"Hahaha, kalau begini tidak akan ada yang bisa selamatkan Lo, Diki," ucap rekan Diki tersenyum puas setelah melempar tubuh Diki ke dalam derasnya arus sungai yang mengalir.
Ternyata mereka berdua benar-benar telah menghabisi Diki dan membuangnya ke sungai agar tidak akan ada jejak kalau Diki telah dihabisi oleh mereka.
Padahal sepandai apapun mereka menyembunyikan kejahatan pasti suatu saat akan terungkap juga. Tapi untuk saat ini mereka tidak memikirkan itu, yang terpenting untuk mereka sekarang adalah kepuasan atas meninggalnya Diki. Rekan Diki pun meninggalkan sungai itu.
"Eh, A Putra dan A Dadang habis dari mana?" tanya kekasih Diki kepada rekan kerja Diki yang tidak sengaja bertemu dengan mereka di jalan. Rekan kerja Diki tiba-tiba saja gugup saat hendak menjawab karena mereka baru saja berbuat kejahatan.
"Eh, Aku, kami," jawab mereka sambil saling pandang dan terlihat kebingungan hendak menjawab apa.
Kekasih Diki menatap aneh akan tingkah mereka yang tidak terlihat seperti biasanya.
"Kami habis buang sampah ke sungai," jawab Dadang.
Mereka saling pandang dan tersenyum puas karena kekasih Diki gak bisa menemui Diki karena Diki sudah tiada. Putra salah satu rekan kerja Diki sungguh membenci Diki karena mengetahui kalau Mahira putri dari orang terpandang menyukai Diki sehingga Putra sangat membenci Diki dan membuatnya hilang akal.
***
"Dia masih hidup!"
Diki hanyut dari sungai dan ternyata ditemukan oleh Ki Ageng yang tinggal di pinggiran sungai di tempat yang jaraknya lumayan jauh dari desa Diki sebelumnya. Tubuh Diki terluka lumayan banyak karena akibat tubuhnya terombang-ambing dan terbentur oleh bebatuan. Tubuh Diki terbawa hanyut dan menepi di pinggiran sungai. Dan sekarang Diki sedang diobati oleh kedua orang tua itu
Tiga hari sudah berlalu Diki tidak sadarkan Diri dan yang mengurus Diki selama ini adalah Ki Ageng dan Ni Nineung. Orang yang menyelamatkan Diki yang tinggal di gubuk pojokan hutan lebat.
Pada saat Diki sedang di obati oleh orang tua itu, tiba-tiba saja Diki mengerjapkan matanya mencoba untuk membuka mata yang selama tiga hari ini tertutup rapat.
Nenek tua itu terkesiap karena pemuda yang sudah di rawat oleh mereka akhirnya bisa sadarkan diri. Nenek tua itu pun berteriak memanggil suaminya.
"Ki, Aki. Pemuda ini sudah sadarkan diri," teriak Ni Nineung yang memang sedang mengobati luka Diki dengan ramuan buatannya.
"Wah, baguslah Ni," jawab Aki Ageng mendekati Diki yang sedang berbaring di atas ranjang bambu miliknya. Kekek tua itu menatap wajah Diki yang masih terlihat pucat karena baru sadarkan diri. Kakek tua itu ingin sekali menanyakan siapa pemuda ini sebenarnya dan kenapa bisa sampai terbawa arus sungai? Dan dari mana asalnya pemuda tampan ini?
"Nama kamu siapa?" tanya kakek tua itu kepada Diki yang sudah mulai tersadar.
Diki menatap sekelilingnya dengan tatapan yang masih remang-remang. Ia kebingungan karena melihat sosok yang tidak pernah ia lihat.
"Saya ada dimana? Apakah saya masih hidup?" tanya Diki lalu mencoba untuk beringsut duduk.
Tubuh Diki rasanya begitu sakit, Diki mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa ngilu dan perih.
Kakek tua itu pun melarang Diki untuk duduk karena luka Diki yang masih basah.
"Ets, kamu jangan duduk dulu. Lukamu masih belum sembuh dan masih terlalu basah," larang kakek tua itu.
Diki mengerutkan keningnya dan bertanya kenapa dirinya bisa ada disini bersama dengan kakek dan nenek tua yang belum pernah ia temui. Diki belum mengingat apa yang terjadi terhadap dirinya karena ia masih setengah sadar.
"Apa yang terjadi kepadaku?" Diki bertanya sambil mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi terhadap dirinya.
Kakek tua dan nenek tua itu duduk di samping Diki dan mengatakan apa yang telah menimpa pemuda tampan ini.
"Kamu hanyut di dalam sungai dan kami membantu menyelamatkan kamu dan mengobati luka kamu. Coba terangkan apa yang terjadi kepada kamu?" tanya kakek tua itu. Ia ingin tahu apa yang telah terjadi kepada pemuda tampan ini.
Diki bergeming dan mencoba untuk mengingat semua yang telah terjadi terhadapnya. Setelah beberapa saat, akhirnya Diki mengingat peristiwa yang telah menimpa dirinya.
Diki menceritakan asal-usul dirinya terhadap kakek tua dan nenek tua itu. Diki menceritakan dengan rasa sakit dan perih karena dirinya telah dibuat seperti ini oleh rekan kerjanya sendiri. Padahal dulunya rekan kerja Diki adalah sahabat Diki, tapi entah mengapa rekan kerjanya menjadi iri terhadap dirinya hanya karena Diki yang dicintai oleh kekasihnya.
Kakek tua dan nenek tua itu pun dengan seksama mendengar apa yang Diki terangkan.
Lalu Diki pun menceritakan kalau dirinya juga selalu dihina, dicaci dan dimaki karena statusnya sebagai pria miskin.
Kakek tua yang mendengar penuturan dari pemuda yang ditolongnya menjadi merasa kasihan dan begitu iba. Dan akhirnya kakek tua pun menyarankan kepada Diki untuk tinggal sementara bersama dengannya agar kakek tua itu bisa mengajarkan ilmu bela diri yang tinggi agar Diki bisa menjaga dirinya sendiri. Karena kehidupan Diki yang selalu bergelut dengan kekerasan.
"Mendengar apa yang kamu terangkan lebih baik kamu tinggal disini beberapa Minggu. Karena Kakek ingin mengajarkan kamu ilmu bela diri, agar kamu bisa menjaga diri kamu sendiri." saran dari kakek tua itu.
Mendengar apa yang dikatakan oleh kakek tua ini membuat Diki bahagia. Bagaimana tidak? Itu bisa membuatnya mempunyai ilmu bela diri yang mahir.
"Iya, Ki. Saya mau," sahut Diki bersemangat.
Satu Minggu sudah berlalu Diki tinggal bersama dengan Ni Nineung dan Ki Ageng orang yang telah merawat dan menyembuhkan Diki dan sekarang Diki sudah sembuh total.
Ki Ageng mengajarkan ilmu bela diri dasar dulu kepada Diki.
Diki disuruh untuk naik pohon untuk melatih dulu otot-ototnya. Lalu Diki disuruh untuk memasang kuda-kuda yang tepat agar bisa menguatkan pahanya saat menahan serangan.
Kakek tua itu mengajarkan segala jurus andalannya agar bisa membuat Diki kuat dalam menjaga dirinya.
"Apa masih semangat?" tanya kakek tua itu kepada Diki yang sedang melatih pukulan tangannya kepada batang bambu yang dibuat seperti manusia.
Diki disuruh memukuli batang bambu yang menyerupai bentuk manusia. Kakek tua itu ingin Diki menguatkan setiap inci otot tangannya.
"Semangat!" jawab Diki masih sambil menyerang patung itu.
Kakek tua itu tersenyum puas karena melihat kemajuan dari bela diri yang Diki pelajari.
"Sekarang lakukan serangan dengan kaki kamu. Tendang patung itu dengan kaki kamu sampai kaki kamu terasa sakit!" suruh Ki Ageng.
Diki pun menuruti semua arahan dan perintah dari Ki Ageng.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Istri dari kakek tua itu memanggil Diki dan suaminya agar menyudahi latihan yang terus-menerus Diki pelajari.
"Kemarilah, ayo sudahi dulu latihannya karena ini sudah mau Maghrib!" ucap Ni Nineung memanggil Diki dan suaminya.
Diki tersenyum menatap kepada Ni Nineung.
"Sebentar lagi, Nek!" ucap Diki. Diki belum mau mengakhiri latihannya karena kakinya belum terasa begitu sakit. Sehingga ia ingin menyudahi latihannya sampai apa yang diarahkan oleh Ki Ageng itu dia lakukan.
Sedangkan Kakek tua itu tersenyum melihat begitu bersemangatnya pemuda yang sudah ia latih beberapa hari ini. Kakek tua itu melihat ada potensi, dari diri pemuda itu. Dan ada firasat kalau pemuda yang ia tolong ini mempunyai kelebihan lain.
Nenek tua itu menghampiri Diki yang sedang berlatih menendang dan ingin menghampiri suaminya yang sedang terduduk di bale-bale sambil memperhatikan Diki.
"Sudah hentikan dulu latihannya. Tubuh Nak Diki baru sembuh, jadi jangan terlalu keras latihannya." larang nenek tua itu.
Nenek tua itu terlihat khawatir akan kondisinya Diki yang baru sembuh dan malah terus-menerus berlatih dengan keras. Ia takut kalau tubuh Diki malah drop dan kelelahan.
Sedangkan Ki Ageng terlihat santai saja karena Kakek tua itu tahu kalau diri Diki memang kuat.
"Sudahlah, Nek. Diki belum mencapai kepuasan atas latihan ini. Kakek menyuruh Diki untuk menendang patung bambu ini sampai kaki Diki sakit. Dan kaki Diki nyatanya belum begitu sakit." Diki menjawab sambil tersenyum.
Ki Ageng pun mengambil kopi yang ada di dekatnya. Tadi pada saat istrinya mendekatinya dia membawa dua gelas kopi.
"Nini tenang saja karena pemuda itu mempunyai kelebihan diri. Aki sudah tahu dimana batas dari tubuh pemuda itu. Dan Aki yakin betul kalau pemuda itu sangatlah kuat. Pemuda ini bukanlah pemuda biasa, dia mempunyai kelebihan dan Aki yakin kalau pemuda ini mempunyai sesuatu yang berbeda," terang Ki Ageng kepada istrinya.
Entah ada feeling apa sehingga kakek tua itu berkata seperti itu? Yang jelas kakek tua itu yakin kalau Diki bukan pria biasa.
Nenek tua itu tidak menerima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Karena ia cemas kalau sampai Diki kenapa-napa, karena baru sembuh total. Tapi ki Ageng meyakinkan Ni Nineung kalau Diki memang pemuda kuat. Kalau Diki bukan pria yang kuat maka Diki tidak akan selamat di saat dirinya terhanyut di sungai yang begitu derasnya.
"Sudah sakit?" tanya Ki Ageng kepada Diki dan menghampirinya.
Diki pun menghentikan latihannya dan menoleh kepada kakek tua yang selalu melatihnya.
"Sudah, perih Kek," terang Diki lalu melihat kakinya yang ternyata terluka dan berdarah.
Kakek tua itu malah tersenyum ketika melihat kaki Diki yang terluka.
"Kamu kuat!" ucapnya sambil tersenyum.
Lalu kakek itu menyuruh Diki masuk ke gubuk miliknya dan membersihkan diri serta istirahat.
Diki pun menuruti perintah Ki Ageng dan melangkah pergi untuk memasuki rumah dengan bahan bilik itu. Tapi saat berjalan tiba-tiba saja kepalanya pusing dan pandangannya kabur.
Ni Nineung yang melihat Diki memegangi kepalanya ia merasa heran. Dan Ni Nineung takut kalau Diki kelelahan karena terus-terusan berlatih. Dengan cemas Ni Nineung menghampirinya.
Gedabruk ....
Diki pingsan dan tergeletak di tanah. Kakek yang telah melatih Diki pun akhirnya menghampiri tubuh Diki dan hendak membawanya masuk ke dalam rumah dengan santai. Sedangkan istrinya memarahi suaminya karena telah keras melatih pemuda yang baru sembuh itu.Kakek tua itu menghadapi amarah istrinya dengan santai, karena jika sudah seperti ini berarti latihannya telah berhasil.Satu jam berlalu. Diki tersadar dan merasakan kalau kakinya sedang diolesi oleh benda yang dingin. Diki pun membuka matanya dan melihat kalau kakinya sedang diolesi oleh ramuan hijau."Syukurlah kamu sudah sadar," ucap nenek tua itu. Diki tersenyum lalu menoleh ke arah Ki Ageng. "Kamu telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Dan sekarang kamu sudah menjadi orang hebat karena sudah bisa tahan banting. Kamu selalu mempelajari apa yang Aki ajarkan kepada kamu dengan patuh. Perjuangan kamu tidak akan sia-sia," terang kakek tua itu.Kakek tua itu mengatakan kalau Diki sudah berhasil menjadi pria kuat yang mempunyai ilmu
Apa yang dikatakan oleh saudaranya Diki membuat Diki terheran-heran. Tapi akhirnya Diki pun menuruti apa yang telah diperintahkan oleh saudaranya ini. Karena memang dia ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dan ingin mengetahui tentang jati dirinya yang sepenuhnya."Baiklah, Bi. Kalau memang aku harus pergi dulu untuk tahu apa yang sebenarnya tentang diriku. Maka aku akan pergi!" Diki mengatakan itu dengan penuh pertanyaan besar. Sedangkan wanita paruh baya itu langsung pergi ke kamar dan menangisi Diki yang akan meninggalkan dirinya.Keesokan harinya Diki pun berkemas dan bersiap untuk pergi.Diki mengenakan jaket serta celana jeans yang jarang ia pakai. Sehari-hari biasanya Diki memakai pakaian kaos yang lusuh dan celana biasa yang warnanya sudah kusam.Diki hanya mempunyai satu baju yang lumayan masih bagus dan itulah yang di pakainya.Sambil memasukan pakaiannya ke dalam tas ransel Diki pun melamun. Diki melamunkan bagaimana dirinya akan pergi dengan hanya membawa ua
Diki yang melihat kejahatan di hadapannya tidak bisa diam dan ia ingin menolong pria paruh baya yang sedang di todong oleh senjata itu. Brug!!! Diki melompat dan menendang punggung salah satu penjahat yang menodongkan senjata di leher pria paruh baya itu lalu kembali ke posisinya dengan kuda-kuda yang terpasang dan tangan yang dikepalkan, siaga untuk menahan serangan.Ketiga penjahat dengan pakaian jas hitam itu pun menoleh dengan garang ke arah Diki dan menggeram kesal."Sialan bocah ingusan!" geram salah satu penjahat yang tidak terkena serangan Diki. Ia kesal melihat temannya yang diserang mendadak.Sedangkan yang terkena serangan itu masih tengkurap di tanah lalu mencoba untuk beranjak bangun.Mereka semua menatap Diki dengan garang.Sedangkan pria paruh baya itu terkejut karena ada pria muda yang mau membantunya dan membuat nyawanya terancam.Para penjahat itu langsung menyerang Diki dengan tendangan, tonjokan dan pukulan maut mereka tapi Diki berhasil menangkis semua serangan
Diki bingung harus bayar pakai apa karena di dalam tas dan sakunya, ternyata tidak ada uang sepeserpun karena telah hilang."Kalau gak punya duit gak usah makan! Alasan aja hilang." pedagang bakso itu terlihat meneriaki Diki karena tidak percaya kalau Diki memang telah kehilangan uangnya."Tapi uang saya hilang! Bukan alasan," sahut Diki sambil memikirkan sesuatu.Diki bingung hendak berbuat apa untuk membayar makanannya."Kalau boleh saya akan cuci mangkok buat bayar makanan yang saya makan. Boleh kan Mang?" tanya Diki.Diki tidak ada pilihan lain selain mencuci mangkok pedagang itu untuk membayar makanannya."Ya Sudah, daripada tidak dibayar!Pedagang itu pun membolehkan Diki untuk membayarnya dengan cara membersihkan mangkoknya.***Diki saat ini sedang menelusuri tempat yang telah ia lalui. Ia ingin mencari uangnya yang telah hilang itu dan berharap kalau uang itu masih ada dan belum dipungut oleh siapapun."Duh dimana ya uang itu? Kalau aku gak punya uang, bagaimana nanti?" Diki
Diki mendengar sosok wanita paruh baya yang menangis kepada satpam dan satpam terlihat terkejut karena mendengar kalau pak Harianto belum pulang-pulang.Diki pun menyimpan makanannya lalu menghampiri mereka."Yasudah Ibu tenang saja, mungkin bapak pulang terlambat hari ini," terang Pak satpam berbicara kepada ibu paruh baya itu."Tapi tolong terus awasi kawasan ini ya, Pak. Saya takut terjadi apa-apa sama suami saya soalnya dia tidak bisa dihubungi. Ditambah saya pernah melihat orang yang mencurigakan mengintai rumah kami, bukannya area sini sudah dijaga dengan ketat? Tapi kenapa masih ada orang asing yang bisa masuk ke dalam dan mengintai rumah?" tanya wanita paruh baya itu terhadap pak satpam."Wah, padahal saya terus berjaga disini. Dan kami selalu bergantian mengawasi, apakah mungkin mereka menaiki dinding pembatas lewat belakang? Tapi kan dinding itu sangat tinggi?" Pak satpam terlihat sedang berpikir.Diki pun melihat wanita paruh baya itu yang melangkah untuk masuk."Bu, Ibu tu
Pertanyaan itu membuat Bella dan Diki terkesiap.Lalu, mereka pun beranjak berdiri."Ibu, pria ini ingin bertemu dengan bapak!" terang Bella.Istri dari pak Harianto itu berdecak, "Kan kamu tahu sendiri kalau bapak tidak ada? Dan entah dimana ia sekarang. Jadi, lebih baik kamu suruh dia pulang!" suruh istri dari Pak Harianto. Wanita paruh baya itu sedang lelah dan banyak pikiran karena mencemaskan suaminya."Ibu, tunggu sebentar." tahan Diki yang melihat istri dari pak Harianto hendak pergi."Saya tahu kalau Pak Harianto itu masih belum pulang juga. Tapi, setidaknya berikan saya sesuatu untuk bisa membantu mencarinya." terang Diki berniat untuk mencari Pak Harianto yang menghilang itu.Istri dari pak Harianto berdecak, "Kamu bisa apa? Polisi saja yang ahli masih belum bisa menemukannya. Apalagi kamu pria biasa!" hina istri dari Pak Harianto.Diki sadar diri lalu menunduk tapi ia akan berjuang. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya yang hanya harus menunggu. Lebih baik ia berusaha untu
"CK, dasar pria miskin!" hina Alvin tersenyum mencemooh.Bella tidak terima kalau Diki dihina seperti itu. Ya walaupun Diki baru ia kenal tapi ada sedikit rasa tertarik dan penasaran karena Diki orang misterius baginya."Alvin, kamu jangan hina Diki seperti itu dong. " Bella melarang Alvin untuk menghina Diki."Yaudah gapapa, aku memang orang miskin, Kok." sambung Diki merendah. Diki pun mengambil tas ranselnya berniat untuk mencari pakaian lain, walaupun ia bingung karena tidak ada lagi pakaian yang layak.Tiba-tiba saja Bella merebut tasnya, "Sudahlah Diki, kalau memang tidak ada baju lain kita beli saja yang baru, biar Alvin yang bayar, yah." Bella menatap Alvin berharap kalau Alvin setuju."Kenapa harus aku, Bell?" tanya Alvin tidak mengerti dan tidak mau."Ya terus mau aku? Ya aku gapapa sih karena sanggup, tapi kamu masa gak malu dikalahkan oleh wanita cuma masalah duit. Katanya kamu milyuner?" sindir Bella lalu melihat ke dalam tas ranselnya Diki."Hmm, iya, iya, biar aku deh
Diki menelan salivanya saat pria sangar yang berteriak ke arahnya itu mendekati Diki dan menatap tubuh Diki dari bawah sampai akhir."Saya belum pernah lihat dia, Alvin? Dia siapa?" tanya pria paruh baya yang terlihat begitu garangnya dengan tubuh yang kekar dan mata yang melotot."Dia teman baru, Alvin. Keturunan keluarga Wington Paman!" jawab Alvin berbohong."Oh, mereka ternyata punya keturunan blasteran juga, Paman kira turunan Wington itu anak-anaknya gak ada yang blasteran kayak dia, mereka kan keturunan lokal?" Alvin tersenyum karena memang keturunan keluarga itu tidak ada yang seganteng dan setampan Diki yang mempunyai hidung mancung dan mata hazel seperti dari keturunan Spanyol."Dia beda, Paman. Dia baru datang dari luar negeri dan wajahnya di operasi plastik biar mirip orang luar!" Alvin berbohong agar tidak banyak pertanyaan terus yang keluar dari mulut pamannya yang agresif serta garang. 'Alvin berbohong tentang keadaanku?' dalam batin Diki dan malah ingin tertawa."Yas