Raksa memperhatikan dengan seksama hasil temuan para penyelidiknya. Kasus kedua di sebuah apartemen memiliki kemiripan dengan kasus Amelia. Ditemukannya pesan yang sama 'Dia, ada disana!'
Dua tim dengan kasus yang berbeda duduk bersama di ruangan meeting. Raksa dan Jack memutar otak, memperhatikan bukti pendukung yang didapat dari dua pembunuhan misterius yang hanya berjarak beberapa jam saja.Raksa mengetuk ngetukkan penanya di atas meja. Tangan yang lain mengurut dahinya yang mulai berminyak. "Apa menurutmu ini dilakukan orang yang sama?"Jack tak menjawab, ia terlihat berpikir keras. Bagaimana tidak mayat kedua ditemukan mengenaskan dengan leher tergorok di atas lift. Sebuah pertanyaan besar bergelayut di kepalanya. Bagaimana cara manusia biasa menarik tubuh Ronald yang berbobot enam puluh tujuh kilogram tanpa bantuan orang lain ke atas kotak lift."Ini tidak masuk akal pak! Sangat sulit dipercaya secara logika!" Jack akhirnya menanggapi pertanyaan Raksa setelah lama terdiam dengan helaan nafas frustasi."Pembunuhan pertama juga tidak masuk diakal, bagaimana bisa seorang wanita yang memuja kecantikannya sendiri bisa melukai wajah –yang merupakan aset penting baginya. Dia bahkan menusuk dirinya sendiri." Dian berkata dengan tangan terlipat di dada."Jangan lupakan suara aneh itu! Aku rasa itu suara pembunuhnya, tapi masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal ini." Raksa menimpali.Airlangga yang sedari tadi sibuk dengan komputernya akhirnya bersuara, "Dapat!"Raksa, Jack, Dian dan juga Dex mengarahkan pandangan pada Airlangga. "Korban kedua Ronald Frederick, pria keturunan Indo-Inggris, usia tiga puluh dua tahun, pekerjaan building consultant, memiliki member VVIP di beberapa klub, dan coba tebak … mantan kekasih Amelia!" Airlangga memundurkan cepat kursi putarnya lalu memasang senyum terbaiknya."Bagaimana kau tahu itu?" Raksa bertanya memastikan."The power of social media, Sir!" Airlangga menjawab dengan menjentikkan jari. "Mereka putus sekitar tiga tahun lalu, ini membuat kekasih Amelia juga bisa jadi tersangka bukan?" Lanjutnya lagi."Semua orang bisa jadi tersangka. Coba telusuri pertemanan keduanya, kegiatan apa yang mereka lakukan bersama atau organisasi di sekolah, kantor, keluarga atau lingkungan sekitar. Cari kesamaannya dan persempit koneksi!""Siap, pak bos!" Airlangga dan Dian segera bekerjasama.Dex mendekati papan whiteboard. Ia memasang foto korban dan bukti-bukti pendukung serta memasang benang merah yang mengaitkan satu sama lain."Untuk sementara mereka baru terkait sebagai mantan pasangan dan …,""Member VVIP dari beberapa klub yang sama!" Airlangga kembali menimpali.Dex langsung mencatat poin kesamaan dari keduanya. "Apa kekasih Amelia juga memiliki hal yang sama?" Ia bertanya kemudian sambil mencatat informasi."Ehm, nope! Alan bersih, sepertinya dia bankir yang baik. Aku tidak menemukan jejak digital apa pun pada akunnya!" Airlangga menjawab cepat."Terlalu bersih untuk seorang bankir? Itu terlalu mencurigakan! Akunnya privasi?" Raksa bertanya pada Airlangga."Yup, aku akan membukanya sebentar!""Bagaimana rekaman cctv Jack? Ada yang mencurigakan?" Raksa memutar kursinya ke arah Jack.Jack memutar jarinya di pelipis, "Jangan tanyakan rekaman itu bos! Aku benar-benar dibuat pusing oleh rekaman sialan itu!""Tidak ada petunjuk?" Raksa memastikan."Nope, hanya terlihat lelaki berjaket hitam semua serba hitam dan dia sangat mengerti dimana letak cctv." Jack memejamkan mata, kepalanya pusing harus memeriksa sejumlah rekaman cctv.Ia membuka mata dan menegakkan bahunya. "Ajaibnya lelaki itu, wuuush … gone with the wind! Hilang begitu saja tanpa jejak!""Tangga darurat?" Raksa kembali bertanya sambil mengernyit.Jack menggeleng, "Dia masuk selang sepuluh menit setelah Ronald. Jam kematian Ronald diperkirakan sesuai dengan waktu dia menghilang. Seharusnya jika Ronald diserang, lelaki itu pasti menemukan jasadnya kan? Kecuali memang dia yang menjadi eksekutor!"Raksa menganggukkan kepala, "cctv dalam lift apa berfungsi?"Dex menyodorkan laptopnya pada Raksa, "Dia ketakutan. Tapi tak terlihat apa pun disana.""Lampu berkedip dan sempat mati, mungkin pembunuhnya masuk saat ini?" Raksa berasumsi."Negatif, Sir! Jaraknya hanya beberapa detik! Anggota SEAL sekalipun tidak akan bisa melakukannya!" Dex mementahkan asumsi Raksa."Hantu! Ini hanya bisa dilakukan hantu!" Dian memundurkan kursi putarnya, wajahnya pucat.Semua mata memandang Dian, termasuk Airlangga yang sedang memecahkan kode enkripsi. Mereka mendekat dan memperhatikan dari dekat rekaman cctv dalam lift yang kembali dilihat untuk kedua kalinya.Tampak Ronald ketakutan dan mengibas ngibaskan tangan. Lampu senternya menyala sesaat, ia bertingkah aneh, ketakutan dan akhirnya duduk memeluk dirinya disudut lift. Sesaat kemudian ia mendongak dan terlihat menjerit, lampu padam sejenak sebelum akhirnya menyala dalam hitungan detik dan Ronald menghilang."What the hell, apa apaan ini huh?! Dia pergi kemana? Apa itu trik kamera?" Jack mengumpat."Jumpscare?" Airlangga bertanya balik."Perhatikan penutup diatas, sudah terbuka! Apa kalian yakin Ronald jelmaan Spiderman? Dalam hitungan detik!" Dian menegaskan temuannya."Ghost? Ini pasti perbuatan hantu atau manusia super lainnya!" Dex berandai andai.Raksa tidak bereaksi banyak, matanya menangkap pantulan aneh di kaca dalam lift. 'Astaga itu kan?'Pandangan mata Raksa tiba-tiba saja menyempit, terfokus pada pantulan bayangan aneh. "Perempuan!" Pekiknya tertahan.Itu bayangan yang sama yang mengganggunya kemarin di basement! Raksa masih mengingat kejadian itu. Petunjuk menyeramkan yang menyapanya."Perempuan apa maksudmu? Pembunuhnya?" Jack bertanya kebingungan karena tingkah Raksa yang sedikit aneh.Raksa tak menjawab, dirinya tertarik masuk dalam dimensi berbeda dengan cepat. Merekonstruksi kejadian dalam lift. Raksa melihat dan merasakan emosi terakhir Ronald. Kengerian yang luar biasa saat lampu berkedip dan terhimpit dalam gelap.Raksa memperhatikan tiap sudut ruangan, ia tak bisa membayangkan jika dirinya ada disisi Ronald.Dia, ada disana!Dia harus mati … mati!Dia menginginkan ku, tubuhku!Dia, ada disana!Suara bisikan itu terus menerus silih berganti bersahutan, menimbulkan gaung mengerikan dalam ruangan sempit. Raksa seolah berputar dan terus berputar hingga akhirnya, suara jeritan Ronald terdengar nyaring dan lampu menyala.BRAAK!Langit-langit terbuka kasar, Raksa hanya melihat kedua kaki Ronald terangkat sesuatu tak kasat mata. Sunyi, sepi, hening, lalu …,Sepasang mata mengerikan dengan wajah tercabik penuh darah, berbau anyir dan busuk tiba-tiba saja berada tepat di depan wajah Raksa. Membuka mulutnya lebar-lebar dengan rongga mulut hitam sehitam arang.Aaaaarrgh!!Raksa terjengkang, kengerian luar biasa seketika menyergapnya. Aroma busuk darah membuat perutnya mual, keringat membanjir, nafasnya memburu cepat. Kedua mata Raksa terus menatap ke arah layar tanpa berkedip."Pak, kau baik-baik saja?!" Airlangga membantu Raksa berdiri."Ada apa, apa kau melihat sesuatu?" Jack yang usianya paling tua diantara para detektif muda itu bertanya heran pada Raksa.Wajah pucat Raksa cukup membuat rekan yang lain kebingungan. Dian mengulurkan segelas air pada Raksa."Minumlah, tenangkan dirimu pak!"Tanpa mengalihkan pandangan dari rekaman cctv Raksa meminum cepat dalam beberapa tegukan. Yang lain saling memandang dan tegang menunggu Raksa tenang."Apa kau sudah tenang Capt?" Jack kembali bertanya.Raksa menarik nafas panjang, "Yah, I'm ok!""Apa yang kau lihat?!" Mimik tegang bercampur serius kembali diperlihatkan Jack.Raksa menatap satu persatu rekan kerja yang menunggu jawabannya."Entahlah … sesuatu sedang berjalan tidak benar, itu yang aku tahu. Kita akan berhadapan dengan serial killer. Tapi siapa dan dimana korban selanjutnya hanya waktu yang akan menjawab."“Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula
“Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa
Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur
Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.
Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak
Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih