Anisa duduk diam di kamar, memeluk lututnya. Pikirannya kacau setelah kejadian tadi malam. Ia hampir tertangkap oleh Farhan saat mencoba mengakses laptopnya. Ketika bayangan wajah marah Farhan terlintas, ia merasa napasnya tercekat.
Namun, rasa takut itu tidak menghentikannya. Jika ia menyerah sekarang, Farhan akan terus memegang kendali atas hidupnya. Pikirannya kembali pada dokumen-dokumen yang sempat ia lihat. Meski hanya sebentar, ia menangkap cukup banyak petunjuk. Ada angka besar yang dipindahkan ke rekening tak dikenal, dan ada beberapa nama asing yang sering muncul dalam email Farhan.
“Apa ini semua ada hubungannya dengan pekerjaannya? Atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?” gumam Anisa pelan.
Pagi itu, Farhan tampak lebih pendiam dari biasanya. Ia menatap Anisa sesekali saat sarapan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ketegangan di udara terasa begitu nyata sehingga bahkan mertuanya, Bu Asni, ikut memperhatikan.
“Kalian berdua ada masalah?” tanya Bu Asni dengan nada menyelidik.
“Tidak ada apa-apa, Bu,” jawab Farhan cepat, sambil menyeringai tipis. “Mungkin Anisa cuma kelelahan.”
Anisa tersenyum kecil, tetapi senyuman itu tidak sampai ke matanya. Ia merasa seperti sedang diawasi, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.
Setelah Farhan pergi bekerja, Anisa mencoba menyusun rencana. Ia tahu bahwa untuk menghadapi Farhan, ia membutuhkan bukti yang lebih kuat. Dokumen dari laptop tadi malam adalah awal yang bagus, tetapi ia tidak bisa mendapatkannya tanpa risiko besar.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu—sebuah ingatan dari percakapan mereka beberapa bulan lalu. Farhan pernah menyebutkan tentang kantor cabang baru yang dibuka di luar kota. Anisa yakin ada sesuatu yang penting di sana.
“Aku harus pergi ke sana,” pikirnya.
Namun, ia tahu bahwa rencananya ini berbahaya. Jika Farhan mengetahui langkahnya, ia bisa kehilangan segalanya, termasuk hak asuh Adit.
Malam itu, setelah memastikan Adit sudah tertidur, Anisa mencoba menelepon sahabat lamanya, Lia. Meski mereka sudah jarang berkomunikasi sejak Anisa menikah, Lia adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini.
“Lia, aku butuh bantuanmu,” kata Anisa dengan nada rendah.
“Anisa? Sudah lama sekali kamu nggak hubungi aku. Ada apa?” suara Lia terdengar penuh perhatian.
Anisa menjelaskan situasinya dengan singkat. Ia tidak menyebutkan semua detail, tetapi cukup bagi Lia untuk memahami bahwa Anisa sedang berada dalam masalah besar.
“Aku bisa bantu, tapi kamu harus hati-hati. Farhan itu licik,” kata Lia.
“Aku tahu. Itulah kenapa aku butuh seseorang yang bisa aku percaya,” jawab Anisa.
Mereka menyusun rencana. Lia akan membantu Anisa mengakses informasi tentang kantor cabang Farhan. Sementara itu, Anisa akan mencoba mencari bukti lebih lanjut di rumah.
Keesokan harinya, Anisa pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Tetapi, tujuan sebenarnya adalah bertemu dengan Lia di sebuah kafe kecil di dekat sana.
Ketika mereka bertemu, Anisa merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Lia, dengan senyumnya yang hangat, memberinya rasa aman yang sudah lama hilang dari hidupnya.
“Aku sudah cek kantor cabang itu,” kata Lia sambil menyerahkan beberapa lembar dokumen. “Ada sesuatu yang aneh di sana. Mereka sering menerima pengiriman besar, tapi nggak ada catatan transaksi resmi.”
Anisa membaca dokumen itu dengan saksama. Dokumen-dokumen itu menunjukkan pola yang mencurigakan—pengiriman dalam jumlah besar ke alamat tertentu, tetapi tidak pernah ada laporan penerimaan.
“Ini bisa jadi bukti awal,” kata Anisa dengan mata yang berbinar.
Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, Anisa merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Ia menoleh cepat, tetapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan.
“Kamu kenapa?” tanya Lia.
“Nggak apa-apa. Aku cuma merasa ada yang aneh,” jawab Anisa, meski hatinya merasa tidak tenang.
Ketika Anisa kembali ke rumah, ia mendapati Farhan sudah di sana, duduk di ruang tamu dengan wajah serius. Di atas meja, ada sebuah dokumen yang terlihat familiar.
“Dari mana saja kamu?” tanya Farhan dengan nada tajam.
“Ke pasar, seperti biasa,” jawab Anisa sambil mencoba terlihat tenang.
Farhan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mencoba membaca pikirannya.
“Aku dengar kamu bertemu dengan seseorang hari ini,” katanya akhirnya.
Jantung Anisa berdetak kencang. Apakah Farhan sudah tahu tentang pertemuannya dengan Lia? Atau ini hanya tebakan?
“Aku ketemu penjual langganan di pasar. Kenapa?” jawab Anisa, mencoba terdengar santai.
Farhan berdiri dan mendekatinya. “Kalau aku tahu kamu mencoba sesuatu yang aneh, kamu tahu apa akibatnya, kan?”
Anisa hanya diam, tetapi di dalam hatinya, ia merasa marah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan seperti ini.
Malam itu, setelah Farhan tertidur, Anisa kembali ke ruang kerja. Ia harus mengambil risiko untuk mendapatkan dokumen-dokumen itu. Namun, ketika ia membuka laptop Farhan, ia mendapati bahwa laptop itu sekarang dilindungi dengan sistem keamanan yang lebih ketat.
Ia mencoba beberapa kali, tetapi tidak berhasil. Di saat yang sama, ia mendengar suara langkah kaki dari luar ruangan.
Anisa segera mematikan laptop dan bersembunyi di balik lemari.
Farhan masuk ke ruang kerja, matanya menyapu ruangan dengan hati-hati. Ia berjalan ke meja kerja, memeriksa laptopnya, lalu menatap sekeliling.
“Kalau kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku, kamu salah besar,” gumamnya sebelum meninggalkan ruangan.
Ketika Anisa keluar dari persembunyian, ia menemukan sebuah catatan kecil di bawah laptop Farhan yang bertuliskan, “Kamu tidak akan pernah menang.”
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga