"Hantu? Ayolah jangan membuatku tertawa, kawan! Mana mungkin hantu melakukan semua ini? Membunuh? Itu hanya cerita dalam film!" Budi mencibir pendapat Raksa, ia kembali memotret korban.
"Lalu bagaimana kalian menjelaskan tulisan dengan penuh darah ini?" Raksa berkata lirih memperhatikan. Tulisan di kaca bagian belakang mobil."Dia, ada disini? Apa maksudnya? Pelakunya, atau orang lain?" Raksa kembali bermonolog, memperhatikan dari dekat tulisan darah yang telah mengering.Bau amis darah tercium Raksa, sedikit menyengat ditambah bau tak sedap yang menurutnya mirip bau daging busuk. Raksa mengendus-endus pakaiannya dan juga mencari ke sekeliling mobil."Hei, apa kalian mencium bau bangkai?"Ia berseru pada kedua anggota Inafis yang masih sibuk mencatat.Keduanya terlihat menggeleng bahkan Budi semakin sinis menanggapi setiap kalimat Raksa. Raksa tak kehilangan akal, ia mengambil kontak mobil yang masih menggantung di tempatnya lalu membuka bagasi belakang.Dua atau mungkin tiga ekor lalat terbang mengitarinya. Raksa semakin curiga, apalagi dia melihat tetesan darah cukup banyak tepat di bawah bagasi mobil. Jantungnya sedikit terpompa lebih cepat, dengan perlahan dan berhati hati Raksa memutar kunci dan membuka pintu bagasi mobil.Aroma tak sedap seketika menyeruak dari dalam bagasi mobil. Ia mengibaskan tangan dan sedikit terbatuk karena mencium gas dari hasil pembusukan yang mengendap. Kedua mata Raksa membulat sempurna, "mayat?"Ia mencoba memastikan dengan menyentuh tubuh kaku kebiruan itu. Posisinya menekuk seperti bayi dengan tali jerami yang masih terikat kuat dibagian leher. Pakaiannya terkoyak dan luka lebar memanjang di betisnya terlihat sangat parah."Hei, ada mayat lagi disini! Sepertinya ini korban pertama, tubuhnya kaku dan mulai membusuk!" serunya lagi tanpa menengok ke arah dua orang berpakaian khusus itu.Merasa tak ada respon dari kedua rekannya, Raksa dibuat penasaran tapi apa yang terjadi semakin membuatnya tercengang. Suasana basement yang ramai dikerumuni orang baik dari petugas maupun masyarakat sekitar tiba-tiba saja lengang bak tak berpenghuni.Sunyi, sepi, dan menakutkan. Itu yang Raksa rasakan. "Dimana semua orang?"Raksa hanya melihat papan-papan nomor yang diletakkan sesuai nomor bukti, entah kemana perginya Budi dan Andi. Raksa hendak berjalan mencari keduanya ketika tangan dingin menahannya pergi.Dia, ada disana!Suara bisikan halus yang meremangkan bulu kuduk terdengar jelas di telinga Raksa. Ia menoleh cepat ke bagian tubuh yang dicengkeram benda asing yang sangat dingin seperti es. Matanya terbelalak, tangan kebiruan dengan kuku jari mulai menghitam sedang mencengkram tangan Raksa.Raksa, detektif yang mempercayai kehidupan lain disekitarnya itu menahan rasa ketakutannya. Perlahan ia melongok ke dalam bagasi tempat dimana mayat lain ditemukan. Matanya membelalak saat mendapati tubuh kaku itu telah berubah posisi. Wajah seram dengan mata hampir terlepas dari rongganya menatap Raksa tajam.Dia, ada disana!Makhluk itu kembali berbisik dengan suara paraunya. Leher yang masih terikat tali sedikit memperlihatkan jejak lebam yang mengintip dari balik lilitan tali jerami, menunjukkan kuatnya jeratan.Sosok seram itu perlahan berdiri sehingga dirinya berada di posisi lebih tinggi dari Raksa.Pembunuh!"Siapa? Aku?" Raksa menguatkan tekad untuk bertanya meski dengan kalimat terbata-bata.Tubuh sosok seram itu condong ke depan empat puluh lima derajat ke arah Raksa. Mendekatkan wajahnya pada sang detektif tampan, matanya nyalang memindai tubuh Raksa, kepalanya berputar seperti tak ada lagi tulang pada batang lehernya.Bau busuk yang menyengat, tetesan darah kehitaman yang mengalir dari ujung jarinya, serta luka menganga yang mulai berbelatung membuat perut Raksa termasuk aduk.Mata yang nyaris terlepas itu menatapnya, melirik liar Raksa lalu bergumam tak jelas di telinga detektif muda itu. Raksa bergidik ngeri, sapuan nafas berbau busuk dan juga rambut masai yang kaku oleh darah, membekukan tubuhnya.***"Apa kau baik-baik saja?" Andi menghampiri Raksa karena detektif itu diam mematung.Andi dan Budi saling pandang, "apa yang terjadi?" Budi akhirnya menghampiri."Entahlah dia berteriak tentang mayat atau sesuatu? Lalu … dia, bertingkah aneh." jawab Andi melambai lambaikan tangan ke depan wajah Raksa."Mungkin masih jetlag, kabarnya dia pindahan dari kota di ujung timur pulau. Mungkin perjalanan panjang membuatnya kelelahan." Budi berasumsi.Andi kembali berusaha menyadarkan Raksa dengan menepuk bahunya keras."Hei, detektif! Apa kau baik-baik saja?!"Tepukan itu akhirnya berhasil membebaskan Raksa dari pandangan ilusinya. Samar-samar ia mendengar suara panggilan Andi hingga akhirnya berhasil mengedipkan mata."Detektif?" Suara Andi kembali terdengar ditelinga Raksa"Apa?""Kau! Sesuatu terjadi? Kau bilang mayat atau sesuatu?" Andi bertanya lagi memastikan pendengarannya tidak salah."Oh ya, mayat! Kemarilah, aku menemukan mayat wanita ada di …," Raksa mengerjap tak percaya, sosok kaku yang meringkuk di bagasi itu menghilang."Kemana perginya dia?" gumamnya lirih,"Pergi? Apa maksudmu?" Andi ikut melongok ke dalam bagasi dibuat heran dengan tingkah Raksa. "Memangnya ada sesuatu disini?"Budi ikut melongok, "kau yakin ada sesuatu disini?""Aku benar-benar melihatnya tadi, mayat wanita yang membusuk dengan tali jerami terikat di leher." Raksa menjawab.Andi memperhatikan ruangan dalam bagasi mobil tak ada bekas darah ataupun bau busuk yang sekiranya tercium dari mayat atau bangkai hewan."Tidak ada jejak apapun kawan! Sepertinya kau butuh beristirahat. Kembalilah ke kantor, minum kopi atau mungkin, kau butuh mengisi perutmu terlebih dahulu!" Andi berkata seraya berlalu dan kembali melakukan tugasnya.Raksa diam mematung. Ia masih mengingat jelas wajah mengerikan, bau busuk dan tampilan sosok aneh itu. "Sial, aku bertemu dengan hantu lagi!"Ini bukan kali pertama Raksa mengalami kejadian aneh seperti itu. Ditempatnya bertugas dulu, ia juga pernah mengalami hal yang sama. Pembunuhan berantai yang dilakukan dukun pengganda uang. Kasus yang cukup menghebohkan kala itu dan karena kasus itu juga ia berhasil dipromosikan dan menjadi detektif senior.Raksa bukan indigo atau sejenisnya, ia juga menolak jika dikatakan sebagai manusia yang diberi kelebihan. Ia lebih suka dikatakan, beruntung. Raksa percaya pada konsep dunia lain yang hidup berdampingan, ia juga percaya bahwa korban-korban pembunuhan yang ditanganinya memiliki hak untuk diperlakukan secara adil. Ia tak menolak kehadiran para roh tersesat itu tapi terkadang keberadaan mereka juga mengganggunya.Teleponnya berdering membuyarkan lamunan Raksa, "ya Bu, apa kabar?""Apa kau sudah sampai di sana? Kenapa tidak mengabari ibu? Ibu sangat khawatir.""Maaf tidak sempat menelpon mu bu, semuanya serba mendadak.""Ibu tahu, jaga dirimu baik-baik, jangan lupa makan dan beristirahat. Satu lagi, jangan pernah meninggalkan kalung itu. Kalung itu akan melindungi mu dari roh jahat."Raksa tersenyum masam, ibunya tak pernah absen untuk mengingatkan Raksa tentang kalung perak berliontin aneh yang tak pernah lepas dari tubuhnya sejak berumur tiga belas tahun.Raksa tersenyum bodoh saat menutup bagasi dan melihat pantulan wajahnya di kaca belakang mobil. Ia meraba kalung yang disembunyikan di balik kemejanya."Roh jahat, heh! Apa kuasaku untuk bisa menolak permintaanmu Bu!"Konyol, itu yang dirasakan Raksa karena menurutnya roh jahat tetap saja mengganggu terlepas dari ia memakai kalung itu atau tidak. Selama ini Raksa hanya ingin menghormati ibunya, dan tidak menganggap istimewa kalung berliontin cakram bergerigi menyerupai mata tombak dengan huruf Jawa kuno terukir di lingkaran terdalam. Entah apa arti tulisan Jawa kuno itu, ibunya tak pernah mau menjelaskan pada Raksa.Getaran aneh dirasakan Raksa usai menyentuh kalung itu, sesuatu mengawasinya dalam gelap. Raksa menoleh kebelakang memindai sekitar dan berharap menemukan pengintip usil yang mengusiknya.Aku harap, bukan hantu lagi atau sejenisnyaSeorang wanita gemetar memperhatikan Raksa dari balik tiang besar. Kerumunan orang dan petugas kepolisian yang berlalu lalang memancing perhatiannya. Wanita itu salah satu pekerja di gedung perkantoran. Rasa penasarannya membuat ia nekat menyelinap diam-diam. Dari bisikan yang masuk ke telinganya, telah terjadi pembunuhan di basement. Mayat wanita ditemukan tewas dengan sejumlah luka tusuk pada wajah dan tubuhnya. Beruntung, ia memiliki kartu pass yang membuatnya bisa melewati penjagaan ketat petugas keamanan.Wanita itu langsung menuju basement demi memuaskan rasa penasarannya. Tapi betapa terkejutnya ia saat tiba di lokasi pembunuhan dan mengetahui siapa yang terbunuh. Wanita itu tak mampu lagi menahan rasa ketakutannya. Tangannya gemetar, wajah cantiknya memucat. Ia menutup mulut agar suara tangisannya tak terdengar."Bukan, itu bukan dia kan?" Gumam wanita itu lirih di sela air mata yang membasahi pipinya.Wanita itu terkesiap saat matanya beradu dengan Raksa, detektif muda itu m
Raksa dan Airlangga dibuat penasaran dengan suara tawa ganjil di akhir video. Bagi Raksa suara itu mirip dengan yang ada dalam ilusi nya. Airlangga kembali memutar video, memotong bagian yang tak perlu dan memperjelas suara."Dengarkan ini pak, ada suara yang sama sesaat sebelum teriakan Amelia."Airlangga memperdengarkan suara yang sudah diperhalus sehingga menajamkan kalimat yang terekam.Kau, harus mati!Suara itu terdengar begitu cepat dan lirih lebih mirip gumaman hingga telinga Raksa tidak terlalu bisa memahami. "Kita dengarkan sekali lagi," Airlangga melambatkan rentang waktu, mengeraskan suara.Kau, harus mati!"Bagaimana menurutmu?" Raksa bertanya pada dua rekannya.Dian mengusap tengkuknya. "Jujur, saya merinding. Suara ini seperti bukan suara manusia, ini seperti suara …,""Setan?" Airlangga menyambar."Yeah, seperti itulah." Jawab Dian tak yakin.Raksa tersenyum masam melihat tingkah dua rekan sejawatnya itu. Andai dia tidak terbiasa dengan kehadiran para roh bisa dipasti
Raksa menyesap kopinya, menikmati pahit dan harumnya kopi yang menyelusup di indra pengecap dan penciumannya. Ia menunggu dokter Frans keluar dari ruangan otopsi."Apa otopsinya sudah selesai?" Dian berjalan mendekat, wajahnya masih terlihat pucat."Hem, sudah tinggal menunggu hasilnya.""Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Raksa sedikit mengkhawatirkan kondisi rekannya."Sedikit pusing tapi kafein pasti membantu."Tak lama kemudian dokter Frans keluar ruangan. Ia membawa salinan hasil otopsi untuk Raksa."Maaf sedikit lama. Ini hasilnya, dari bentuk luka yang ada di tubuhnya tidak menunjukkan keragu raguan. Sembilan tusukan di perut dan satu tepat melubangi jantung. Kami menyimpulkan, Amelia melakukannya sendiri.""Apa? Itu mustahil, satu tusukan saja biasanya cukup membuat pelaku bunuh diri ragu. Tusukan kedua biasanya tidak terlalu dalam, rasa takut mati akan menguasai." Dian mencoba mematahkan pendapat forensik.Dokter Frans menaikkan sudut bibirnya. "Faktanya begitu, semu
Raksa memperhatikan dengan seksama hasil temuan para penyelidiknya. Kasus kedua di sebuah apartemen memiliki kemiripan dengan kasus Amelia. Ditemukannya pesan yang sama 'Dia, ada disana!'Dua tim dengan kasus yang berbeda duduk bersama di ruangan meeting. Raksa dan Jack memutar otak, memperhatikan bukti pendukung yang didapat dari dua pembunuhan misterius yang hanya berjarak beberapa jam saja.Raksa mengetuk ngetukkan penanya di atas meja. Tangan yang lain mengurut dahinya yang mulai berminyak. "Apa menurutmu ini dilakukan orang yang sama?"Jack tak menjawab, ia terlihat berpikir keras. Bagaimana tidak mayat kedua ditemukan mengenaskan dengan leher tergorok di atas lift. Sebuah pertanyaan besar bergelayut di kepalanya. Bagaimana cara manusia biasa menarik tubuh Ronald yang berbobot enam puluh tujuh kilogram tanpa bantuan orang lain ke atas kotak lift."Ini tidak masuk akal pak! Sangat sulit dipercaya secara logika!" Jack akhirnya menanggapi pertanyaan Raksa setelah lama terdiam dengan
Raksa merebahkan tubuh letihnya di ranjang king size nan empuk. Ia menatap langit-langit kamar, lalu memejamkan mata menetralkan rasa dari pandangan-pandangan tak biasa yang menderanya seharian."Bad day, bad case, bad body! Lengkap sudah!" Keluhnya sambil memijat kening.Ia membiarkan televisi layar datar di kamarnya menyala, menampilkan tayangan komedi favoritnya. Suara tawa dan banyolan lucu terdengar memenuhi kamar, tapi Raksa sama sekali tak berniat melihatnya. Ia lelah sekali, berkali kali mendapat visi tentang kematian mengerikan membuat energi Raksa tak seimbang.Memiliki kemampuan tak biasa memang sangat menyiksanya. Selain menguras energi, kemampuan itu juga membuatnya tersiksa. Raksa selalu menolak kemampuan alaminya tapi di sisi lain ia juga kerap manfaatkan. Raksa belum bisa memahami apa yang menjadi takdir hidupnya.Detektif muda itu membuka laci nakas disamping tempat tidur, mengambil botol berisi obat dari dokter langganannya. Anti depresan.Raksa mendengus kasar, dira
Pagi ini Raksa kembali disibukkan dengan kegiatan investigasi. Kekasih Amelia, Alan akhirnya datang memenuhi panggilan penyidikan. Ia datang didampingi pengacara, cukup cerdik atau mungkin Alan memang tidak ingin menghabiskan waktunya di ruang investigasi.Airlangga ditugaskan untuk menyelidiki alibi Alan diruang terpisah sementara Dian menginterogasi Alan dengan list pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Lima belas pertanyaan telah disiapkan untuk Alan termasuk memastikan Alan berada diluar kota saat kejadian.Raksa diam memantau gerak gerik Alan dari layar monitor. Sesekali ia menggigit jari telunjuknya."Dia benar-benar ada diluar kota saat kejadian, pak." Airlangga berkata setelah beberapa saat meneliti alibi Alan"Benarkah? Orang itu, sepertinya aku pernah kenal tapi dimana?" Raksa terus mengawasi lelaki muda bergaya metropolis yang sedang menjawab pertanyaan Dian."Dia brand ambassador dari produk kosmetik pria sekaligus bankir. Wajahnya banyak terpampang di banner tempat
Airlangga menunjukkan pada Jack beberapa potong gambar yang mencitrakan pria berjaket hitam dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya. "Lihat ini, dia tertangkap cctv berjalan sambil memantau keadaan menuju lift.""Perkiraan jam dengan kematian R?" tanya Jack memperhatikan layar."Hanya seper sekian detik dari rekaman yang ditunjukkan dalam lift.""No way! Apa dia cenayang yang bisa meramalkan kematian seseorang atau justru dia yang merencanakan semuanya?" Jack terbelalak dan menarik kursi putar di dekat Airlangga untuk melihat lebih jelas.Ia mengernyit dan beberapa kali meminta putar ulang tayangan pada Airlangga. "Ini … aneh sekali."Jack memundurkan kursi dan menyandarkan punggungnya. "Apa kau juga sependapat denganku?"Airlangga mengangguk, "Bahkan jika kita membandingkan dua video dalam lift dan di luar lift sama sekali tidak ada sosok pria ini masuk. Lalu bagaimana dia menghilang? Atau dia memang tidak pernah masuk ke dalam lift?""Entahlah, tapi setidaknya kita memiliki g
Pertemuan Raksa dengan kawan lama nya Willy, membuat cerita baru bagi perjalanan karir perdananya di kota ini. Airin duduk manis mendengarkan sambil sesekali mencatat hal penting tentang perubahan sikap Raksa. Sebagai dokter kejiwaan yang tertanggung jawab pada pasien, Airin memperhatikan setiap perubahan ekspresi Raksa.Meski Raksa tidak meminta, tapi Airin tetap melakukannya. Sebulan tidak bertemu detektif muda itu, hatinya bergejolak. Ada rindu yang mulai menggelitik Airin. Hatinya menghangat saat melihat Raksa tertawa."Wil, maksud kamu siapa yang mati? Aku ketinggalan berita sepertinya!" Raksa mulai berbicara serius setelah basa basi tentang kenangan masa SMA.Willy celingukan, "Kita bicara di kantorku, nggak enak kalau sampai terdengar yang lain.""Ehm, dia pacar atau calon istri?" Willy menoleh pada Airin."Saya Airin, temannya." Airin tersenyum menjawab pertanyaan Willy."Oh, maaf aku terlalu asik bernostalgia sampai lupa ada kamu disini. Ayo kita masuk ke dalam."Raksa dan Ai