Aldan masuk ke dalam ruangan divisi keuangan, di sana teman-temannya menatap Aldan dengan tatapan penuh kesal dan ada juga penuh kebencian.“Kamu gila, ya. Pak Lukman sekretaris CEO loh, kenapa kamu buat masalah dengan beliau?”“Apa-apaan kamu? Kamu kok fitnah pak Lukman?” “Maumu apa sih?”Mereka langsung memberondong sejumlah pertanyaan pada Aldan. Pria tampan itu hanya tersenyum, tetapi di detik berikutnya dia menghela napas kecewa sembari merapikan poni rambutnya.“Aku gak fitnah, pak Lukman sendiri yang ngaku sudah mengirim preman buat menghajarku kemarin,” jelas Aldan berpura-pura memasang wajah serius, tetapi hanya Rangga yang terlihat mempercayainya.“Heleh bilang aja mau ngejatuhin pak Lukman.”“Lihat aja kedepannya, gak lama lagi kamu akan dipecat. Masih baru udah berani fitnah-fitnah atasan.”“Jangan-jangan kamu punya niat buruk ngefitnah pak Lukman biar kamu jadi sekretaris Ceo? Jangan mimpi bro. Kalo mau naik jabatan, bersaing pakek prestasi. Bukan pakek cara kotor.”Mer
“Apa maksudmu, sob?” tanya Hendrawan heran, sembari menggerakkan kakinya kembali ke arah ranjang pasien. Verra mengikuti dari belakang, sedangkan Aldan menilih diam di tempat untuk menyaksikan tontonan ini. “Gak usah bersandiwara, Wan. Aku denger semuanya!” murka Wahyu dengan tatapan mata berkilat iblis. “dia menelponmu saat aku hampir tak sadarkan diri. Beruntung aku masih denger. Gak kusangka ternyata kamu mau membunuhku.” Hendrawan berhenti di tepi ranjang, “Apa yang kamu katakan, Yu. Mana mungkin aku mau membunuh temanku sendiri. Tenangkan dirimu, kamu pasti trauma sehingga kamu berhalusinasi.” Hendrawan berusaha menenangkan Wahyu. Dia yakin kondisi psikis temannya terganggu setelah mengalami kejadian tadi petang yang hampir merenggut nyawanya. Namun, Wahyu sudah masuk dalam jebakan Aldan. Emosinya semakin membuncah, tatapannya menyala-nyala. “Hentikan omong kosngmu. Kamu memang pandai bersilat lidah, sandiwaramu tingkat dewa. Kamu pikir aku gak tau siapa dirimu, hah!? Kamu
Verra memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah kontrakan.“Makasih ya,” ucap Aldan menerbitkan segurat senyuman.“You are welcome,” balas Verra sembari mengangguk yang diiringi senyuman manis di bibir.Aldan membuka pintu mobil dan melambaikan tangan pada Verra, “Daah.”“Dahhh.” Verra melajukan mobilnya.Sementara dua orang yang berada di sekitar sana mulai bergerak menghampiri Aldan.“Selamat sore,” sapa Bahri.“Sore. Ada apa lagi? Apa tua bangka itu menyuruh kalian?” tanya Aldan santai.“Benar, kawan. Kami datang mau mengingatkan lo. Pak Wahyu bukan cuma menyuruh kami buat menghajar lo. Ada 5 preman lagi yang dibayar. Tapi masalahnya kami gak mengenal mereka ... Jadi maksud kedatangan kami kesini ingin lo sementara waktu tinggal di tempat lain yang lebih aman,” ungkap Dani terus terang.“Kami ingin membalas budi atas kebaikanmu kemarin. Jadi kami memberitahu lo duluan kalau nanti jam 11 malam ke atas, mereka akan ke sini buat menghajar lo,” tambah Bahri serius.Aldan tersenyum,
Aldan bersantai di sofa ruang tengah sembari menonton televisi. Wajahnya begitu semringah melihat berita yang menggemparkan publik atas pengakuan mengejutkan dari Wahyu Kosim.Wahyu kosim mengatakan bahwa orang yang hampir membunuhnya adalah orang terdekatnya, tetapi dia tidak menyebutkan nama Hendrawan.“Cerdik sekali. Jika Wahyu menyebut nama Hendrawan, dia justru bakalan mendekam di penjara karena dia tidak memiliki bukti. Hemmm tapi semisal ada bukti yang mengarah pada Hendrawan, kurasa Wahyu akan tetap waspada karena Hendrawan bisa dengan mudah membalikkan fakta. Hendrawan menggunakan seragam polisinya untuk berkuasa seenak Jidatnya,” gerutu Aldan dengan raut wajah dari senyuman miring berubah menjadi tatapan geram ke arah layar televisi yang memperilhatkan wajah Wahyu dan Hendrawan secara bergantian.Di titik ini ponsel Aldan berbunyi. Tangan kirinya mengambil benda itu di sebelahnya, sementara tangan kanannya menekan tombol off remote televisi.“Ya, Faiz?” tanya Aldan setelah m
“Kenapa berhenti disini? Kamu gak macem-macem ‘kan?” tanya Adelia curiga saat Aldan berhenti di kawasan hotel.“Ayolah, Lia. Jangan negatif thinking mullu.”Adelia mengerutkan kening, “Ya gimana gak negatif thinking. Ini hotel, bukan kafe.”Aldan terkekeh pelan, “Yang bilang kafe siapa? Aku membawamu kesini karena Iqbal ada di sini bersama dengan wanita kupu-kupa malam?”“What pelacur maksudnya?” pekik Adelia dengan mata melebar. “apa hubunganya? Kamu gak aneh-aneh ‘kan?”Aldan lagi-lagi terkekeh pelan. Lalu dia menjitak pelan dahi Adelia, “Pintar-pintar kok oon. ‘kan sudah kubilang, aku sedang menjebak Iqbal. Udah ah jangan banyak nanya, ayo ke atas.”Aldan membawa Adelia ke kamar hotel, di sana sudah ada Faizal yang menunggu.“Selamat malam, b-bro.” Hampir saja Faizal memanggil bos sebelum akhirnya Aldan memperingatkannya melalui gerakan mata.“Gimana, bro?” tanya Aldan, dan Faizal pun menunjuk ke arah laptop yang ada di atas nakas.“What?” Adelia membuka mulut dan membulatkan matan
“Aku gak mau pacarku terkena masalah. Mungkin kamu bisa membebaskan Clara, tapi nyawamu bakalan terancam. Mereka pasti mengirim penjahat untuk membunuhmu,” ucap Aldan serius dengan tetap menerbitkan senyuman. Dia tidak mau gadis yang baru saja menjadi pacarnya mendapat teror dari pihak Iqbal setelah menyerahkan rakaman itu.“Gak masalah. Selama aku benar, aku gak takut. Aku sudah terbiasa mendapatkan teror, tapi aku tetap baik-baik saja karena Tuhan bersamaku,” ungkap Adelia. Tidak ada rasa takut sedikit pun yang tergambar di wajahnya, membuat Aldan semakin kagum.Namun, Aldan tidak akan membiarkan nama Adelia terpampang di media. Dia ingin menggunakan cara lain agar rekamannya tetap sampai di tangan media. Dia mempunyai firasat bahwa pihak Iqbal bukan orang sembarangan, buktinya mereka mampu membalikkan fakta kasus ini sebelumnya.“Aku salut dengan keberaniamu membela kebenaran meski nyawa taruhannya. Tapi sebagai pacar yang baik, izinkan aku membantumu lagi. Aku janji akan membebask
Adelia mematikan televisi dengan wajah masih kegirangan, tetapi ekspresinya berubah ketika dia menatap ke arah Aldan. Dia tersenyum manis, ada perasaan yang aneh di dalam dirinya. Dia semakin penasaran pada sosok pria tampan yang kini tengah menatapnya dengan tatapan menggoda. “Emmmm mau kencan sekarang?” tanya Adelia diiringi senyuman merekah ruah. Entah kenapa kali ini nada suaranya sangat lembut, dia sendiri pun bingung.Mungkinkah aku benar-benar mencintainya? Tanya Adelia dalam hati, bersamaan dengan jantungnya yang semakin berdetak kencang melihat tatapan pria tampan itu yang seolah-olah menghipnotisnya.Sementara Aldan masih menatap lekat-lekat kekasihnya. Lalu di detik berikutnya senyuman konyol kembali menghiasi wajahnya, “Ah aku ingin sekali berkencan denganmu. Tapi sepertinya kencan kita tertunda. Masih banyak pekerjaan yang kita lakukan untuk menyelesaikan kasus Clara.”Entah kenapa Adelia kecewa mendengar jawaban itu. Benar-benar aneh, ‘Kenapa jadi aku yg ngebet sekali b
Di kediamannya, Adelia sudah diserbu oleh beberapa wartawan dari berbagai Media. Sementara Aldan memperhatikannya di ambang pintu rumah kontrakan.“Ternyata wartawan Kota Jakarta sangat cepat. Mungkin karena kasus ini bakalan meenghasilkan banyak cuan.” Aldan tertawa kecil memperhatikan beberapa wartawan saling memberondong pertanyaan-pertanyaan pada Adelia.Salah satu wartawan bertanya, “Apa tanggapan Ibu Adelia mengenai rekaman yang tersebar di stasiun televisi? Apa Ibu ada kaitannya dengan rekaman ini?”Wartawan lainnya meyambung, “Kira-kira siapa yang merestas siaran televisi?”Adelia santai dan tersenyum ramah. Dia paham betul kemana arah tujuan pertanyaan para wartawan. Mereka penasaran apakah dirinya adalah orang yang merencanakan semua ini untuk membuktikan kejahatan Iqbal beserta oknum-oknum yang mempermainkan hukum.“Terima kasih teman wartawan mau datang ke rumahku.” Akhirnya Adelia bersuara. “Pertama-tama saya tidak tahu sama sekali mengenai rekaman itu, tapi yang jelas ki