Diki pingsan dan tergeletak di tanah. Kakek yang telah melatih Diki pun akhirnya menghampiri tubuh Diki dan hendak membawanya masuk ke dalam rumah dengan santai. Sedangkan istrinya memarahi suaminya karena telah keras melatih pemuda yang baru sembuh itu.
Kakek tua itu menghadapi amarah istrinya dengan santai, karena jika sudah seperti ini berarti latihannya telah berhasil.
Satu jam berlalu. Diki tersadar dan merasakan kalau kakinya sedang diolesi oleh benda yang dingin. Diki pun membuka matanya dan melihat kalau kakinya sedang diolesi oleh ramuan hijau.
"Syukurlah kamu sudah sadar," ucap nenek tua itu.
Diki tersenyum lalu menoleh ke arah Ki Ageng.
"Kamu telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Dan sekarang kamu sudah menjadi orang hebat karena sudah bisa tahan banting. Kamu selalu mempelajari apa yang Aki ajarkan kepada kamu dengan patuh. Perjuangan kamu tidak akan sia-sia," terang kakek tua itu.
Kakek tua itu mengatakan kalau Diki sudah berhasil menjadi pria kuat yang mempunyai ilmu bela diri yang mumpuni.
"Terima Kasih Aki. Atas semua yang telah Aki ajarkan kepada saya," ucap Diki berterimakasih kepada kakek tua yang telah mengajarkan ilmu bela diri terhadap dirinya.
Sehari sudah berlalu dan Diki pun pamit terhadap kedua orang tua itu karena ia ingin pergi kembali kepada desanya dan menemui saudaranya kembali.
"Diki pamit ya, Ki, Ni. Makasih untuk semua yang telah kalian lakukan kepada Diki. Nanti Diki akan kunjungi kalian lagi," terang Diki sambil meraih tangan kedua orang tua itu untuk sun tangan.
Diki sebenarnya masih ingin tinggal bersama dengan mereka. Tapi, Diki harus pulang dulu untuk melihat kondisinya Bi Ina yang pasti mencemaskan dirinya.
Semua orang yang bertemu dengan Diki diperjalanan dibuat terkejut karena mereka semua menyangka kalau Diki memang sudah tiada. Karena memang ada kabar bahwa Diki menceburkan dirinya ke sungai karena putus asa. Padahal sebenarnya bukanlah seperti itu.
Diki pun terheran-heran kenapa bisa beredar kabar kalau dirinya bunuh diri? Pasti ini semua ulah dari rekan kerjanya yang telah membuang tubuh Diki ke sungai. Diki ingin membalas perbuatan mereka tapi ia urungkan karena baginya itu hal yang tidak berguna.
Diki pun dengan cepat ingin menghampiri saudaranya karena mencemaskanya.
"Diki? Kamu masih hidup?" lirih Bi Ina terkesiap melihat keadaan Diki yang sedang berdiri di hadapannya dengan tubuh yang sehat walafiat.
"Iya, Bi. Bagaimana keadaan bibi?" Diki bertanya sambil tersenyum karena ternyata saudaranya itu baik-baik saja.
Perempuan paruh baya itu menyentuh tubuh Diki karena masih tidak percaya kalau ternyata Diki masih hidup. Lalu perempuan itu memeluk Diki dan menangis terharu karena ternyata Diki benar-benar masih hidup.
Perempuan paruh baya itu pun langsung menanyakan apa yang telah terjadi terhadap Diki dan mengatakan bahwa kondisinya baik-baik saja.
Diki pun menjelaskan semuanya kepada perempuan paruh baya itu dengan singkat padat dan jelas.
Mendengar apa yang diceritakan oleh Diki, perempuan paruh baya itu pun menjadi sangat kesal karena banyak sekali orang yang membenci Diki dan ingin mencoba melakukan pelenyapan terhadap Diki.
"Aku sudah lelah Bi. Dengan keadaanku yang jadi pria termiskin di kampung ini. Dan membuat semua orang membenci diriku gara-gara keadaanku yang hina ini," lirih Diki mengungkapkan perasaannya.
Diki ingin merubah nasibnya karena sudah putus asa akan keadaanya yang telah hidup sebagai pria yang hina. Gara-gara keadaanya yang seperti itu dirinya selalu saja di hina dan dicaci, bahkan sampai ingin dilenyapkan. Andai dirinya pria terpandang, pasti semua orang akan menghormati dirinya.
Wanita paruh baya itu pun sebenarnya ingin mengungkapkan sebuah rahasia yang sebenarnya. Tapi ia masih takut kalau sampai terjadi hal yang buruk yang akan menimpa keadaanya Diki. Lalu ia memikirkan cara lain dan mengingat sesuatu. Wanita paruh baya itu pun membawa sebuah bungkusan plastik hitam yang ada di dalam kamarnya.
"Ini ada sedikit tabungan untuk kamu. Coba kamu pakai untuk usaha apa biar kamu bisa sukses di kampung ini," saran Bi Ina.
Akhirnya mau tidak mau Diki pun menerima bantuan dari Bi Ina karena ia ingin merubah nasibnya plus melamar kekasihnya nanti.
Kedatangan Diki terdengar oleh Mahira kekasihnya.
"Diki, ternyata kamu masih hidup. Kamu telah membuat aku sedih selama ini, tapi untunglah kamu selamat."
Kekasihnya Diki bahagia karena ternyata Diki masih hidup dan datang dengan keadaan sehat. Rasanya Mahira ingin pergi menemui Diki tapi ia sedang dikurung oleh ayahnya karena Mahira menuduh ayahnya atas kepergian Diki waktu itu.
***
Dengan menggunakan modal seadanya dari Bi Ina. Diki pun berjuang untuk membuat ladangnya sendiri dengan harapan bisa merubah nasib dan membayar hutangnya kepada Bi Ina nanti.
Dengan giat Diki bekerja sampai sore. Dari pagi sampai sore untuk bisa menanam sayuran yang akan dijual nantinya.
Setelah dua bulan berlalu Diki pun bisa memanen sayuran yang ia tanami.
Usaha Diki pun terdengar oleh rekan Diki yang tidak suka terhadap Diki. Mereka tidak ada rasa takut sedikitpun terhadap Diki yang bisa saja membongkar kejahatan mereka terhadap Diki.
"Eh, lagaknya ketinggian ingin merubah nasib." ledek rekannya Diki yang ternyata masih menyimpan rasa dendam.
Diki yang mendengar apa yang diucapkan rekannya tidak mau ambil pusing. Ia pun melanjutkan pekerjaannya yang sedang membersihkan tanamannya yang akan di panen besok.
Rekannya pun dengan uring-uringan pergi meninggalkan Diki yang tidak merespon ucapan mereka. Mereka pergi sambil menggerutu dan bertekad akan menghancurkan semua usaha Diki. Mereka sungguh takut kalau sampai Diki bisa melamar Mahira.
Karena masih kesal menerima kenyataan kalau Diki masih hidup dan berusaha merubah nasibnya. Akhirnya Putra malam ini sedang memberikan racun pestisida untuk tanaman yang akan dipanen Diki besok.
"Mampus Lo, kalau gue gak bisa habisi nyawa Lo. Berarti Lo harus hidup menderita dengan menyandang status pria termiskin selamanya. Gua akan selalu hancurkan semua usaha Lo Diki!"
Setelah pagi ….
"Alhamdulillah, akhirnya aku akan bisa membayar hutangku kepada Bi Ina," ucap Diki bahagia karena akan memanen sayurannya pagi ini.
Diki bersiap untuk pergi keladangnya dengan gembira. Karena tanamannya akan di panen dan di jual. Sehingga Diki akan mendapatkan uang yang lumayan banyak yang bisa untuk melamar Mahira dan membayar hutang modal kepada saudaranya.
Tapi setelah sampai ….
"Ya ampun ada apa ini? Kenapa semua sayuranku tiba-tiba mati seperti ini?" lirih Diki sedih.
"Bagaimana bisa jadi seperti ini?" Diki menangis karena semua sayurannya telah mati. Sudah tidak ada harapan lagi untuk semuanya, Diki pun menangis lalu kembali pulang.
Setalah sampai rumah, Diki menangis menceritakan keadaan kebunnya kepada saudaranya dan berhasil membuat saudaranya terkejut bukan main.
Rasanya wanita paruh baya itu kesal sekali mendengar penjelasan dari Diki. Dan semua ini pasti ulah dari seseorang yang memang membenci Diki. Ya pasti ini ulah orang itu. Wanita paruh baya itu sungguh kesal, dan akhirnya wanita paruh baya itu menginginkan Diki untuk pergi ke kota.
"Kayaknya kamu sudah tidak bisa berjuang di desa ini lagi, Nak Diki," terang wanita paruh baya itu kepada Diki yang sedang menyurukkan kepalanya dan masih menangis meratapi keadaannya.
Diki mendongakkan kepalanya, "apa maksud, Bibi?" tanya Diki tidak paham.
Wanita itu pergi ke dalam kamar lalu kembali ke pada Diki dan memberikan sebuah kertas untuk di baca oleh Diki.
"Sebuah alamat?" tanya Diki yang sudah membaca isi dari kertas itu.
Diki tidak mengerti dengan apa yang di maksud oleh saudaranya itu. Kenapa wanita paruh baya itu memberikan Diki sebuah alamat?
"Pergilah ke kota. Cari alamat itu nanti kamu akan menemukan jati dirimu yang sesungguhnya."
Diki sungguh kebingungan dengan semua yang telah terjadi. Bagaimana bisa mencari jati dirinya? Kan dirinya tidak punya siapa-siapa di kota? Dan orang tuanya bukannya sudah meninggal?
"Pergi cari alamat itu. Nanti kamu akan menemukan petunjuk dari sana, Bibi tidak bisa menjelaskan lebih detail lagi. Pokoknya kamu harus pergi ke alamat itu dan cari nama yang tertera di dalam kertas itu," terang wanita paruh baya itu penuh dengan penekanan.
"Tapi ceritakan dulu kepadaku apa maksud dari semua ini?" paksa Diki ia begitu penasaran.
"Pokoknya pergi ke sana, kalau kamu ingin merubah nasib dan tahu jati dirimu yang sesungguhnya!"
Apa yang dikatakan oleh saudaranya Diki membuat Diki terheran-heran. Tapi akhirnya Diki pun menuruti apa yang telah diperintahkan oleh saudaranya ini. Karena memang dia ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dan ingin mengetahui tentang jati dirinya yang sepenuhnya."Baiklah, Bi. Kalau memang aku harus pergi dulu untuk tahu apa yang sebenarnya tentang diriku. Maka aku akan pergi!" Diki mengatakan itu dengan penuh pertanyaan besar. Sedangkan wanita paruh baya itu langsung pergi ke kamar dan menangisi Diki yang akan meninggalkan dirinya.Keesokan harinya Diki pun berkemas dan bersiap untuk pergi.Diki mengenakan jaket serta celana jeans yang jarang ia pakai. Sehari-hari biasanya Diki memakai pakaian kaos yang lusuh dan celana biasa yang warnanya sudah kusam.Diki hanya mempunyai satu baju yang lumayan masih bagus dan itulah yang di pakainya.Sambil memasukan pakaiannya ke dalam tas ransel Diki pun melamun. Diki melamunkan bagaimana dirinya akan pergi dengan hanya membawa ua
Diki yang melihat kejahatan di hadapannya tidak bisa diam dan ia ingin menolong pria paruh baya yang sedang di todong oleh senjata itu. Brug!!! Diki melompat dan menendang punggung salah satu penjahat yang menodongkan senjata di leher pria paruh baya itu lalu kembali ke posisinya dengan kuda-kuda yang terpasang dan tangan yang dikepalkan, siaga untuk menahan serangan.Ketiga penjahat dengan pakaian jas hitam itu pun menoleh dengan garang ke arah Diki dan menggeram kesal."Sialan bocah ingusan!" geram salah satu penjahat yang tidak terkena serangan Diki. Ia kesal melihat temannya yang diserang mendadak.Sedangkan yang terkena serangan itu masih tengkurap di tanah lalu mencoba untuk beranjak bangun.Mereka semua menatap Diki dengan garang.Sedangkan pria paruh baya itu terkejut karena ada pria muda yang mau membantunya dan membuat nyawanya terancam.Para penjahat itu langsung menyerang Diki dengan tendangan, tonjokan dan pukulan maut mereka tapi Diki berhasil menangkis semua serangan
Diki bingung harus bayar pakai apa karena di dalam tas dan sakunya, ternyata tidak ada uang sepeserpun karena telah hilang."Kalau gak punya duit gak usah makan! Alasan aja hilang." pedagang bakso itu terlihat meneriaki Diki karena tidak percaya kalau Diki memang telah kehilangan uangnya."Tapi uang saya hilang! Bukan alasan," sahut Diki sambil memikirkan sesuatu.Diki bingung hendak berbuat apa untuk membayar makanannya."Kalau boleh saya akan cuci mangkok buat bayar makanan yang saya makan. Boleh kan Mang?" tanya Diki.Diki tidak ada pilihan lain selain mencuci mangkok pedagang itu untuk membayar makanannya."Ya Sudah, daripada tidak dibayar!Pedagang itu pun membolehkan Diki untuk membayarnya dengan cara membersihkan mangkoknya.***Diki saat ini sedang menelusuri tempat yang telah ia lalui. Ia ingin mencari uangnya yang telah hilang itu dan berharap kalau uang itu masih ada dan belum dipungut oleh siapapun."Duh dimana ya uang itu? Kalau aku gak punya uang, bagaimana nanti?" Diki
Diki mendengar sosok wanita paruh baya yang menangis kepada satpam dan satpam terlihat terkejut karena mendengar kalau pak Harianto belum pulang-pulang.Diki pun menyimpan makanannya lalu menghampiri mereka."Yasudah Ibu tenang saja, mungkin bapak pulang terlambat hari ini," terang Pak satpam berbicara kepada ibu paruh baya itu."Tapi tolong terus awasi kawasan ini ya, Pak. Saya takut terjadi apa-apa sama suami saya soalnya dia tidak bisa dihubungi. Ditambah saya pernah melihat orang yang mencurigakan mengintai rumah kami, bukannya area sini sudah dijaga dengan ketat? Tapi kenapa masih ada orang asing yang bisa masuk ke dalam dan mengintai rumah?" tanya wanita paruh baya itu terhadap pak satpam."Wah, padahal saya terus berjaga disini. Dan kami selalu bergantian mengawasi, apakah mungkin mereka menaiki dinding pembatas lewat belakang? Tapi kan dinding itu sangat tinggi?" Pak satpam terlihat sedang berpikir.Diki pun melihat wanita paruh baya itu yang melangkah untuk masuk."Bu, Ibu tu
Pertanyaan itu membuat Bella dan Diki terkesiap.Lalu, mereka pun beranjak berdiri."Ibu, pria ini ingin bertemu dengan bapak!" terang Bella.Istri dari pak Harianto itu berdecak, "Kan kamu tahu sendiri kalau bapak tidak ada? Dan entah dimana ia sekarang. Jadi, lebih baik kamu suruh dia pulang!" suruh istri dari Pak Harianto. Wanita paruh baya itu sedang lelah dan banyak pikiran karena mencemaskan suaminya."Ibu, tunggu sebentar." tahan Diki yang melihat istri dari pak Harianto hendak pergi."Saya tahu kalau Pak Harianto itu masih belum pulang juga. Tapi, setidaknya berikan saya sesuatu untuk bisa membantu mencarinya." terang Diki berniat untuk mencari Pak Harianto yang menghilang itu.Istri dari pak Harianto berdecak, "Kamu bisa apa? Polisi saja yang ahli masih belum bisa menemukannya. Apalagi kamu pria biasa!" hina istri dari Pak Harianto.Diki sadar diri lalu menunduk tapi ia akan berjuang. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya yang hanya harus menunggu. Lebih baik ia berusaha untu
"CK, dasar pria miskin!" hina Alvin tersenyum mencemooh.Bella tidak terima kalau Diki dihina seperti itu. Ya walaupun Diki baru ia kenal tapi ada sedikit rasa tertarik dan penasaran karena Diki orang misterius baginya."Alvin, kamu jangan hina Diki seperti itu dong. " Bella melarang Alvin untuk menghina Diki."Yaudah gapapa, aku memang orang miskin, Kok." sambung Diki merendah. Diki pun mengambil tas ranselnya berniat untuk mencari pakaian lain, walaupun ia bingung karena tidak ada lagi pakaian yang layak.Tiba-tiba saja Bella merebut tasnya, "Sudahlah Diki, kalau memang tidak ada baju lain kita beli saja yang baru, biar Alvin yang bayar, yah." Bella menatap Alvin berharap kalau Alvin setuju."Kenapa harus aku, Bell?" tanya Alvin tidak mengerti dan tidak mau."Ya terus mau aku? Ya aku gapapa sih karena sanggup, tapi kamu masa gak malu dikalahkan oleh wanita cuma masalah duit. Katanya kamu milyuner?" sindir Bella lalu melihat ke dalam tas ranselnya Diki."Hmm, iya, iya, biar aku deh
Diki menelan salivanya saat pria sangar yang berteriak ke arahnya itu mendekati Diki dan menatap tubuh Diki dari bawah sampai akhir."Saya belum pernah lihat dia, Alvin? Dia siapa?" tanya pria paruh baya yang terlihat begitu garangnya dengan tubuh yang kekar dan mata yang melotot."Dia teman baru, Alvin. Keturunan keluarga Wington Paman!" jawab Alvin berbohong."Oh, mereka ternyata punya keturunan blasteran juga, Paman kira turunan Wington itu anak-anaknya gak ada yang blasteran kayak dia, mereka kan keturunan lokal?" Alvin tersenyum karena memang keturunan keluarga itu tidak ada yang seganteng dan setampan Diki yang mempunyai hidung mancung dan mata hazel seperti dari keturunan Spanyol."Dia beda, Paman. Dia baru datang dari luar negeri dan wajahnya di operasi plastik biar mirip orang luar!" Alvin berbohong agar tidak banyak pertanyaan terus yang keluar dari mulut pamannya yang agresif serta garang. 'Alvin berbohong tentang keadaanku?' dalam batin Diki dan malah ingin tertawa."Yas
"Apa maksudnya, Alvin?" Bella sungguh terkejut mendengar apa yang telah Alvin katakan. Sedangkan Diki ia juga tertegun mendengarnya. Masa Alvin menyuruh dirinya untuk bunuh diri? Alvin tertawa, "Nyali Lo sampai mana? Gue mau tahu?" selidik Alvin. Alvin ingin menguji nyali Diki, apakah Diki akan menerima tantangan dari Alvin? Atau langsung menciut ketika Alvin mengatakan itu? "Kalau Lo mau melanjutkan latihan ini, maka turuti apa yang gue katakan! Lakukan itu di kepala Lo saat gue memberikan aba-aba!" suruh Alvin. Bella tidak terima dan langsung melarang Alvin untuk menyuruh Diki berbuat seperti itu. "Jangan ini bahaya, itu tandanya Alvin ingin kamu mati, Diki. Ayo, kalau seperti itu kita pergi saja! Kita berdua bisa cari bapak!" Bella langsung menggusur tangan Diki untuk pergi. Alvin gila? Mana mungkin Diki harus latihan uji nyali seperti ini? Diki menatap Alvin, ia yakin kalau Alvin hanya mengujinya saja. Maka, kalau begitu ia akan menuruti semua yang Alvin perintahkan. Di