Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.
Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi“Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab
Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku
Di dalam hutan yang gelap dan angker, tampak seorang gadis muda yang ketakutan dan putus asa. Tubuhnya terikat pada pohon besar yang kering dengan tali tepat di tepi telaga yang bernama Telaga Terkutuk. Kilatan petir yang terhalang pepohonan menerobos rimbunnya dedaunan.Gadis itu, bernama Dwi Ningsih yang biasa di panggil dengan Ningsih. Jantungnya berdegup kencang, matanya berkaca-kaca karena air mata yang mengalir tanpa henti. Serangga malam enggan bersuara karena keadaan yang mencekam.Di depannya, tampak dua orang lelaki berdiri di derasnya hujan dan suara petir menyambar. Mereka membiarkan seorang wanita terikat pada sebuah pohon yang sudah mengering, hingga tampak ranting kering nan rapuh, tiupan angin kencang menggoyangkan ranting kering yang bisa patah kapan saja. Kedua lelaki itu adalah pengabdi iblis yang bersemayam di telaga."Jangan ... Mas, aku mohon. Kasihan Ibu, tolong lepaskan aku." Pinta seorang wanita muda dengan ketakutan. "Hahahaha ... Tidak akan. Aku akan menikah
Marwoto melemparkan sesuatu yang berada di telapak tangannya tadi, lalu berdiri di sudut kamarnya. Matanya memandang keliling kamarnya yang remang. Hanya ada satu lampu minyak berukuran kecil di dekatnya berdiri sekarang. Lelaki itu merapatkan tubuhnya ke dinding kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu itu. Anehnya, ibunya seperti tak mendengar suaranya, padahal, kamarnya tepat berada di sebelahnya. Raut wajah ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Tiba-tiba terdengar suara seperti menggaruk kayu dengan kuku di jendelanya.Dengan kaki gemetar dan takut, lelaki itu pun menuju jendela dan membukanya. Tidak ada apapun. Saat akan menutup kembali jendelanya, sesuatu menahan jendelanya, Marwoto berusaha menarik nya dengan paksa. Ternyata, tangan tanpa daging sedang menahan jendelanya.Marwoto jatuh terjengkang, kini, tubuh Ningsih menembus dinding, lalu mendekati dirinya."Ah ... Jangan bunuh aku, Ningsih, aku terpaksa, sungguh," ucap Marwoto ketakutan.Bau pesing pun menguar memenuhi ron
Pertarungan Darman dan para peri itu berlangsung sengit, yang berakhir dengan Sembolo terluka dan keluar dari tubuh inangnya, yaitu Darman.Tubuh Darman pun ambruk. Peri-peri itu pun menghilang setelah mendengar suara suitan dari sosok bayangan hitam. Angin pun berhenti, berganti suara yang mirip seperti lolongan.Sosok Ningsih mendekati Darman perlahan, lelaki itu berusaha menggerakkan tubuhnya agar bisa lari. Ningsih mengangkat tubuh Darman dengan cara mencekiknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang berkuku tajam itu mengoyak dada kirinya mengambil jantung dan menyumpal mulut lelaki itu dengan organ tubuhnya sendiri."Aaaaah," teriak Sukemi.Ningsih melempar tubuh Darman ke arah wanita itu. Seketika tubuhnya ambruk. Aroma busuk dan wangi bunga kembali menguar, suara melengking pun menggema, terdengar hingga ke seluruh desa itu.Sukemi semakin berduka dengan kematian kedua putranya sekaligus. Wanita malang itu seketika di anggap gila dan warga meminta agar dirawat ol
Manto yang baru saja hendak tertidur, tiba-tiba terdengar bunyi kaca jendela seperti diketuk. Lelaki itu turun dari ranjang dengan malas, lalu menuju arah jendela dan menyibak kain gorden."Tidak ada apapun, ganggu aja," ujarnya.Lelaki itu kembali menuju ranjangnya. Saat akan memejamkan matanya, suara itu kembali terdengar. Manto kesal sekali."Hei ... Kalau kau macam-macam, aku akan membunuhmu!" hardik lelaki itu.Lagi-lagi Manto menuju jendela dan menyibakkan gordennya, tetap tidak nampak apapun, selain aroma busuk mulai menguar. Semilir angin yang datang tiba-tiba membuat bulu kuduknya merinding. Dia mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.Saat akan menutup gorden nampak seraut wajah pucat yang menempel pada kaca jendela dan mulai masuk dengan menembus kaca.Manto terjengkang ke belakang karena terkejut. Seraut wajah itu menembus jendela secara perlahan, kini sudah lengkap dengan seluruh tubuhnya. "Pergi kau setan ... Atau aku akan membunuhmu dan kau mati dua kali," usir
"Den Ayu?" ujar Ningsih. Sosok itu pun menghilang. * * * _Juni 2020_ "Aaaah, tolong ... " Rendra segera berlari menuju arah suara itu. Tampak olehnya seorang lelaki berseragam SMA berada di tengah kebun jagung miliknya. "Kamu siapa? Kenapa kamu ada di kebun jagungku sore begini?" tanya Rendra. Lelaki itu membantu anak SMA itu berdiri. "Saya Adnan, Mas. Asal saya dari Desa Dukuh Seribu, di Kota Kijang ini, saya sekolah," jawab Adnan.Rendra melihat saku di dada kiri lelaki itu sedikit terkoyak, dan terdapat lima buah titik hitam seperti terkena sejenis benda tajam. Melihat Rendra memperhatikan dada kirinya, Adnan pun melihat ke arah yang sama. Lelaki itu terkejut melihat tanda itu. Lalu menatap Rendra."Apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi? Ayo ku antar pulang, sebentar lagi maghrib. Ceritakan di perjalanan," desak Rendra. Anak muda itu pun mengikuti langkah Rendra dan duduk di belakangnya. "Tadi sepulang sekolah, ada wanita cantik dengan wajah pucat Mas, lalu mengajakku p
"Sosok itu, katanya akan kembali," jawab Wahiru. Rendra menghela napasnya. Lalu beranjak menuju tempat tidur, trisula kembar pun segera menghilang. Lelaki itu memikirkan apa sebenarnya alasan sosok yang mengejar hingga ke rumahnya? Berbagai macam pertanyaan pun berputar di benaknya, hingga lelaki itu terlelap dan lupa membaca doa sebelum tidur. Angin bertiup semilir, gesekan daun dan ranting sesekali terdengar. Suara daun kering gugur tersapu angin pun terdengar seperti langkah tanpa wujud. "Hey, Kejam sekali kalian. Heeey!" teriak seorang lelaki mengigau. Sesosok putih berambut panjang dan acak-acakan pun mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki yang sepertinya sedang bermimpi itu. "Semprul! Dasar setan, seenaknya aja nempelin muka di mukaku. Bukan mahram, pea. Ternoda sudah wajah tampanku," gerutu Rendra. Lelaki itu menggerutu sambil menampar sosok berambut panjang. Sosok itu pun terlempar dan menghilang di balik dinding. Rendra pun kini tidur menyamping dan meraih guling deng