Share

Raksa oh Raksa

Penulis: Nathalie
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-30 15:37:36

"Hantu? Ayolah jangan membuatku tertawa, kawan! Mana mungkin hantu melakukan semua ini? Membunuh? Itu hanya cerita dalam film!" Budi mencibir pendapat Raksa, ia kembali memotret korban.

"Lalu bagaimana kalian menjelaskan tulisan dengan penuh darah ini?" Raksa berkata lirih memperhatikan. Tulisan di kaca bagian belakang mobil.

"Dia, ada disini? Apa maksudnya? Pelakunya, atau orang lain?" Raksa kembali bermonolog, memperhatikan dari dekat tulisan darah yang telah mengering.

Bau amis darah tercium Raksa, sedikit menyengat ditambah bau tak sedap yang menurutnya mirip bau daging busuk. Raksa mengendus-endus pakaiannya dan juga mencari ke sekeliling mobil.

"Hei, apa kalian mencium bau bangkai?"

Ia berseru pada kedua anggota Inafis yang masih sibuk mencatat.

Keduanya terlihat menggeleng bahkan Budi semakin sinis menanggapi setiap kalimat Raksa. Raksa tak kehilangan akal, ia mengambil kontak mobil yang masih menggantung di tempatnya lalu membuka bagasi belakang.

Dua atau mungkin tiga ekor lalat terbang mengitarinya. Raksa semakin curiga, apalagi dia melihat tetesan darah cukup banyak tepat di bawah bagasi mobil. Jantungnya sedikit terpompa lebih cepat, dengan perlahan dan berhati hati Raksa memutar kunci dan membuka pintu bagasi mobil.

Aroma tak sedap seketika menyeruak dari dalam bagasi mobil. Ia mengibaskan tangan dan sedikit terbatuk karena mencium gas dari hasil pembusukan yang mengendap. Kedua mata Raksa membulat sempurna, "mayat?"

Ia mencoba memastikan dengan menyentuh tubuh kaku kebiruan itu. Posisinya menekuk seperti bayi dengan tali jerami yang masih terikat kuat dibagian leher. Pakaiannya terkoyak dan luka lebar memanjang di betisnya terlihat sangat parah.

"Hei, ada mayat lagi disini! Sepertinya ini korban pertama, tubuhnya kaku dan mulai membusuk!" serunya lagi tanpa menengok ke arah dua orang berpakaian khusus itu.

Merasa tak ada respon dari kedua rekannya, Raksa dibuat penasaran tapi apa yang terjadi semakin membuatnya tercengang. Suasana basement yang ramai dikerumuni orang baik dari petugas maupun masyarakat sekitar tiba-tiba saja lengang bak tak berpenghuni.

Sunyi, sepi, dan menakutkan. Itu yang Raksa rasakan. "Dimana semua orang?"

Raksa hanya melihat papan-papan nomor yang diletakkan sesuai nomor bukti, entah kemana perginya Budi dan Andi. Raksa hendak berjalan mencari keduanya ketika tangan dingin menahannya pergi.

Dia, ada disana!

Suara bisikan halus yang meremangkan bulu kuduk terdengar jelas di telinga Raksa. Ia menoleh cepat ke bagian tubuh yang dicengkeram benda asing yang sangat dingin seperti es. Matanya terbelalak, tangan kebiruan dengan kuku jari mulai menghitam sedang mencengkram tangan Raksa.

Raksa, detektif yang mempercayai kehidupan lain disekitarnya itu menahan rasa ketakutannya. Perlahan ia melongok ke dalam bagasi tempat dimana mayat lain ditemukan. Matanya membelalak saat mendapati tubuh kaku itu telah berubah posisi. Wajah seram dengan mata hampir terlepas dari rongganya menatap Raksa tajam.

Dia, ada disana!

Makhluk itu kembali berbisik dengan suara paraunya. Leher yang masih terikat tali sedikit memperlihatkan jejak lebam yang mengintip dari balik lilitan tali jerami, menunjukkan kuatnya jeratan.

Sosok seram itu perlahan berdiri sehingga dirinya berada di posisi lebih tinggi dari Raksa.

Pembunuh!

"Siapa? Aku?" Raksa menguatkan tekad untuk bertanya meski dengan kalimat terbata-bata.

Tubuh sosok seram itu condong ke depan empat puluh lima derajat ke arah Raksa. Mendekatkan wajahnya pada sang detektif tampan, matanya nyalang memindai tubuh Raksa, kepalanya berputar seperti tak ada lagi tulang pada batang lehernya.

Bau busuk yang menyengat, tetesan darah kehitaman yang mengalir dari ujung jarinya, serta luka menganga yang mulai berbelatung membuat perut Raksa termasuk aduk.

Mata yang nyaris terlepas itu menatapnya, melirik liar Raksa lalu bergumam tak jelas di telinga detektif muda itu. Raksa bergidik ngeri, sapuan nafas berbau busuk dan juga rambut masai yang kaku oleh darah, membekukan tubuhnya.

*

*

*

"Apa kau baik-baik saja?" Andi menghampiri Raksa karena detektif itu diam mematung.

Andi dan Budi saling pandang, "apa yang terjadi?" Budi akhirnya menghampiri.

"Entahlah dia berteriak tentang mayat atau sesuatu? Lalu … dia, bertingkah aneh." jawab Andi melambai lambaikan tangan ke depan wajah Raksa.

"Mungkin masih jetlag, kabarnya dia pindahan dari kota di ujung timur pulau. Mungkin perjalanan panjang membuatnya kelelahan." Budi berasumsi.

Andi kembali berusaha menyadarkan Raksa dengan menepuk bahunya keras.

"Hei, detektif! Apa kau baik-baik saja?!"

Tepukan itu akhirnya berhasil membebaskan Raksa dari pandangan ilusinya. Samar-samar ia mendengar suara panggilan Andi hingga akhirnya berhasil mengedipkan mata.

"Detektif?" Suara Andi kembali terdengar ditelinga Raksa

"Apa?"

"Kau! Sesuatu terjadi? Kau bilang mayat atau sesuatu?" Andi bertanya lagi memastikan pendengarannya tidak salah.

"Oh ya, mayat! Kemarilah, aku menemukan mayat wanita ada di …," Raksa mengerjap tak percaya, sosok kaku yang meringkuk di bagasi itu menghilang.

"Kemana perginya dia?" gumamnya lirih,

"Pergi? Apa maksudmu?" Andi ikut melongok ke dalam bagasi dibuat heran dengan tingkah Raksa. "Memangnya ada sesuatu disini?"

Budi ikut melongok, "kau yakin ada sesuatu disini?"

"Aku benar-benar melihatnya tadi, mayat wanita yang membusuk dengan tali jerami terikat di leher." Raksa menjawab.

Andi memperhatikan ruangan dalam bagasi mobil tak ada bekas darah ataupun bau busuk yang sekiranya tercium dari mayat atau bangkai hewan.

"Tidak ada jejak apapun kawan! Sepertinya kau butuh beristirahat. Kembalilah ke kantor, minum kopi atau mungkin, kau butuh mengisi perutmu terlebih dahulu!" Andi berkata seraya berlalu dan kembali melakukan tugasnya.

Raksa diam mematung. Ia masih mengingat jelas wajah mengerikan, bau busuk dan tampilan sosok aneh itu. "Sial, aku bertemu dengan hantu lagi!"

Ini bukan kali pertama Raksa mengalami kejadian aneh seperti itu. Ditempatnya bertugas dulu, ia juga pernah mengalami hal yang sama. Pembunuhan berantai yang dilakukan dukun pengganda uang. Kasus yang cukup menghebohkan kala itu dan karena kasus itu juga ia berhasil dipromosikan dan menjadi detektif senior.

Raksa bukan indigo atau sejenisnya, ia juga menolak jika dikatakan sebagai manusia yang diberi kelebihan. Ia lebih suka dikatakan, beruntung. Raksa percaya pada konsep dunia lain yang hidup berdampingan, ia juga percaya bahwa korban-korban pembunuhan yang ditanganinya memiliki hak untuk diperlakukan secara adil. Ia tak menolak kehadiran para roh tersesat itu tapi terkadang keberadaan mereka juga mengganggunya.

Teleponnya berdering membuyarkan lamunan Raksa, "ya Bu, apa kabar?"

"Apa kau sudah sampai di sana? Kenapa tidak mengabari ibu? Ibu sangat khawatir."

"Maaf tidak sempat menelpon mu bu, semuanya serba mendadak."

"Ibu tahu, jaga dirimu baik-baik, jangan lupa makan dan beristirahat. Satu lagi, jangan pernah meninggalkan kalung itu. Kalung itu akan melindungi mu dari roh jahat."

Raksa tersenyum masam, ibunya tak pernah absen untuk mengingatkan Raksa tentang kalung perak berliontin aneh yang tak pernah lepas dari tubuhnya sejak berumur tiga belas tahun.

Raksa tersenyum bodoh saat menutup bagasi dan melihat pantulan wajahnya di kaca belakang mobil. Ia meraba kalung yang disembunyikan di balik kemejanya.

"Roh jahat, heh! Apa kuasaku untuk bisa menolak permintaanmu Bu!"

Konyol, itu yang dirasakan Raksa karena menurutnya roh jahat tetap saja mengganggu terlepas dari ia memakai kalung itu atau tidak. Selama ini Raksa hanya ingin menghormati ibunya, dan tidak menganggap istimewa kalung berliontin cakram bergerigi menyerupai mata tombak dengan huruf Jawa kuno terukir di lingkaran terdalam. Entah apa arti tulisan Jawa kuno itu, ibunya tak pernah mau menjelaskan pada Raksa.

Getaran aneh dirasakan Raksa usai menyentuh kalung itu, sesuatu mengawasinya dalam gelap. Raksa menoleh kebelakang memindai sekitar dan berharap menemukan pengintip usil yang mengusiknya.

Aku harap, bukan hantu lagi atau sejenisnya

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
🇳 🇱 🇿
klo Raksa menolak dikatakan indigo, die mo nya di sebut naon? wkwkwkwk 🫰
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dendam Sang Biduan    Akhir dari cerita

    “Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula

  • Dendam Sang Biduan    Penyergapan

    “Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa

  • Dendam Sang Biduan    Pengakuan Feni

    Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur

  • Dendam Sang Biduan    Agus sang eksekutor

    Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.

  • Dendam Sang Biduan    James, sang sutradara

    Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak

  • Dendam Sang Biduan    Airin

    Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status