Share

3. Elara Phoenix

Penulis: Evita Maria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-28 10:49:50

Di dalam dadanya, jantung naga mulai menggerogoti jantung manusianya seperti asam yang memakan logam. Setiap serabut otot jantung lama dicabik, diganti dengan serabut baru yang lebih kuat.

Evan merasakan darahnya terbakar. Setiap tetes cairan dalam pembuluh darahnya digantikan dengan darah murni Naga Bumi Pendragon. Cairan emas bercampur merah mengalir deras, membersihkan setiap sel, setiap jaringan, dan setiap organ.

Setiap detak jantung baru mengirimkan gelombang energi murni ke seluruh tubuhnya. Darahnya tidak lagi sekadar pembawa oksigen, kini menjadi konduktor energi yang memungkinkan kultivasi kekuatan pada level yang tak terbayangkan.

Proses itu rasanya seperti berlangsung berjam-jam lamanya. Waktu kehilangan maknanya di tengah siksaan yang melampaui batas fisik dan mental.

Ketika rasa sakit akhirnya mereda, Evan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya masih hancur, tapi ada energi baru yang mengalir, kuat, murni, tak terbatas.

"Sekarang kau adalah keturunan sejati Naga Bumi Pendragon," Ardhan tersenyum bangga. "Tapi ingatlah, Anakku. Kekuatan ini bukan hanya untuk balas dendam. Kau adalah penegak keadilan. Pembawa cahaya dalam kegelapan."

Evan menatap ayahnya dengan mata berapi-api. "Yang pertama akan kulakukan adalah membalas dendam kepada mereka yang menghancurkan keluarga kita."

"Dendam boleh menjadi api yang membakarmu untuk bangkit. Tapi jangan biarkan api itu mengonsumsimu! Kau memiliki tanggung jawab yang lebih besar."

Sosok Ardhan mulai memudar. "Bangkitlah, Anakku! Tunjukkan pada dunia arti sesungguhnya dari nama Pendragon!"

Evan terjaga dengan mata terbuka lebar. Dadanya berdenyut dengan kekuatan yang luar biasa. Meski tubuhnya masih remuk, dia bisa merasakan energi dahsyat mengalir dalam setiap pembuluh darahnya.

---

Satu tahun kemudian di kompleks pelatihan VVIC. 

Evan berdiri di hadapan cermin, menatap refleksi dirinya yang sudah tidak lagi sepenuhnya manusia. Tapi ia merasa lebih hidup dari sebelumnya.

Rahang baja menggantikan tulang rahang yang hancur. Mata robotik dengan iris merah menyala menggantikan bola mata yang hilang. Tangan dan kaki kiri diperkuat dengan rangka titanium yang dilapisi kulit sintetis.

"Subjek 101 menunjukkan adaptasi luar biasa," Dr. Reema berbicara dengan mata menatap monitor pada asisten-asistennya. "Biasanya tubuh menolak implan cybernetic dalam seminggu. Tapi dia... seolah tubuhnya dirancang untuk menerima semua teknologi ini."

Yang tidak mereka ketahui adalah Tulang Naga dalam tubuh Evan yang membuat semua modifikasi berfungsi sempurna. Setiap implan, setiap enhancement, diserap dan diintegrasikan dengan mudah oleh jantung naga yang memompa energi murni ke seluruh sistemnya.

Selama setahun, Evan menjalani latihan yang sangat berat. Lari marathon di medan pegunungan bersalju. Latihan tembak dengan sasaran bergerak dalam kegelapan total. Pertarungan tangan kosong melawan robot tempur.

Kekuatan fisiknya meningkat dua kali lipat setiap bulan. Refleksnya menjadi sepuluh kali lebih cepat dari manusia normal. Mata robotiknya bisa melihat dalam spektrum inframerah, menganalisis kelemahan lawan dalam sepersekian detik.

Yang membuat Dr. Reema takjub adalah tidak ada satupun subjek sebelumnya yang bertahan hidup melewati bulan ketiga. Sembilan puluh tujuh persen mati karena penolakan implan. Sisanya gila karena tidak kuat menahan rasa sakit transformasi.

Tapi Evan? Dia menjadi lebih kuat setiap hari, hingga tanpa terasa satu tahun telah berlalu.

Kini saatnya menghadapi misi pertama.

Helikopter tak berawak meluncurkan Evan dari ketinggian sepuluh ribu kaki. Parasut hitamnya mengembang dalam keheningan malam, tubuhnya melayang seperti malaikat maut menuju target.

Dalam pandangan mata robotiknya, mansion mewah Lorenzo terpetakan dengan detail sempurna. Tiga puluh lima penjaga bersenjata. Sistem keamanan laser. Menara pengintai di setiap sudut.

Godfather Lorenzo, seorang gembong narkoba yang telah membunuh dua belas polisi dan lima hakim. Sistem hukum tidak bisa menyentuhnya karena kekuasaan dan uangnya yang berlimpah.

Evan mendarat tanpa suara di hutan kecil di luar kompleks mansion. Mata robotiknya mulai memindai perimeter, mencari titik masuk terbaik. Benteng batu setinggi delapan meter mengelilingi kompleks.

Tiba-tiba, ada gerakan di sudut pandangannya yang menarik perhatian. Sosok ramping mengenakan jumpsuit hitam ketat bergerak di antara bayangan pohon raksasa. Sosok yang dipastikan seorang wanita.

Evan menyipitkan mata, fokus pada target baru ini. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari sabuknya, pistol pelontar kait dengan tali. Dengan gerakan terlatih, ia menembakkan kait ke puncak benteng.

Kait menancap sempurna. Wanita itu menggenggam pegangan, lalu meluncur naik dengan kecepatan yang membuat Evan terpana. Gerakan itu begitu luwes dan lincah. Dia berputar di udara ketika mencapai puncak benteng, melayang sejenak seperti penari, lalu mendarat dengan anggun tanpa suara.

Evan terkesan. Dia sendiri sudah merencanakan menggunakan pohon besar di sisi kiri benteng untuk melompat masuk. Tapi sekarang ada orang lain dengan misi yang mungkin sama, atau bertentangan, dengannya.

Tidak ada waktu untuk berpikir lama. Evan berlari menuju pohon mahoni raksasa, melompat dari cabang ke cabang dengan kelincahan di luar nalar. Dari cabang tertinggi, ia melompat, tubuhnya terbang hampir sepuluh meter sebelum mendarat di puncak benteng dengan suara gemerisik kecil.

Di halaman dalam, ia melihat wanita berambut pendek itu sudah berhadapan dengan tiga penjaga. Mereka belum menyadari kehadirannya karena fokus pada ancaman yang lebih jelas.

"Siapa kau?" salah satu penjaga mengacungkan senapan otomatis.

Wanita itu tersenyum dingin. "Malaikat maut!"

Ia bergerak seperti kilat. Satu tendangan memutar menghantam pergelangan tangan penjaga pertama hingga senapannya terpental. Sikunya menghantam ulu hati penjaga kedua. Pisau lipat di tangannya menusuk tepat di antara tulang rusuk penjaga ketiga tanpa ampun.

Tapi ada penjaga keempat yang datang dari belakang dengan senapan sudah teracung ke kepala wanita itu.

Evan bergerak tanpa berpikir. Ia melompat turun, kaki kanannya menendang tengkuk penjaga itu dengan kekuatan yang cukup untuk mematahkan tulang leher. Lawan jatuh dan tewas seketika.

Wanita itu membalikkan badan, mata hijau zamrudnya memandang Evan dengan terkejut.

Tapi alih-alih berterima kasih, ia malah mengeluarkan revolver magnum dan menodongkannya ke dada Evan.

"Siapa namamu?" suaranya dingin seperti es. "Dan kenapa kau menguntitku?"

Evan mengangkat kedua tangannya, tapi postur tubuhnya tetap siaga. "Evan. Dan aku tidak menguntitmu. Aku punya misi di sini, menghancurkan tirani Lorenzo."

"Evan...?" Wanita itu menaikkan alis. "Tidak ada marga?"

"Untuk sekarang, tidak."

Mata hijau itu memindai wajah Evan dengan teliti, seolah mencari sesuatu. "Kau bukan tentara biasa."

"Kau juga bukan."

Senyum tipis muncul di wajah wanita itu. Ia menurunkan senjatanya perlahan. "Menarik."

"Sekarang giliranku bertanya," Evan melangkah lebih dekat. "Siapa namamu?"

Wanita itu sudah bergerak menjauhinya dengan langkah yang anggun dan penuh percaya diri. "Namaku Elara Phoenix," suaranya terdengar dari kejauhan ketika sosoknya sudah hampir hilang di bayangan mansion.

Evan berdiri di sana sejenak, menatap tempat wanita misterius itu menghilang. Ada sesuatu tentang Elara Phoenix yang membuatnya penasaran.

Tapi misi harus dilanjutkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   5. Lima Harimau Gunung Vandar

    Black maju pertama kali. Tubuhnya berubah berwarna keabu-abuan metalik, seperti ada besi hidup yang melapisi kulitnya. "Rasakan ini, Bocah!"Tinju keras mengarah ke wajah Evan. Sang Pendragon Junior menghindar dengan memiringkan kepala, tapi serangan kedua sudah menyusul. Siku Black menghantam rusuk kiri Evan dengan bunyi benturan logam."Argh!" Evan terpental beberapa meter, merasakan tulang rusuknya teramat ngilu."Hahaha!" Black tertawa puas. "Asal kau tahu, Tinju besi Harimau Vandar bukan main-main!"Rock muncul dari bayangan di belakang Evan seperti hantu. Pisau panjang di tangannya berkilat mengarah ke punggung. Evan berputar cepat, menangkis dengan lengan kiri. Ia meringis saat lengannya tergores hingga siku."Kau terlalu lambat seperti nenek-nenek!" Rock menyeringai sadis.Green melompat dari atas meja direktur, kaki kanannya menendang kepala Evan dengan kekuatan penuh. Evan terjatuh ke lantai marmer, mata berkunang-kunang. Kalau manusia biasa, mungkin kepalanya sudah pecah."

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   4. Musuh Pertama: Godfather Lorenzo

    Evan bergerak seperti bayangan maut menuju mansion utama. Penjaga-penjaga berjatuhan satu per satu tanpa sempat berteriak. Mata robotiknya merekam segalanya, Dr. Reema dan tim peneliti di VVIC menyaksikan dengan tegang.Alarm belum sempat berbunyi ketika Evan sudah mencapai lantai tiga. Dua orang berseragam hitam menghadangnya di koridor."Berhenti! Identitas apa...?"Evan bergerak sebelum mereka menyelesaikan kalimat. Tangan kanannya mencengkeram tenggorokan penjaga pertama, mengangkatnya hingga kaki tidak menyentuh lantai. Penjaga kedua mencoba mengeluarkan pistol, tapi Evan sudah menendang pergelangan tangannya hingga patah.KRAK!Leher penjaga pertama patah. Tubuhnya merosot lemas. Penjaga kedua yang tangannya patah mencoba berteriak, tapi Evan sudah membekap mulutnya dan memutar kepalanya dengan keras.Mereka tidak bertahan lama.Pintu ruang kerja Lorenzo berlapis besi menghadang di ujung koridor. Evan memasang bom plastik di engsel pintu. Ledakan kecil yang teredam membuat pintu

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   3. Elara Phoenix

    Di dalam dadanya, jantung naga mulai menggerogoti jantung manusianya seperti asam yang memakan logam. Setiap serabut otot jantung lama dicabik, diganti dengan serabut baru yang lebih kuat.Evan merasakan darahnya terbakar. Setiap tetes cairan dalam pembuluh darahnya digantikan dengan darah murni Naga Bumi Pendragon. Cairan emas bercampur merah mengalir deras, membersihkan setiap sel, setiap jaringan, dan setiap organ.Setiap detak jantung baru mengirimkan gelombang energi murni ke seluruh tubuhnya. Darahnya tidak lagi sekadar pembawa oksigen, kini menjadi konduktor energi yang memungkinkan kultivasi kekuatan pada level yang tak terbayangkan.Proses itu rasanya seperti berlangsung berjam-jam lamanya. Waktu kehilangan maknanya di tengah siksaan yang melampaui batas fisik dan mental.Ketika rasa sakit akhirnya mereda, Evan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya masih hancur, tapi ada energi baru yang mengalir, kuat, murni, tak terbatas."Sekarang kau adalah keturunan sejati Naga Bumi P

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   2. Keturunan Naga Bumi Pendragon

    Sekarang terbungkus dalam kantong mayat, Evan mulai merasakan amarah yang lebih panas dari api neraka membakar jiwanya.*Aku tidak boleh mati. Tidak boleh!*Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Aliran hangat menjalar dari tulang belakangnya, menyebar ke seluruh tubuh yang remuk. Bukan kehangatan biasa, ini seperti lava yang mengalir dalam pembuluh darahnya, seperti petir yang menyambar dari dalam.Tulang-tulang yang patah berderak. Otot-otot yang robek berkedut. Ada energi yang terbangun di dalam dirinya, energi yang selama ini tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit.Di kegelapan kantong mayat, dalam rasa sakit yang tak terperi, Evan Pendragon bersumpah, *Suatu hari semua orang yang menghancurkan hidupku akan merasakan penderitaan yang sama, tunggu saja!*Van hitam melaju menembus kegelapan malam, mesin dieselnya menderu pelan menyusuri jalan berliku menuju pegunungan utara Zantris. Sorot lampu depan membelah kabut tipis yang menggantung di lereng terjal.Mobil itu akhirnya

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   1. Antara Hidup dan Mati

    Bunyi kunci berderit keras menggema di lorong Blok E Penjara Inferium. Evan Pendragon terbangun dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Matanya yang bengkak bekas pukulan napi senior tadi siang melirik ke arah pintu sel yang terbuka lebar. Sosok tegap Eric berdiri di ambang pintu dengan seringai mengerikan."Bangun, Pembunuh Kecil!" Eric menggeram sambil memasuki sel sempit itu. "Malam ini malam terakhirmu."Evan mencoba mundur ke sudut sel, tapi kakinya yang gemetar tak mampu menahan tubuh kurusnya. Enam bulan hidup di neraka ini telah menggerogoti fisiknya hingga tulang. Kulit pucat dan memar kehitaman menutupi sekujur tubuhnya."Jangan sentuh aku! Aku tidak membunuh mereka."Eric tertawa keras. Tangannya yang kasar mencengkeram kerah baju penjara lusuh remaja yang baru berusia 17 tahun itu dan menyeretnya keluar dari sel."Cerita lama, Bocah. Siapa yang peduli meskipun itu benar?"Eric menyeret Evan menyusuri lorong penjara yang remang-remang dan sunyi. Napi-napi lain yang masih ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status