Home / Romansa / Dendam Sang Pewaris / Bab 4: Titik Balik yang Tak Terhindarkan

Share

Bab 4: Titik Balik yang Tak Terhindarkan

Author: drhell
last update Huling Na-update: 2024-06-21 13:00:21

 

Farhan menatap layar ponsel di tangannya yang tiba-tiba mati. Ia beralih menatap Anisa dengan pandangan yang sulit dibaca—kombinasi antara kemarahan dan perhitungan. Suasana di antara mereka terasa begitu tegang hingga Anisa merasa udara di ruangan itu semakin tipis.

“Kamu tahu apa tentang ini?” Farhan akhirnya berbicara, suaranya rendah dan terkontrol.

Anisa mencoba menguasai dirinya. Ia tahu jika ia menunjukkan ketakutan, Farhan akan semakin merasa berkuasa. “Aku tahu cukup untuk menyadari ada sesuatu yang tidak kamu ceritakan padaku.”

Farhan menyipitkan matanya, mendekatkan tubuhnya ke arah Anisa. “Dan kamu pikir dengan mencari tahu sendiri, semuanya akan jadi lebih baik?”

Anisa menahan napas, tetapi ia tetap berdiri tegak. “Aku hanya ingin tahu kebenaran, Farhan. Kalau kamu tidak bisa memberitahuku, maka aku akan mencari tahu sendiri.”

Farhan tertawa kecil, tetapi tawanya tidak menunjukkan rasa humor. “Kebenaran? Kamu tidak akan tahan dengan kebenaran.”

Kata-katanya menusuk hati Anisa, tetapi ia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia hanya menatap Farhan, menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

“Ini peringatan terakhirku,” Farhan melanjutkan, suaranya menjadi lebih dingin. “Berhenti mencampuri urusan yang bukan urusanmu. Kalau tidak, kamu yang akan rugi.”

Ia melempar ponsel itu ke atas meja dengan kasar sebelum berbalik dan pergi ke kamar. Pintu kamar ditutup dengan keras, membuat Adit yang tidur di kamar sebelah terbangun dan menangis.


Anisa segera berlari ke kamar Adit, mendapati anaknya duduk di tempat tidur sambil mengusap matanya. “Mama?” suara Adit terdengar kecil dan lemah.

Anisa duduk di sampingnya, membelai rambut anaknya dengan lembut. “Iya, sayang. Mama di sini. Jangan takut.”

Adit memeluknya erat, membuat Anisa merasa dadanya sesak. Di tengah semua kekacauan ini, ia tahu satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan Adit tumbuh dalam lingkungan seperti ini.

Ketika Adit akhirnya tertidur kembali, Anisa duduk di kursi dekat jendela, memandangi bulan yang bersinar redup di langit malam. Hatinya penuh dengan campuran emosi—marah, kecewa, dan juga takut. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain: keberanian yang perlahan tumbuh.

Ia tahu bahwa ia harus bertindak. Jika ia tetap diam, semuanya akan semakin buruk, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Adit.


Keesokan harinya, suasana rumah tetap tegang. Farhan bersikap seperti biasanya, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, Anisa tahu bahwa di bawah permukaan, sesuatu sedang berkembang.

Setelah Farhan pergi bekerja, Anisa duduk di meja makan, memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa ia membutuhkan bukti yang lebih kuat untuk menghadapi suaminya. Tetapi ia juga tahu bahwa mencari bukti itu berarti mengambil risiko besar.

Ia mengambil ponselnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang Melisa. Setelah beberapa saat, ia menemukan sesuatu yang menarik: sebuah postingan di media sosial Melisa yang menunjukkan ia sedang makan malam di sebuah restoran mewah.

Anisa memperhatikan detail dalam foto itu—tanggal, waktu, dan bahkan dekorasi restoran yang terlihat di latar belakang. Semua itu memberinya petunjuk tentang kebiasaan Melisa, sesuatu yang bisa ia gunakan nanti.


Sore itu, Anisa memutuskan untuk keluar rumah. Ia mengatakan kepada mertuanya bahwa ia ingin membeli kebutuhan rumah tangga, meski sebenarnya ia punya rencana lain.

Ia pergi ke sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi orang, tempat di mana ia bisa berpikir dengan tenang. Di sana, ia membuka laptopnya dan mulai mencari informasi tentang Farhan dan perusahaannya.

Ia menemukan sesuatu yang mengejutkan: laporan keuangan perusahaan menunjukkan adanya transaksi besar yang tidak wajar, yang terjadi hanya beberapa bulan terakhir. Transaksi itu terlihat seperti pembayaran untuk sesuatu yang tidak berhubungan dengan bisnis perusahaan.

Hati Anisa berdegup kencang. Ia tahu bahwa ia mungkin sedang menemukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar perselingkuhan.


Ketika malam tiba, Anisa kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Farhan sudah di rumah, tetapi ia tampak sibuk dengan teleponnya. Anisa memperhatikannya dari jauh, mencoba mencari tahu apa yang sedang dibicarakannya.

“Ya, aku tahu. Tapi kita harus berhati-hati. Dia mulai mencurigai sesuatu,” kata Farhan di telepon, suaranya rendah tetapi cukup jelas untuk didengar Anisa.

Jantung Anisa berdegup kencang. Ia tahu bahwa kata-kata itu ditujukan padanya.

Farhan menutup teleponnya dan berbalik, tetapi ia tidak menyadari bahwa Anisa sedang mengamatinya dari balik pintu.


Malam itu, setelah memastikan semua orang di rumah sudah tidur, Anisa mengambil langkah yang lebih berani. Ia membuka laptop Farhan yang disimpan di ruang kerjanya. Dengan hati-hati, ia mencoba menebak kata sandi laptop itu.

Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya ia berhasil membukanya. Di dalam laptop itu, ia menemukan dokumen-dokumen yang mencurigakan—kontrak, laporan keuangan, dan bahkan beberapa email yang menunjukkan bahwa Farhan terlibat dalam sesuatu yang ilegal.

Namun, sebelum ia bisa membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat. Anisa buru-buru menutup laptop itu dan mematikan lampu ruang kerja, bersembunyi di balik pintu.

Pintu ruang kerja terbuka, dan Farhan berdiri di sana, matanya menyapu ruangan.

“Siapa di sini?” tanyanya dengan suara dingin.

Anisa menahan napas, berusaha agar tidak terdengar. Ia tahu bahwa jika Farhan menemukannya di sini, semuanya bisa berakhir buruk.

Farhan berjalan ke arah meja kerja, menyalakan lampu, dan menatap laptopnya yang masih menyala di layar login. Ia menyipitkan mata, menyadari ada sesuatu yang tidak beres. “Ada yang bermain-main dengan aku,” gumamnya pelan. Anisa tetap bersembunyi, berharap Farhan tidak menemukannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 31: Pelarian di Tengah Kegelapan

    Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 30: Pelarian yang Penuh Ketegangan

    Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 29: Kejaran Tanpa Henti

    Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 28: Perlawanan yang Tak Terduga

    Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 27: Jalan Berliku yang Tak Terduga

    Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 26: Titik Balik dalam Kegelapan

    Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status