasar mencengkeram kerah baju penjara lusuh remaja yang baru berusia 17 tahun itu dan menyeretnya keluar dari sel."Cerita lama, Bocah. Siapa yang peduli meskipun itu benar?"Eric menyeret Evan menyusuri lorong penjara yang remang-remang dan sunyi. Napi-napi lain yang masih ter







