Share

Siapa Rusmini?

[Bu, saya nunggu di simpang jalan, sebelum belokan ke rumah. Duduk di dekat pos ronda.]

Mbak Septi mengirim Pesan WA lagi sesaat setelah kukabari jika aku dalam perjalanan pulang ke rumah. Tak perlu menunggu nanti malam lagi, harus cepat bertemu Mbak Septi.

Penting sekali sepertinya hal yang ingin dibicarakan Mbak Septi hingga kami harus bertemu di luar rumah. Kupercepat laju motorku, penasaran tak sabar ada apa dengan Mimin dan suamiku. 

Terlintas kembali bayangan Mas Andi saat sedang menatap lekat Mimin yang cantik di garasi pagi tadi. Ini kah tanda adanya badai yang tak kusadari menerpa rumah tanggaku?

"Ayo, Mbak, kita cari tempat yang lebih enak. Banyak orang lewat di sini terlalu ramai, naik ke motor. Lewat jalan tikus saja aku nggak ada helm buat Mbak Septi."

Begitu ketemu, langsung tanpa buang waktu lagi segera kubawa Mbak Septi. Mmm ... Lebih nyaman rasanya kalau dibicarakan di kios bakso saja. Sekalian mengisi perutku yang sudah keroncongan.

Kios bakso cukup ramai, setelah memesan bakso dan minuman, kami memilih tempat duduk lesehan di pojok kios supaya leluasa berbincang.

"Jadi ada apa, Mbak, aku sudah deg-degan ini nggak sabar dengar hal penting apa yang mau diceritakan."

"Ibu yang kuat ya, saya pergoki hal sangat mencurigakan, mmm ... Mimin itu, Bu ...."

"Aduh, Mbak, nggak usah takut begitu ngomongnya. Aku tambah jantungan ini."

Tanpa sadar kugoyang bahu Mbak Septi tak sabar.

Welah tambah kesal rasanya, saat penasaranku membuncah tiba-tiba justru datang pelayan kios mengantar pesanan bakso kami, makin memperkeruh pikiranku saja.

"Ayo lanjutkan, Mbak, baksonya masih terlalu panas, nanti saja makannya," sergahku sangat tidak sabar.

"Kemarin saat kami selesai masak buat katering siang, waktu mau wudhu untuk shalat dzuhur, saya lihat Mimin masuk rumah lewat pintu dapur ibu. Saya ikuti dan mengintip dari jendela ruang makan, saya lihat dia masukkan sesuatu ke gelas tehnya bapak yang di meja makan.''

Kamar karyawan dan dapur katering memang terpisah di belakang rumah. Sesuai syarat standar ijin usaha katering, dapur yang kami miliki harus memadai, bersih dan layak sanitasinya. Kamar karyawan terletak di samping dapur katering, hanya ada dua kamar. Mbak Septi sama Mimin saja yang menginap. Karyawan lainnya ada Mamat sama ningsih tinggalnya tak jauh dari rumah kami.

"Selama ini kami saja nggak berani masuk rumah ibu jika tidak dipanggil ibu atau bapak. Makanya saya heran Mimin masuk gitu saja ke dalam rumah. Eh ternyata sepertinya dia punya maksud terselubung lewat minuman bapak, Bu."

"Mbak nggak tanyain Mimin memasukkan apa dalam teh?" 

"Sudah, Bu. Dia mengelak, katanya dia masuk rumah hanya mau pinjam charger HP karena chargernya nggak ketemu dimana. Dia malah marah menuduh saya merendahkannya karena sudah membuntuti dia." Mbak Septi berkata dengan sangat kesal.

"Dan kemarin juga waktu malamnya, Bu ... Kira-kira jam sebelasan, sa--sa sayyya lihat Bapak keluar dari kamar Mimin.''

"Apaa? Mbak Septi yakin! Nggak salah lihat!"

Aku memburu bertanya dengan panik memastikan kabar dari Mbak Septi tadi.

"Saya kegerahan malam itu, Bu, nggak bisa tidur. Awalnya saya mendengar pintu kamar Mimin dibuka. Pas saya lihat nggak ada Mimin keluar. Kira-kira setengah jam kemudian saya dengar lagi pintu kamar dibuka, nah saat itu saya intip lagi baru lihat bapak yang dari kamar Mimin."

Nafasku serasa terhenti, dadaku sesak bukan kepalang. Seminggu ini memang aku hanya fokus dengan urusan sekolah, sedikit abai dengan Mas Andi. Malamku lebih cepat terbuai mimpi karena lelah, tak mengira Mas Andi akan melewati sebagian malamnya di kamar wanita lain.

"Ibu harus kuat, cepat bertindak, Bu. Jangan sampai kehilangan suami seperti saya."

"Aku harus bagaimana, Mbak?" 

Belum lagi mampu berpikir jernih. Saat itu campur aduk rasa di hatiku ... perih, geram, begitu terhenyak, air mata rasanya sudah mau tumpah keluar.

"Mimin harus segera dikeluarkan dari pekerjaannya, tak boleh lagi di dekat bapak. Sepertinya kedatangannya ke rumah sudah direncanakan itu, Bu."

Mbak Septi merengkuh pundakku berusaha menguatkan. Wanita empat puluhan tahun itu sudah banyak pengalaman hidup. Dia harus mencari nafkah sendiri untuk biaya pesantren anak tunggalnya, suaminya meninggalkan Mbak Septi demi wanita selingkuhannya.

"Mbak Septi harus bantu saya menjadi saksi atas apa yang sudah Mbak lihat." Aku menarik napas perlahan, mulai menguasai diri dan hatiku.

"Ibu juga harus cari tahu masa lalu bapak, sapertinya Mimin sudah mengenal bapak dari dulu. Itu penting untuk mencegah hal jahat yang masih bisa dilakukan Mimin meski sudah tidak di rumah ibu lagi."

Aku mengangguk, Mbak Septi benar. Tatapan lekat Mas Andi kemarin seperti menyiratkan sudah mengenal sekali sosok Mimin.

"Lalu kenapa Mimin harus mencampurkan sesuatu dalam minuman Mas Andi? Apa dia main dukun?"

"Nah itu mungkin juga, Bu."

Mas Andi ..., aku tak menyangka jika hari ini harus mendengar berita menggeramkan tentangmu. Seandainya Mimin memang wanita dari masa lalumu kenapa tak pernah kamu ceritakan? Pikiranku mulai berkecamuk menyesali ketidakjujuran suamiku.

Seingatku, sebelum menikah denganku Mas Andi tak mempunyai kekasih sebelumnya. Aku adalah wanita pertama yang menjalin hubungan serius dengannya. Kami hanya saling mengenal enam bulan, itu pun bukan layaknya orang berpacaran pada umumnya. 

Kami honorer mengajar di sekolah yang sama. Aku sudah setahun lebih dulu mengajar dibanding Mas Andi. Sama-sama ingin menjalin hubungan serius akhirnya kami menikah karena usia kami saat itu juga sudah dua puluh lima tahun lebih.

Saat aku lolos seleksi ASN menjadikan Mas Andi mulai malas mengajar. Berulang kali gagal seleksi ASN membuat Mas Andi berhenti menjadi guru honorer dan mulai merintis usaha katering seperti ibu mertuaku. 

Dengan modal dari orang tua Mas Andi ditambah pinjaman dari bank dengan jaminan SK mengajarku kami mulai merintis usaha katering. Rumah yang kami tempati adalah peninggalan orang tuaku. Aku dan Mas Andi sama-sama anak tunggal.

"Bu ..."

Panggilan Mbak Septi menyadarkanku yang sedang melintas balik awal pertemuanku dengan Mas Andi.

"Sampai rumah nanti ibu harus tetap tenang, cari tahu tentang Mimin ya, Bu."

Mbak Septi kembali merengkuh pundakku. Bersyukur sekali ada Mbak Septi bersamaku, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ibuku dipanggil Allah setahun setelah pernikahanku. Bapakku sudah lebih dulu menghadap Ilahi saat aku baru selesai kuliah, beliau juga seorang guru.

"Iya Mbak, Mas Andi yang membawa Mimin ke rumah, aku belum sempat bertanya lebih teliti tentang siapa Mimin."

Aku teringat kembali postingan di F* tadi pagi. Wanita yang hilang itu bernama Rusmini, bisa jadi panggilannya adalah Mimin. Segera kuambil ponsel dan menghubungi nomor telepon yang tertera. Panggilannya tidak diangkat. Segera kukirimkan sebuah pesan.

[Mbak, saya punya info tentang adiknya yang hilang. Apakah nama panggilan adiknya itu Mimin?]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status