Jika Skylar pernah berkata, tak ada satu pun hal lain yang diinginkannya selain kesengsaraan dan kematian seorang Starla, maka hari ini, tepat setelah dia menyaksikan sendiri jemari pucat itu bergerak bersamaan dengan sepasang kelopak mata yang perlahan terbuka, Skylar menyadari bahwa dia tak pernah bersungguh-sungguh menginginkan hal itu terjadi. Pria itu menginginkan kehidupan Starla. Ia ingin wanita itu menemaninya untuk hidup bersama.Tak heran jika selama dua minggu terakhir. Sederet doa tak pernah luput dari ucapannya setiap kali dia mengajak wanita itu untuk berkomunikasi, meskipun rasa putus asa itu berkali-kali mengguncang keteguhannya untuk tetap menunggu ketika dokter sering kali berkata bahwa kecil kemungkinan untuk wanita itu kembali hidup.Ya, dia tentu menyadari kenyataan tersebut jauh dari hari-hari sebelumnya. Starla kehilangan banyak darah akibat dua buah peluru yang mengikis organ penting dalam tubuhnya. Wajar jika Skylar selalu menunggu dalam perasaan luar biasa kh
Hampir semua orang yang mengenal Skylar tahu dan pernah berkata bahwa pria itu termasuk tipikal pria yang memiliki semangat kerja yang kuat. Skylar pekerja keras yang hanya mementingkan kesibukannya sebagai atasan di sebuah perusahaan. Dan hal itu tentu sudah berada jauh di luar kepala Xander. Ya, sebagai seorang sahabat, yang bahkan pernah menganggapnya layaknya saudara, Xander tentu tahu, Skylar bukanlah atasan gegabah yang menyia-nyiakan pertemuan penting—bahkan ini sangat penting yang membuatnya turut serta hadir, jika tidak terjadi sesuatu yang mampu memaksa pria itu beralih dari urusan bisnisnya.Sejak awal pertemuan berlangsung, Xander membiarkan pikirannya menerka-nerka apa yang telah terjadi, berusaha menemukan jawaban apa pun agar dapat menenangkan hatinya yang sejak tadi menjeritkan nama Starla tanpa henti. Namun, jawaban yang ia dapatkan justru membuat keresahan yang dirasakannya kian menyulut. Dan segala pikiran buruk yang sempat mengisi kepalanya kini benar-benar terjadi
"Biarkan aku bersamanya."Tepat setelah titah itu mengalir, sang wanita itu akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan Skylar yang bergelung bersama eratnya cekaman situasi yang kini membelenggu paru-parunya, nyaris membuatnya tak mampu menghela udara dengan baik.Tatapan pria itu terus tertuju pada sosok wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang pasien. Rentetan suara alat medis yang dicernanya berhasil membuatnya berubah kaku di tengah-tengah dinginnya ruangan. Namun, Skylar berusaha bersikap tenang meskipun ia sendiri tak kuasa menampik segala jeritan protes akan ketakutan serta kekhawatiran di dalam hatinya. Pria itu lantas mendekat dan melakukan hal yang sama di setiap kali ia datang, menyingkirkan bunga buket yang telah layu dari atas nakas, lalu menggantinya dengan yang baru sebelum memilih duduk di kursi yang tersedia di sisi ranjang pasien."Sudah lama menunggu?" tanya Skylar dengan nada suara yang lirih, sembari berusaha menguatkan diri ketika iris matanya melirik bedside
Embusan napas berat itu terdengar, menyatu bersama pekatnya udara setelah Skylar menghelanya sedalam mungkin. Tetesan air hujan serta lumatan embun tampak saling bergelayut, merebak pada kaca jendela di hadapannya, berupaya mengusik pandangannya yang terus menatap pusat kota yang padat akan kendaraan di bawah sana, sedang pikirannya terus bernostalgia bersama ribuan penyesalan yang ia rasakan.Skylar mengingat jelas bagaimana kebengisan itu bermula, tepat setelah dunia berlaku begitu kejam mengguncang kehidupan adik satu-satunya, yang secara bersamaan cukup membuatnya merasa kehilangan akal, berikut dengan hati nuraninya. Semuanya hilang begitu saja dan hanya menyisakan kebencian serta rasa dendam yang mendalam. Menguar cepat dan merasuki jiwanya tanpa aba-aba, yang kemudian menimbulkan reaksi balasan terhadap siapa pun yang telah merusak kebahagiaan adiknya.Demi apa pun, Skylar bersumpah bahwa ia tidak pernah ingin menyakiti Starla tanpa alasan. Sungguh, tak sedikit pun niat yang te
Skylar membuka pintu ruangan dengan begitu pelan. Pandangannya tak pernah beralih meninggalkan punggung milik wanita yang tengah duduk di kursi roda yang menghadap jendela besar di depannya—ketika ia melangkah ringan sebelum memosisikan diri dan duduk merangkung di hadapan wanita itu."Gaby."Skylar bergumam pelan setelah menggenggam erat jemari sang adik dan langsung mendapat tanggapan dari sang empunya. Manik kelam Gabriella tergenang oleh air mata kini bergerak perlahan dan memutuskan untuk membalas tatapan kepedihan milik Skylar.Setelah beberapa minggu menjalani terapi dan metode penyembuhan lain dengan rutin, wanita itu sudah mulai memperlihatkan sedikit kemajuan. Ia tak pernah memberontak lagi ketika Skylar datang berkunjung. Ia juga sudah mulai mampu mencerna perkataan orang lain. Gabriella bahkan sudah mulai mengenal orang-orang yang berada di sekitarnya. Akan tetapi dia masih belum mampu mengeluarkan beberapa kalimat selain menyebutkan nama-nama orang yang ada di pikirannya
Siapa yang harus Skylar salahkan dalam hal ini? Apakah karena sosok wanita yang telah berhasil meluluhlantakkan hatinya akhir-akhir ini? Arlan yang dia pikir telah merusak kebahagiaan adiknya dengan ganas? Atau bahkan Gabriella yang memang sejak awal telah menyembunyikan sesuatu darinya?Tiga pertanyaan itu kerap kali berputar di otak Skylar sejak kejadian tragis seminggu yang lalu. Dan bagaikan lecutan cambuk yang mengenai punggungnya ketika ia tersadar bahwa dirinya sendirilah yang menjadi pusat dari semua kesalahan yang ada. Hatinya menjerit perih. Pria itu sadar, kecerobohannya tak hanya berdampak buruk bagi dirinya sendiri, tetapi juga pada orang lain yang bahkan tidak mengetahui apa pun di balik semua masalah yang terjadi.Apakah sejak awal pernikahan, Skylar pernah memikirkan perasaan Starla? Mungkin tidak, dia hanya memikirkan bagaimana cara menghancurkan wanita itu secara fisik maupun mental. Membuat wanita itu tidak lagi mengenali arti kehidupan serta tidak mengingat lagi ba