Diki terbelalak, "Apa yang kamu katakan Mahira?" Diki terkesiap dengan apa yang wanita di hadapannya ini katakan.
Apa yang diucapkan Mahira berhasil membuat Diki sangat terkejut. Mana mungkin Mahira pergi dari rumah? Ayahnya pasti akan menghancurkan dan mengejarnya sampai dapat.
Diki pun meyakinkan Mahira untuk tidak melakukan itu karena itu salah dimatanya. Dan meyakinkan Mahira kalau ia akan berusaha merubah nasibnya dan berusaha lebih keras lagi agar bisa menikah dengan jalur baik. Dengan cara merubah nasibnya menjadi lebih baik.
"Pulanglah, dan yakinlah kalau aku akan berusaha untuk mendapatkan kamu."
Mendengar apa yang Diki ucapkan Mahira pun pulang dengan kayakinan yang sudah Diki tanamkan.
Berapa hari berlalu Diki pun mencoba untuk memulai kembali berkerja di tempat biasa ia bekerja.
Sepulang bekerja di dalam perjalanan tiba-tiba saja ia mendengar kabar kalau kekasihnya akan dijodohkan dan menikah dengan seseorang yang terpandang.
Hati Diki hancur mendengar kabar itu. Ia pun melangkah dengan langkah yang begitu berat. Badannya terasa lemas mendengar kabar itu.
Karena penasaran dan ingin memastikan kebenaran kabar tersebut, Diki pun berniat untuk menemui Mahira di rumahnya.
"Aku harus memastikan sendiri yang sebenarnya. Mungkin saja kabar yang aku dengar itu salah!"
Diki pun berlari menuju ke kediaman rumah Mahira.
Setelah sampai di rumah Mahira, Diki mengetuk pintu rumah dan berteriak memanggil-manggil nama Mahira. Berharap Mahira ada dan menemui dirinya.
Ceklek!
Pintu pun terbuka dengan lebarnya.
Diki terbelalak karena bukan Mahira yang keluar dari rumahnya melainkan ayahnya. Diki berani datang ke rumah Mahira karena biasanya ayahnya Mahira jam segini tidak ada di dalam rumah. Tapi ternyata perkiraannya salah dan terlihat sekali kalau ayahnya Mahira memandangi dirinya dengan penuh emosi. Walaupun sudah diberi pelajaran masih saja pemuda ini berani datang kemari. Pikir ayah Mahira kesal.
"Punya keberanian kamu datang kemari?" tanya Ayah Mahira dengan penuh penekanan.
Diki mencoba untuk mengatur nafasnya karena merasa gugup dan ia pun memberanikan diri untuk menjawab apa yang ayahnya Mahira tanyakan. Tidak ada hal lain lagi yang ada di pikiran Diki selain memastikan kalau kabar yang ia dengar itu tidaklah benar. Diki mengesampingkan rasa takutnya karena ingin benar-benar bertemu dengan Mahira dan menanyakan yang sebenarnya.
"Saya disini ingin menemui Mahira. Tolong pertemukan saya dengan Mahira!"
Ayah Mahira dengan kasar langsung menampar wajahnya Diki dengan keras.
Plak! Ayah Mahira kesal karena berani-beraninya Diki dengan lantang mengatakan ingin menemui anaknya. Enak saja, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mahira tidak boleh bertemu dengan Diki. Sama sekali tidak boleh.
"Gak ada kapok-kapoknya ya, kamu! Mimpimu ketinggian ingin menikahi putriku!" teriak ayah Mahira. Ayah Mahira menatapnya dengan penuh rasa emosi.
Diki yang mendengarnya menjadi sangat kesal. Walaupun sadar dengan keadaan dirinya sendiri akan keadaanya yang tidak mampu. Seharusnya tidak seperti ini ayahnya Mahira memperlakukan dirinya. Setidaklah berikan kesempatan untuk Diki merubah nasibnya dan melamar Mahira.
"Setidaknya berikanlah saya kesempatan untuk menemui Mahira. Saya ingin memastikan bahwa apa yang saya dengar itu tidak benar!"
Ayah Mahira tersenyum dengan sinis, "kabar kalau Mahira akan saya nikahkan itu benar! Saya akan menikahkan Mahira secepatnya agar dia tidak bisa bertemu lagi dengan kamu, Pria Miskin!"
Mendengar apa yang ayah Mahira katakan membuat Diki sakit hati, Diki pun langsung berteriak memanggil nama Mahira dengan harapan Mahira bisa mendengar teriakannya dan bisa menemuinya.
"Mahira?! Mahira?!"
Mendengar teriakan dari Diki ayah Mahira kesal dan langsung menggusur tubuh Diki dan mendorongnya.
"Pergi dari sini, jangan membuat keributan. Sampai kapanpun saya tidak akan membiarkan Mahira bisa bertemu dengan kamu, Dasar Pria Miskin. Ingat ini, sampai saya mati pun Mahira tidak boleh bertemu dengan kamu! Camkan itu."
Diki menatap wajah garang dari ayahnya Mahira. Dengan hatinya yang pilu dan terluka Diki pun akhinya ia pergi darisana.
Seperti biasa Diki bekerja di kebun atasannya. Tapi hal tak terduga terjadi karena ternyata rekan kerjanya menghina dirinya karena Diki mengejar-ngejar Mahira. Kabar Diki dekat dengan Mahira terdengar satu kampung dan menjadi bahan ejekan.
"Pria miskin so-soan ingin menikahi permaisuri, mimpi yang terlalu jauh," ucap rekan Diki.
Rekan Diki begitu tidak suka kepada Diki dan sangat membencinya. Apalagi mendengar Diki yang ingin dekat dengan Mahira ditambah ada rasa iri karena Diki selalu jadi pusat perhatian membuat rekan kerjanya membenci dirinya.
"Mungkin dirumahnya gak ada kaca, sehingga tidak bisa ngaca kalau dirinya tidak layak dekat dengan wanita mana pun." tambah rekan kerja Diki yang lain.
Cacian dan hinaan terus terdengar di telinganya Diki. Diki pun berpindah tempat agar tidak mendengar apa yang rekannya terus katakan.
"Yang pantas dengan permaisuri itu raja, bukan babu!"
Walaupun sudah berpindah tempat, tapi masih saja Diki mendengar hinaan itu dan akhirnya membuatnya murka.
Brugh!!!
Diki yang teramat kesal karena terus-terusan mendengar ejekan dari teman-temannya ia pun akhirnya tidak tahan lagi memendam emosi di dalam dirinya dan langsung memukuli salah satu rekannya dengan penuh amarah.
"Wah, berani-beraninya ya cari masalah?" teriak salah satu teman dari rekanya lalu mencoba untuk memukuli Diki.
Diki menangkis semua serangan itu dan melawannya. Dan akhinya mereka bertiga pun berkelahi.
Setelah perkelahian selesai mereka bertiga pun di panggil oleh atasannya mereka dan mereka semua di tegur.
Mereka bertiga saling menyalahkan satu sama lain tapi yang akhirnya yang di percayai oleh pemilik kebun itu adalah Diki.
Sepulang dari pekerjaan Diki melangkah lesu karena habis bertengkar dengan rekannya sendiri, di tambah sakit hatinya tentang kebenaran kalau Mahira akan menikah. Sambil berjalan Diki pun mengelap area pipinya yang basah karena air matanya mengalir.
Tidak terima akan perbuatan Diki dan sakit hati karena selalu kalah oleh Diki serta Diki yang selalu di percayai oleh atasannya. Rekan Diki yang tadi sempat berkelahi pun mencegat dan menghadang Diki di perjalanan.
"Mau apa lagi kalian?" tanya Diki saat dirinya di hadang dan di cegat.
Mereka berdua tersenyum menyeringai, "Kami tidak akan membiarkan kamu terus menyakiti hati kami, dan kami akan buat kamu habis sekarang juga!"
Perkelahian pun terjadi, Diki yang sedang terpuruk dan sudah kehabisan tenaga akhirnya kalah. Tubuh Diki yang lemas dan tidak bisa melawan lagi akhirnya di gotong oleh mereka.
"Baiknya kita apakan dia supaya bisa tamat?"
Rekan Diki terlihat sedang memikirkan cara supaya bisa menghabisi Diki tanpa jejak. Akhirnya mereka pun mencoba melakukan pelenyapan dengan membuang Diki ke sungai yang deras agar jasadnya tidak di temukan.
"Mampus Lo sialan! Gue pastikan Lo mati!"
Sultan menjelaskan semuanya tentang bagaimana dia bisa mempunyai anak dari Mahira."Mama sungguh tidak menyangka dengan apa yang telah kalian lalui. Kalau memang begitu baiklah. Mama justru bahagia karena rupanya Mama sudah mempunyai cucu sekarang ini," ucap Anara, lalu mencoba untuk membujuk Dirly agar mau untuk dia gendong. Dirly pun yang memang dibujuk oleh Anara langsung tertawa dan tersenyum. "Dirly anak Papa, itu Nenek sayang. Kamu digendong ya sama Nenek," ucap Sultan. Anara begitu terharu karena Dirly mau untuk dia gendong. Walaupun sebenarnya dia merasa cemas akan publik kalau sampai mengetahui tentang semua ini. "Mama, tolong jangan banyak pikiran. Mama bahagialah karena urusan publik biar Sultan yang atur."Sultan tahu apa yang membuat mamanya cemas, dan bisa melihat dari raut wajah sang mama tadi, pasti dia bahagia akan adanya Dirly. Namun, cemas bagaimana cara memberitahukannya kepada publik."Kamu selalu bisa mengatasi masalah. Mama tahu kamu bisa mengatasi semua ini
Apa ini, gadis ini ingin memeluk calon suaminya? Mahira dibuat geram dengan apa yang diminta oleh Dewi. Namun, Sultan pun malah mewujudkan permintaan Dewi dan langsung memeluk gadis itu dengan lekat dan senyuman mengambang. "Jadilah anak yang baik, Dewi. Turuti perintah ayahmu," ucap Sultan berbisik di telinga gadis itu. Lalu, Sultan pun melepaskan pelukannya. "Makasih, Aa Sultan sudah mau memeluk Dewi. Kalau begitu, sekarang kalian boleh pergi. Semoga kalian selamat dalam perjalanan." Bi Ina pun langsung tersenyum ke arah Dewi dan mengusap pucuk kepalanya. "Semoga segera mendapatkan seorang jodoh." Do'a Bi Ina kepada Dewi. Lalu, Sultan, Bi Ina, Robbie dan Mahira pun memasuki mobil dan mereka pun berangkat pergi.Saat berada di dalam Mobil, Dirly yang sedang berada di pangkuan Mahira itu pun menangis. "Cup … cup … cup, kenapa anak papa ini?" tanya Sultan kepada Dirly yang terus merengek, mungkin karena ingin mendapatkan Asi. Sedangkan Mahira ia yang duduk di kursi belakang, be
Melihat wajah itu … wajah mungil dan polos yang semua merah merona membuat hatinya terhenyak. Sultan begitu bahagia ketika mengetahui kalau dia sudah menjadi seorang ayah. "Mahira …," ucap Sultan. Lalu, dia mendekatkan wajah Mahira untuk dikecupnya. Cup …."Aku sangat bersyukur karena kamu telah memberikan buah hati yang begitu tampan untukku," ucap Sultan."Tadinya aku tidak akan membiarkan kamu tahu kalau putra kita ini adalah putramu," ucap Mahira tersenyum pahit. Sultan tercengang kenapa Mahira sampai berniat seperti itu?"Apa maksudnya? Kenapa kamu mengatakan itu?" tanya Sultan. "Karena aku kesel kamu sudah menikah dan aku kecewa saat kamu tidak mau mendengar penjelasan dariku," terang Mahira. Ayah Mahira bertepuk tangan dan mengejutkan semua orang yang ada disana. "Sudahlah … ayo kita bergembira dengan apa yang sudah terbongkar ini," sambung Joko. Sultan pun tersenyum, dia bahagia karena Joko sudah mulai bersikap ramah terhadap dia. 'Bapak senang akhirnya kamu bisa bersa
Meraih tubuh itu dan mendekapnya dengan erat. Sultan berhasil mengejar Mahira dan memeluknya. "Tolong jangan pergi, aku sangat tersiksa hidup tanpamu," ucap Sultan. Memeluk tubuh wanitanya dari belakang. Mahira terisak pilu, "rasanya aku tidak mau kalau harus menerimamu lagi. Aku kesal karena kamu tidak mau mendengarkan penjelasan dariku," balas Mahira dan berusaha untuk berontak. "Apa yang bisa aku lakukan agar kamu mau menerimaku?" tanya Sultan serius. "Aku tidak tahu! Pokoknya kamu pergi dari sini sekarang juga," bentak Mahira, dan langsung melepaskan tangan Sultan yang berada di perutnya. "Apalagi kamu sudah menikah! Untuk apa datang lagi kemari," ucap Mahira dan langsung berlari begitu saja membuat Sultan kecewa dan terluka hati. ***Sultan menghubungi Bi Ina dan memintanya untuk pergi ke desa Kemuning. Sultan ingin agar Bi Ina membantu dia mendapatkan Mahira. "Bi, tolong bantu yakinkan dia bahwa aku tidak menikah dan semua yang telah aku lakukan itu adalah pura-pura," ucap
Semua terkesiap melihat Rapika yang sampai membanting sebuah gelas sampai pecah di bawah lantai. "Ada apa, Rapika?" tanya semua orang menatap Rapika yang tubuhnya terlihat sedikit gemetaran. "Ah … Ma-maaf. Rupanya saya tidak sengaja karena tubuh saya tiba-tiba saja menggigil seperti ini," ucap Rapika. Rupanya Rapika ada niat untuk berpura-pura sakit, agar Sultan dilarang pergi oleh Anara karena harus menemaninya yang tidak sehat. "Apakah kamu sakit, Rapika?" tanya Anara terlihat cemas. Sultan menatap Rapika dan langsung saja berdiri dari tempatnya kini. "Ma, waktunya sudah mulai mepet. Sultan akan pergi sekarang," potong Sultan. Tanpa mau lama-lama lagi, Sultan ingin segera pergi. "Kamu ini kenapa? Lihat dulu kondisi istri kamu, tolong jangan pergi–""Ma, ini penting. Sultan harus segera pergi. Lagian disini banyak yang akan menjaga Rapika. Ada Bi Ina dan Maid yang lain, juga ada Mama kan." "Kamu benar juga, Nak. Yasudah kalau begitu, jaga dirimu baik-baik ya." Anara pun mengi
Begitu mengejutkan, Sultan tidak menyangka kalau Bi Ina ada di dalam kamar dan mungkin mendengar apa yang sudah dia katakan kepada Rapika. Bi Ina terdiam, sungguh tidak menyangka kalau Sultan masih belum bisa melupakan Mahira dan melakukan pernikahan pura-pura. Rapika hanya bisa menunduk ketika Sultan mengetahui keberadaan Bi Ina. "Jadi, kalian pura-pura menikah?" ucap Bi Ina. Sultan langsung saja menghampiri Bi Ina dan memegangi kedua pundaknya. "Bi, tolong jangan bocorkan rahasia ini," mohon Sultan. Entah sampai kapan dia tidak ingin semuanya terbongkar. Namun, tidak sekarang karena Sultan takut membuat Anara kecewa. "Kamu ini kenapa? Selama ini Bibi tidak pernah mengajarkan kamu berbohong!" kesal Bi Ina. Apa yang dilakukan oleh Sultan ini sepenuhnya salah dan pasti akan menjadi bumerang untuk semua orang. "Sultan tahu kalau ini salah, tapi Sultan melakukan ini karena ingin membuat Mama bahagia," terang Sultan. "Memangnya kamu pikir Nyonya Anara akan bahagia, dibohongi ole