Starla terbangun dengan rasa pusing yang begitu menderanya, semalam dia tidak bisa tertidur dengan nyenyak, kilasan-kilasan yang terjadi padanya begitu mengganggu. Rentetan-rentetan masalah silih berganti menghampirinya, membuatnya benar-benar diuji.
Alhasil, Starla hanya bisa tertidur sekitar dua jam dan dengan terpaksa terbangun untuk segera bersiap ke kantor. Meskipun Xander sudah memintanya untuk tidak perlu datang ke kantor, dan mengambil cuti untuk beristirahat. Tetapi, tetap saja Starla merasa tak enak hati, dia harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Sudah cukup dia mendengar desas-desus kalau dia itu memiliki affair dengan Xander sehingga di anak emaskan. Selama ini memang Starla diam saja, toh dia tidak terlalu mempermasalahkan selama perkataan mereka itu tidak benar. Dan ya, Starla tidak punya waktu untuk menjalin hubungan dengan seorang pria, terlebih lagi dengan Xander, yang punya kehidupan yang begitu sempurna. Bukannya terlalu percaya diri, tetapi Starla sangat tahu kalau selama beberapa bulan ini Xander melakukan pendekatan padanya. Tetapi, sekali lagi Starla sadar diri, dia tidak ada apa-apanya dibanding Xander. Pria baik hati itu bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darinya. Sedangkan jika bersamanya yang hidupnya begitu hancur, dan tidak terarah tidak bisa disandingkan dengan kehidupan sempurna milik Xander. Starla sama sekali tidak pantas dengan pria sesempurna Xander. "Lagi mikiran apa, Star?" Ariana menarik kursinya untuk mendekat ke arah meja kubikel Starla. Starla yang sejak tadi melamun segera menoleh. "Ya, ada apa, Ariana?" Wanita itu tidak menanggapinya. Tangan Ariana kemudian terulur menyentuh kening Starla. "Kau sakit, ya, Star? Wajahmu pucat banget." Starla segera menyentuh keningnya, dan memang benar, di sana serasa hangat. "Aku tidak apa-apa, Ariana. Cuman sedikit pusing, dibawa kerja juga sakitnya pasti akan teralihkan." Ariana menggeleng, sama sekali tidak setuju dengan perkataan Starla. "Tidak bisa seperti itu, Star, yang ada kau akan semakin sakit kalau tidak dibarengi dengan istirahat." Ariana kemudian menatap Starla dengan tatapan hangat. "Lebih baik kau izin hari ini dan pulang istirahat, ya. Nanti aku izinin sama Ibu Cindy untuk menyampaikan izinmu pada Pak Xander." Kali ini, Starla yang menggeleng tidak setuju. "Tidak perlu, Ariana. Aku masih bisa menahannya dan aku tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa," jawab Starla dengan nada lemah. Ariana meringis. "Maaf, Star. Kau pasti sakit karena gara-gara semalam. Harusnya aku tidak nekat dan memintamu mendatangi tempat itu. Sekali lagi maaf, Star!" Starla menatap Ariana dengan lekat dan mendapati tatapan menyesal yang ditampakkan wanita itu. Sejujurnya ada sedikit perasaan marah yang menyelimuti Starla, tetapi ini bukan kesalahan Ariana sepenuhnya. Tetapi kesalahan pria brengsek itu. Ya, semua ini karena pria iblis itu. "Sumpah, Ariana, ini sama sekali bukan salahmu." Starla kemudian tersenyum lembut. "Aku hanya kurang istirahat, dan akhir-akhir ini memang cuaca kurang mendukung, hal itu yang mungkin mempengaruhi kesehatanku." Ariana masih menatap Starla dengan tatapan menyesal. "Serius?" Starla mengangguk. "Aku serius, Ariana," ucapnya lalu mendorong kursi Ariana dengan pelan. "Sudah sana, lanjut kerja. Nanti pekerjaanku tidak selesai-selesai karena kebanyakan ngobrol." Wanita itu kelihatan masih tidak puas dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Starla. "Kau tidak marah lagi, 'kan?" Mata Starla menajam. "Aku marah benaran, mau?" Ariana segera menggeleng. "Tidak! Jangan marah-marah, cantik." "Ya sudah, jangan banyak bicara kalau tidak mau aku marah." Ariana terkekeh. "Siap, ibu bos!" Keduanya kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Keadaan Starla berangsur-angsur pulih kembali, sepertinya memang benar rasa sakit akan terlupakan dengan kesibukan bekerja. Sewaktu-waktu cara ini bisa dilakukan kembali, jika Starla merasakan sakit dan sebagai bentuk protes terhadap takdir hidupnya. Sore hari, Starla kembali bertandang ke makam Gabriella dan Arlan. Di sana dia bisa curhat dan berkeluh-kesah dalam keheningan. Tanpa ada yang menyela terlebih lagi menatapnya dengan tatapan kasihan. Starla paling benci dengan tatapan itu. Karena itu benar-benar memuakkan. **** Hari sudah gelap ketika Starla memutuskan untuk pulang selepas ia kembali menghampiri kedai bunga milik Mya setelah dari makam sore tadi. Mengunjungi makam Arlan dan Gabriella memang sudah menjadi kegiatan sehari-harinya sejak sebulan lalu Arlan juga meninggalkannya untuk selama-lamanya. Setibanya di apartemen kecilnya, Starla langsung mengempaskan punggungnya ke sofa. Membiarkan tubuhnya berbaring sebentar, tanpa mengganti pakaian yang sejak tadi ia kenakan. Tubuhnya benar-benar lelah hari ini. Dengan perlahan, gadis itu memejamkan matanya. Namun, tidak cukup sepuluh menit, desahan lolos itu kembali terdengar ketika dentingan bel berupaya mengusiknya. Dengan langkah gontai, ia akhirnya berderap menuju pintu walau seluruh tubuhnya yang lelah sempat menjerit protes ketika gadis itu mencoba bangkit untuk berdiri. Starla mengernyit bingung saat melihat dua orang lelaki berpakaian hitam tengah berdiri di depan pintu yang baru saja dibuka olehnya. "Ada apa?" Pertanyaan polos itu terlontar begitu saja dari bibirnya. ia baru ingin membuka mulut untuk kembali bertanya, namun tiba-tiba saja tubuhnya sedikit terhempas ke belakang akibat pintu di depannya yang dibuka setengah itu, terdorong kuat dari luar. "Hallo, Sweety. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya seorang pria yang baru saja berdiri di ambang pintu. "S—Skylar? Ada apa?" tanya Starla sekali lagi. Perasaannya semakin tidak enak ketika Starla melihat tatapan tajam milik pria itu. Dia pikir mereka tidak akan bertemu lagi setelah pertemuan terakhir mereka yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja saat di klub malam kemarin. Tetapi, kenapa pria itu kembali mendatanginya dan terlihat membawa kemarahan yang begitu besar. "Aku merindukanmu. Setelah kemarin malam, aku benar-benar tidak bisa melupakanmu. Kau membuatku ketagihan atas dirimu," katanya sembari menampilkan senyuman licik yang membuat nyali Starla semakin menciut. Sialan pria ini! Dia merasa begitu dilecehkan dengan kalimat yang dilontarkannya. Tetapi meskipun kemarahan besar menumpuk di dalam dadanya, sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya. Dia tidak ingin menyulut kemarahan pria itu, dan Starla sama sekali tidak ingin berurusan dengan pria itu—lagi. "Maaf. Aku sedang beristirahat." Dengan cepat tangan Starla terulur menutup pintu. Namun, usahanya gagal. "Tidak bisa! Kau harus ikut denganku." Gerakan Skylar rupanya kalah cepat darinya. Tangan kekar pria itu menahan pintu yang nyaris saja tertutup, lalu mendorongnya kuat sehingga membuat tubuh Starla terpelanting jauh ke belakang. "A—apa yang kau lakukan?" Gadis itu beringsut mundur ketika Skylar melangkah cepat ke arahnya, dengan tatapan penuh emosi yang benar-benar mengerikan. "Kau akan ke mana, sialan?" Perempuan itu memberontak saat merasa pinggangnya ditarik kasar ketika ia baru saja berbalik untuk menghindar. Kepalan kecilnya memukul tangan Skylar yang melingkar sempurna di perutnya. Pria itu dengan gerakan yang cukup kasar mencengkeramnya dan membuat Starla mengaduh kesakitan. "Jangan! Menjauh dariku, jangan sentuh aku!" "Terlambat! Saat ini kebebasanmu telah usai, saatnya kau menerima hukuman atas segala perbuatan jahat Arlan padaku dan Gaby." Dan setelah itu, entah apa yang dilakukan Skylar hingga membuat perempuan itu tidak sadarkan diri dan terjatuh tepat di lengannya. "Biarkan aku yang membawanya," tegasnya pada dua orang yang berpakaian hitam ketika keduanya mendekat hendak mengangkat tubuh Starla yang sudah terkulai lemas tak sadarkan diri.Perasaan tidak nyaman menghantui Skylar seharian ini, pikirannya terus berkelana ke kejadian tadi pagi. Skylar tahu betul bahwa kalimat yang dilontarkan pagi tadi memang sudah sangat keterlaluan. Jujur saja, pria itu merutuki dirinya sendiri saat ini. Tetapi demi Tuhan, perempuan itu selalu berhasil memancing emosinya. Hanya karena sifat keras kepala yang dimiliki wanita itu, sudah membuat Skylar terlihat layaknya sosok pembunuh berdarah dingin. Tetapi bukankah itu benar?Suara ketukan pintu seketika membuyarkan lamunannya dan melihat Andreas memasuki ruangannya."Sebentar lagi pertemuan akan dimulai, Sir," ujar Andreas kemudian.Sial! Skylar bahkan hampir lupa bahwa hari ini memang ada jadwal pertemuan.Pria itu mengangguk. "Ya, aku akan menyusulmu."Skylar membuang napas berat. Matanya kembali terpejam. Membiarkan sosok Starla kembali menghantui benaknya. Wajah kesakitan itu, suara jeritan dan tangisannya, lalu air mata yang menetes dari mata teduhnya, sungguh mengganggu pikiran Sky
"Maaf …."Kernyitan samar di dahi Starla kini terlihat jelas ketika mendengar ucapan seseorang yang tengah duduk di sisi kirinya itu."Untuk apa?" tanyanya tanpa menoleh. Tatapannya terus tertuju ke obyek di depannya yang baginya cukup menarik."Karena kau juga jadi korban mereka, dan itu semua karena aku."Mendengar jawaban itu, Starla seketika menoleh dan malah terkekeh. "Itu tidak masalah. Aku—""Kau bisa menjauhiku," ucap gadis itu cepat sembari tertunduk lesu.Dan kalimat itu berhasil membuat pandangannya teralihkan. Ia menatap lekat gadis itu. Bibirnya mulai bergerak ingin menantang, namun sedetik kemudian, gadis itu kembali mengulum senyuman geli ketika melihat wajah berantakan Gabriella."Kenapa?" tanya Gabriella heran setelah melihat Starla malah tergelak."Wajahmu benar-benar jelek dengan luka seperti itu," jawab Starla dan malah dihadiahi sentilan ringan oleh Gabriella di dahinya. Namun itu tidak menghentikan tawanya yang sekarang berubah terbahak-bahak."Kau juga sama. Tid
Skylar membuka pintu kamarnya. Suara gemericik air langsung terdengar dari arah kamar mandi menandakan keberadaan Starla. Segera ia berjalan menuju kamar mandi menyusul Starla yang tidak mengunci pintu kamar mandi tersebut.Starla yang menyadari kedatangan Skylar tentu saja kaget, namun itu tidak bertahan lama, ia memilih mengacuhkan kedatangan pria itu yang datang menyusulnya. Ia sempat mengira kalau pria itu akan menemani Ariana di bawah, melihat kekhawatiran pria itu terhadap Ariana begitu besar, sangat mustahil kalau ia tidak menemaninya di bawah sana."Apa sebenarnya yang terjadi, Starla?"Skylar sebenarnya masih berada di kantor, tetapi mendapat telepon dari Jeane bahwa Ariana datang menemuinya dan sekarang sedang bersama Starla. Ia sangat tahu kalau Ariana pasti sengaja datang untuk bertemu Starla, bertemu dengannya hanyalah salah satu alasan. Ariana sudah lama terobsesi dengannya, dan menjadi kekasihnya one night standnya. Hanya saja sebatas itu, dan Skylar selama ini sudah be
"Maaf ... ada orang yang mencari Tuan Skylar, Nyonya Starla.""Siapa?" tanya balik Starla pada Jeane."Seorang wanita, Nyonya."Starla mengangkat alis, lalu bergumam, "Katakan kepada wanita itu kalau Skylar belum pulang. Kalau ada keperluan mendesak suruh temui langsung di kantornya atau tunggu saja sampai Skylar pulang." Starla berjalan ke arah kamarnya, meninggalkan Jeane yang masih menyusul di belakangnya. "Lagian sepertinya Skylar tidak akan lama lagi pulang dari kantornya," lanjut Starla kembali saat menyadari Jeane masih mengikuti langkahnya."Tetapi dia berpesan agar Anda menemaninya untuk menunggu Tuan Skylar," kata Jeane kembali dengan nada takut-takut dan berusaha menghentikan Starla memasuki kamarnya.Starla tampak berpikir, dia enggan menemui siapa pun wanita itu. Namun, tetap saja langkah kakinya menuntunnya menuruni anak tangga demi menemui wanita yang katanya ingin ditemani menunggu Skylar. Benar-benar merepotkan.Langkahnya kemudian menuntunnya ke arah kolam renang yan
"Maaf, Skylar! Aku tidak sempat menghadiri pernikahanmu."Hari ini, Xander datang menghampiri kantor Skylar untuk mengunjungi sekaligus memberi selamat dan permintaan maaf kepada sahabatnya itu. Dia memang tidak sempat hadir ke pesta pernikahan Skylar dikarenakan ia keluar negeri untuk bisnis, alhasil dia tidak bisa menghadiri pernikahan sahabatnya tersebut.Skylar menggeleng. "Tidak apa-apa, Xander.""Apakah kau benar-benar melancarkan niatan kau untuk menyakitinya?"Meskipun tidak disebutkan dengan baik nama tersebut, tetapi Skylar tahu siapa yang dimaksud oleh Xander. Skylar memang masih tidak mengerti dengan sahabatnya itu, Xander memang menentang niatannya untuk menyakiti adik dari pria yang sudah membunuh adiknya. Pria itu begitu tidak setuju sejak dulu, entah apa maunya pria itu."Tentu saja! Ini bahkan baru permulaan, akan aku buat wanita itu berpikir bahwa kematianlah yang pantas untuknya. Dan aku juga akan membuat semasa hidupnya hanya akan terasa seperti di neraka."Xander
Napasnya tertahan ketika Starla memutar handle pintu, mendorong pintu kamar itu terayun membuka dan mendapati Skylar yang tengah menatapnya balik dengan tatapan nyalang.Saat ini Skylar duduk di atas ranjang dengan minuman keras di tangannya. Tampak kacau. Terlihat jelas kalau pria itu sudah dalam pengaruh minuman keras tersebut. Sial! Apa pria itu berniat untuk mabuk di hari pernikahan mereka?Starla mendekat dengan takut-takut. "Apa ini kelakuan orang yang katanya sangat dielu-elukan? Mabuk-mabukan bahkan di saat pesta pernikahannya belum berakhir?"Skylar mendongak. "Apa pedulimu, bitch?" desis Skylar, lalu kembali menenggak minuman keras tersebut langsung dari botolnya."Aku hanya kasihan kepada kamu, Skylar. Apakah kau sebegitu tidak inginnya menutupi sifat menjijikkan itu di depan banyak orang? Sampai kau harus mabuk-mabukan dan meninggalkan pesta pernikahanmu? Paling tidak, tunjukkanlah dirimu seperti yang diketahui orang selama ini, menjadi pria terpandang yang dielu-elukan or