Habis shubuh, tak sengaja kubaca di sebuah grup jual beli kotaku di F* tentang info seorang yang hilang. Foto wanita yang terpajang seperti tak asing bagiku, mataku langsung tertumbuk pada postingan itu.
'Salam buat semua anggota grup, minta infonya siapa tahu ada yg lihat, adek saya pergi dari rumah tapi dah 1 minggu nggak balik. Saya sampai cari ke mana pun belum ketemu. Adek saya anaknya masih kecil nangis terus cari ibunya. Mohon infonya tolong hubungi 0801111555 atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan makasih.'
Wanita di foto itu apakah dia Mimin? wajahnya mirip sekali. Bedanya Mimin tidak mengenakan jilbab seperti wanita di foto. Kulihat ulang foto itu, tertera nama Rusmini di ujung postingan.
"Ayo, Mi, cepetan nanti keburu siang." Suara Mas Andi mengagetkanku.
"Iya, Pi, sebentar." Kujawab sesaat setelah Mas Andi meninggalkan kamar, aku masih penasaran dengan berita di grup F* tadi.
Segera kuklik tanda titik tiga di atas postingan itu, menyimpannya agar bisa kulihat ulang nanti. Harus segera belanja ke pasar untuk stok bahan usaha katering membuatku tak punya banyak waktu di pagi hari. Niatku awalnya mencari suplier bawang merah murah dari grup jual beli di F* jadi tertunda oleh postingan wanita hilang tadi.
Mas Andi sudah menungguku di mobil, sekelebat kulihat bayangan Mimin melintas dari arah garasi menuju ke dapur produksi. Tampak tatapan Mas Andi mengikuti gerak Mimin tak berkedip, begitu lekat menatapnya. Mimin memang cantik, apa suamiku menatapnya karena hal itu?
Ngapain Mimin tadi lewat garasi. Harusnya dia masih sibuk di dapur bersama karyawan yang lain. Habis shubuh biasanya karyawan sudah mulai memasak, malam hari mereka sudah mempersiapkan semua bumbu dan bahan masakan untuk esok hari.
"Itu Mimin tadi ngapain, Pi?"
"Oh, eh tadi dia nitip beli handuk. Mau nitip Mami tapi belum kelihatan katanya, jadi nitip sama Papi."
"Emang selama ini dia nggak pernah handukan? Hampir seminggu kerja di sini kok baru nitip beli handuk." Aku berkata dengan heran.
Mas Andi terlihat sedikit gugup dan salah tingkah. Ada apa dengannya?
"Ya mana aku tahu, Mi. Mana sempat nanyain, dititipin beli ya masa nggak mau."
"Sebentar kutanya Mimin, kasihan barangkali dia perlu nitip beli sesuatu yang lain lagi," kataku.
"Eeh, sudah siang nggak keburu terbeli semua belanjaan nanti, ngapain ngurusin yang nggak penting amat. Ayo berangkat saja!"
Suamiku mulai menyalakan mesin mobil, kelihatan sangat tidak sabar lagi, tapi menurutku tepatnya seperti mencegahku untuk menemui Mimin.
Tak butuh waktu lama sebenarnya untuk sampai ke pasar yang tak jauh dari rumah. Mas Andi pun sudah cekatan terbiasa belanja bersamaku, sudah empat tahun kami kelola usaha katering bersama. Tapi karena aku juga merangkap sebagai seorang guru, waktu di pagi hari harus benar-benar kuatur supaya tak terlambat berangkat mengajar.
***
"Mimiin."
Setengah terburu kupanggil Mimin diantara tiga karyawanku yang lain. Mereka sudah selesai menyiapkan pesanan katering untuk menu sarapan pagi, tepat pukul tujuh nanti sudah harus diantar ke pelanggan.
Aku sudah bersiap berangkat mengajar, jadi serasa dikejar waktu.
"Iya, Bu. Saya di sini." Mimin yang sedang duduk membungkus kerupuk untuk persiapan menu katering siang segera berdiri dan berjalan menemuiku.
"Ini pesanan handukmu. Kalau perlu sesuatu lagi langsung temui aku saja, jangan nitip sama bapak." Aku memberi tahu Mimin supaya tidak jadi kebiasaan nitip Mas Andi.
Wajarnya Mimin minta maaf dan memahami perkataanku, tapi dia diam membisu, kulihat ada semburat rasa kesal di wajahnya. Bukankah itu sedikit aneh? Apa ucapanku membuatnya tersinggung?
"Ya sudah, teruskan kerjanya, Min."
Tak punya banyak waktu membuatku tak menghiraukan lagi tingkah tak wajar Mimin. Segera kutuju motor maticku, bergegas berangkat ke sekolah, aku sudah berpamitan tadi saat Mas Andi masih sibuk mengarahkan karyawan untuk menata pesanan ke dalam mobil.
[Mi, pulang jam berapa? Jangan kecapekan]Mas Andi mengirimkan pesan lewat WA, dia memang suami yang baik, selalu memperhatikan kegiatanku. Evaluasi penilaian akreditasi di sekolah membuatku sibuk semingguan ini untuk mempersiapkannya.
[Pulang agak sore. Semua pekerjaan di rumah lancar 'kan, Pi?]
[Lancar, hati-hati pulangnya nanti, love you Mami]
Aku tersenyum membaca balasan pesan WA Mas Andi. Dia suami penyayang dan selalu memahami istrinya. Teringat saat dua tahun yang lalu kami harus kehilangan calon keturunan kami, yang meninggal dalam kandungan di akhir usia kehamilan karena terlilit tali pusar. Mas Andi begitu sabar membangkitkan kembali diriku yang larut dalam kesedihan.
Kami bahkan sudah saling memanggil Mami dan Papi untuk menyambut kehadiran buah hati kami, tapi belum ditakdirkan terlahir di pangkuan kami. Hingga saat ini belum dititipkan kembali kehamilan di rahimku.
Kembali ada notifikasi pesan masuk ke ponselku. Pesan WA dari Mbak Septi salah satu karyawan kateringku. Karyawan kami dulunya hanya ada tiga. Hampir seminggu yang lalu bertambah Mimin sebagai karyawan baru.
Aku belum begitu mengenal Mimin, Mas Andi yang menerimanya. Katanya Mimin saudara jauh dari temannya, karena kasihan sangat membutuhkan pekerjaan jadi kusetujui saja untuk menerima Mimin. Doaku semoga dengan membantu Mimin menjadi bertambah jalan rizki bagi usaha kami.
Kubaca pesan WA dari Mbak Septi.
[Bu, kapan ibu ada waktu, saya ingin membicarakan sesuatu]
Mbak Septi sepertinya punya masalah serius rupanya. Aku kurang berinteraksi dengan karyawanku belakangan ini. Mas Andi yang mengatur pekerjaan mereka, waktuku tersita untuk persiapan evaluasi akreditasi.
[Iya mbak, nanti malam ya, hari ini aku pulangnya sore, tentang apa ya mbak? Nggak keburu kan ketemunya?]
[Mmm ... itu Bu, tentang Mimin sama bapak]
Deg!
Ada apa dengan suamiku? Apakah ...?
[Mbak Septi, aku harus mengajar lagi, nanti kutelepon ya.]
[Nanti saja kita ketemu, Bu, supaya jelas]
Aku teringat kembali postingan di F* tadi pagi, wanita yang mirip Mimin itu siapa? Mas Andi yang menerimanya sebagai karyawan dan mengetahui data diri Mimin.
Ingin rasanya segera pulang, tapi aku harus mengajar lagi, masih ada tugas yang harus kuselesaikan juga. Sepertinya aku harus menghubungi pengunggah postingan di F* itu nanti.
[Bu, saya nunggu di simpang jalan, sebelum belokan ke rumah. Duduk di dekat pos ronda.]Mbak Septi mengirim Pesan WA lagi sesaat setelah kukabari jika aku dalam perjalanan pulang ke rumah. Tak perlu menunggu nanti malam lagi, harus cepat bertemu Mbak Septi.Penting sekali sepertinya hal yang ingin dibicarakan Mbak Septi hingga kami harus bertemu di luar rumah. Kupercepat laju motorku, penasaran tak sabar ada apa dengan Mimin dan suamiku.Terlintas kembali bayangan Mas Andi saat sedang menatap lekat Mimin yang cantik di garasi pagi tadi. Ini kah tanda adanya badai yang tak kusadari menerpa rumah tanggaku?"Ayo, Mbak, kita cari tempat yang lebih enak. Banyak orang lewat di sini terlalu ramai, naik ke motor. Lewat jalan tikus saja aku nggak ada helm buat Mbak Septi."Begitu ketemu, langsung tanpa buang waktu lagi segera kubawa Mbak Septi. Mmm ... Lebih nyaman rasanya kalau dibicarakan di kios bakso saja. Sekalian mengisi perutku yang sudah keron
Aku tak boleh kalah menyerah dengan Mimin. Jika terbukti Mas Andi sudah berhianat rasanya aku tak akan bisa lagi melanjutkan rumah tanggaku dengannya, tapi tak 'kan kubiarkan juga Mimin bisa memiliki Mas Andi, enak saja mau bahagia dengan jalan merebut pasangan orang lain.Bayangan Mas Andi menghabiskan sebagian malamnya bersama Mimin membuatku mual. Kupandangi semangkuk bakso di depanku, meski perut keroncongan tapi selera makanku tak juga timbul melihat bakso yang terlihat enak itu.Kulihat pesan WA-ku masih centang satu, mungkin ponsel pengunggah postingan di FB itu sedang tidak diaktifkan. Tapi aku yakin wanita yang hilang itu hampir sama persis dengan Mimin. Kutaruh kembali ponsel ke dalam tas."Ayo mbak sambil dimakan baksonya, sudah hampir senja.""Iya, Bu, makasih. Ibu juga harus makan baksonya, ayo dihabiskan biar kuat menghadapi kenyataan hehe." Mbak Septi mencoba melempar canda.
Setelah tahu pasti jika Mas Andi dan Mimin sedang berdua di kamar saat ini, apakah aku akan membiarkan mereka bisa berzina begitu saja? Tentu tidak. Kamera yang sudah dipasang hanya untuk mendapatkan bukti perbuatan hina kedua insan yang tersesat jalan itu.Sebelum perzinaan mereka sukses terulang lagi, pasti akan segera kucegah. Bayangkan ... saat mereka sudah diburu nafsu, eh tiba-tiba kami menggagalkannya, hahaha rasain nanti, Mas, kamu akan merana.Apa yg akan kulakukan sekarang?[Mbak, bersiap! Aku ke situ. Kita kuliti dua sejoli yang nggak takut dosa itu]Kukirim pesan untuk Mbak Septi, kami akan melancarkan rencana.Sambil berjalan menuju kamar Mbak Septi, kutelepon mama mertua. Kuminta Mama dan Papanya Mas Andi datang ke rumah saat ini juga.[Assalamu'alaikum, Ma][Wa'alaikumussalam, iya, Hanum ... ada apa sudah malam nelepon, mama sampai kaget ini.][Hanum minta maaf, Ma. Tapi ini penting sekali. Tolo
5Harus tegar, aku tak boleh sampai menitikkan sebutir pun air mata. Ujian ini harus berhasil kulewati, setelahnya pasti akan ada kebaikan jika kuhadapi dengan sabar dan kuat.Aku sedikit takut jika mama akan terguncang saat mengetahui kenyataan yang terjadi di kamar Mimin, kugenggam erat tangan beliau."Ma, Mas Andi tega menghianati Hanum. Mama lihat perempuan tanpa busana itu? Dia dan Mas Andi telah berzina."Mama langsung lemas, tubuh beliau hampir luruh ke lantai jika tak cepat kutopang. Kuraih satu-satunya kursi di kamar itu, lalu membantu mama duduk supaya lebih tenang."Mama lihat Hanum bisa tegar 'kan? kita tak boleh kalah dari perempuan itu. Yang kuat ya, Ma," bisikku lirih di telinga Mama, mama mengangguk pelan."Keterlaluan kamu, Andi! Papa malu sekali dengan kelakuanmu!" Papa mencengkeram bahu suami br*ngsekku itu.Mas Andi terdiam, dia menunduk tak berani melawan kilatan amarah di mata papa."Tatap Papa, Andi!
"Ayo arak sekarang saja, nggak usah nunggu lama lagi.'' riuh suara beberapa warga bersahutan."Mohon maaf Pak Sapto, Bapak 'kan masih satu kampung dengan kami meski beda RW dan RT, tentu Bapak paham jika saya sebagai ketua RT punya tanggung jawab menjaga kenyamanan warga di sini.'' Pak RT berkata dengan santun kepada papa."Jadi ... Saya mengharap kelapangan hati Bapak, dengan sangat menyesal terpaksa harus menyaksikan putranya diarak ke balai RT. Tujuannya bukan untuk mempermalukan Pak Sapto, tapi sebagai hukuman sosial bagi Pak Andi dan jadi pelajaran berharga bagi warga yang lain."Kulihat papa merangkul pundak mama, papa mengangguk lemah, menyerahkan keputusan kepada Pak RT. Papa pasrah Mas Andi akan diapa-apakan warga. Aku ikut merangkul pundak mama, kami bertiga saling berengkuhan, sangat memilukan.“Sekarang kamu sadar apa yang telah kamu lakukan sangat melukai kami, Andi?” tanya Papa.“Iya, Pa. Sadar, Pa. Maafkan And
Sudah kuduga pasti kabar berita kasus rumah tanggaku cepat tersebar luas. Begitu ponsel kunyalakan, banyak sekali notifikasi berurutan masuk di layar. Ya Allah, ujianku datang lagi, aku harus tegar menghadapi dunia maya yang justru lebih ngeri dari dunia nyata.[Semoga Bu Hanum sabar, ikhlas dan kuat.]Kubaca chat terbaru di group WA guru di sekolah.[Bu Hanum, kami bersamamu, terus semangat.] Pesan dari Bu Ratna di group WA RT.[Tawakal ya Bu Hanum, Allah akan memberi hikmah yang terbaik, insyaallah.] Pesan dari Bu Salma teman di group WA pengajian.[Nggak nyangka ya, kelihatannya harmonis ternyata tergoda wanita lain, salut buat Bu Hanum yang sangat tegar.] Bu Mike menanggapi foto sidang tadi, yang diposting di grup WA PKK kelurahan.Tak sempat lagi kubaca satu per satu pesan lain yang berisi dukungan dan komentar dari banyak orang. Mataku serasa sudah berkunang-kunang menatap layar ponsel. Entah ungkapan mereka itu tulus atau ti
Sudah kuduga pasti kabar berita kasus rumah tanggaku cepat tersebar luas. Begitu ponsel kunyalakan, banyak sekali notifikasi berurutan masuk di layar. Ya Allah, ujianku datang lagi, aku harus tegar menghadapi dunia maya yang justru lebih ngeri dari dunia nyata.[Semoga Bu Hanum sabar, ikhlas dan kuat.]Kubaca chat terbaru di group WA guru di sekolah.[Bu Hanum, kami bersamamu, terus semangat.] Pesan dari Bu Ratna di group WA RT.[Tawakal ya Bu Hanum, Allah akan memberi hikmah yang terbaik, insyaallah.] Pesan dari Bu Salma teman di group WA pengajian.[Nggak nyangka ya, kelihatannya harmonis ternyata tergoda wanita lain, salut buat Bu Hanum yang sangat tegar.] Bu Mike menanggapi foto sidang tadi, yang diposting di grup WA PKK kelurahan.Tak sempat lagi kubaca satu per satu pesan lain yang berisi dukungan dan komentar dari banyak orang. Mataku serasa sudah berkunang-kunang menatap layar ponsel. Entah ungkapan mereka itu tulus a
Mama sama Papa sebaiknya istirahat saja di kamar, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah. Sepertinya ada yang mencoba menganggu kita, Hanum minta doanya ya."Mama merengkuhku, bergantian menatapku dan Mas Andi, "Kalian sedang diuji, Mama doakan diberikan jalan yang terbaik, dimudahkan segala urusan yang harus kalian lewati, terserah kalian untuk meneruskan biduk pernikahan atau tidak, pikirkan semuanya baik-baik."Mama dan papa beranjak ke kamar tamu, meninggalkanku dan Mas Andi."Aku tak 'kan membiarkan rumah tanggaku hancur, kita harus melawan Mimin bersama, Hanum." Mas Andi menatapku menghiba."A--akkuu, susah rasanya menerima pahitnya kenyataan dan memaafkan perbuatanmu, Mas." Aku menghindar dari tatapannya."Iya, aku salah tak berterus terang tentang masa laluku, juga alasanku saat menerima Mimin datang ke sini. Akan kujelaskan semuanya." Mas Andi terus saja mencoba memberiku pengertian."Sudah larut malam, kita butuh isti