Share

Duka Beruntun

Penulis: Dinara Sofia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-13 10:36:47

Pertarungan Darman dan para peri itu berlangsung sengit, yang berakhir dengan Sembolo terluka dan keluar dari tubuh inangnya, yaitu Darman.

Tubuh Darman pun ambruk. Peri-peri itu pun menghilang setelah mendengar suara suitan dari sosok bayangan hitam. Angin pun berhenti, berganti suara yang mirip seperti lolongan.

Sosok Ningsih mendekati Darman perlahan, lelaki itu berusaha menggerakkan tubuhnya agar bisa lari. Ningsih mengangkat tubuh Darman dengan cara mencekiknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang berkuku tajam itu mengoyak dada kirinya mengambil jantung dan menyumpal mulut lelaki itu dengan organ tubuhnya sendiri.

"Aaaaah," teriak Sukemi.

Ningsih melempar tubuh Darman ke arah wanita itu. Seketika tubuhnya ambruk. Aroma busuk dan wangi bunga kembali menguar, suara melengking pun menggema, terdengar hingga ke seluruh desa itu.

Sukemi semakin berduka dengan kematian kedua putranya sekaligus. Wanita malang itu seketika di anggap gila dan warga meminta agar dirawat oleh Puspa menantunya.

"Haih ... Menyusahkan saja wanita gila ini. Mana aku lagi hamil tua seperti ini, untung saja harta yang ditinggalkan anak-anaknya sangat banyak, jadi aku bisa merawat dan bersikap baik padanya," umpat Puspa.

Sukemi meliriknya tajam, lalu memandang kosong. Ada rasa penyesalan di hatinya. Wanita itu ikut andil dalam menyumbang pikiran kepada Marwoto agar menjadikan Puspa sebagai istrinya karena menurutnya sudah berhasil memenangkan hatinya. Padahal, tujuan utama Puspa adalah menikah dengan Darman sebagai istri ketiganya.

Keadaan Desa Dukun Seribu kembali tenang, meski sesekali teror mengetuk jendela masih saja ada.

Istri Darman dan kedua anaknya pindah ke Kota Kijang karena ada juragan kopi yang menikahinya, separuh kekayaan Darman diserahkan kepada Puspa dan Manto, sisanya dibawa oleh Marni, istri kedua Darman.

Puspa kini menjadi janda yang sangat kaya di desa itu, namun, tidak ada satupun lelaki yang mau menikahinya. Akhirnya wanita itu membayar lelaki untuk memenuhi kebutuhan belaian lelaki. Hasilnya, tiga orang anak pun lahir dari hubungan itu. Putra sulungnya kini berusia sembilan belas tahun dan menikah dengan seorang gadis di desa itu, sedangkan ketiga adiknya masih kecil-kecil.

Semilir angin membawa aroma busuk dan wangi bunga setaman tercium oleh Puspa. Seraut wajah yang terkelupas bagian wajah hingga menyisakan sedikit daging saja. Wajah ketakutan Puspa tergambar jelas.

"Pergi ... Ku mohon, jangan bunuh aku, ingatlah bahwa ini sahabatmu," ujar Puspa memohon.

Wanita itu ketakutan saat Ningsih kembali datang.

"Aku tidak punya sahabat, apalagi pengkhianat sepertimu, hahaha. Matilah!" sergah Ningsih.

Ningsih pun melakukan hal seperti yang sudah-sudah. Wanita culas itu pun mati di hadapan seorang wanita renta, Sukemi.

"Bagaimana, Bu? Menyenangkan bukan? Pasti Ibu senang," ejek Ningsih.

Sosok itu mendekati Sukemi, wajah yang di hiasi belatung yang berebutan melompat keluar itu membuat wanita renta itu ngeri dan ketakutan.

Sukemi menitikkan air matanya dan menggeleng perlahan, bibirnya berusaha mengucapkan sesuatu. Setelah bersusah payah, akhirnya terdengar suara parau.

"Ma-ma-maaf-kan Ibu, aku tahu ka-lau sudah ber-salah kepada-mu," ucapnya lirih terbata-bata.

"Hahahaha, oh ... Manis sekali, namun, aku akan menyiksamu sebelum kematian datang secara alami datang menjemputmu," cibir Ningsih.

Semilir angin berhawa panas datang, disertai suara bisikan, suara daun jendela terhempas dengan sendirinya terdengar berulangkali, kemudian sesosok peri pun datang, lalu menakuti Sukemi sesuai perintah Ningsih.

Rumah Sukemi kini gaduh dengan suara teriakan histeris dan raungan dari istri Wisnu serta adik-adiknya yang menangisi kematian Puspa. Seorang tetangga memanggil Wisnu di ladang.

Wisnu sedang berada di ladang mengawasi pekerja saat kematian ibunya. Ningsih tidak bisa menyentuh Wisnu, anak Marwoto karena seperti ada kekuatan yang melindunginya. Lelaki itu sekarang memiliki agama dan taat beribadah.

"Sudah, hentikan raungan kalian itu. Itu semua akan memberatkan Ibu di alam sana, sebaiknya kita doakan saja," pungkas Wisnu.

Lelaki itu pun memukul kentongan di depan rumahnya dan tetangga mulai berdatangan. Usai membersihkan jasad ibunya, mereka segera menguburkannya karena hari mulai gelap.

Usai dari pemakaman, tidak ada acara di rumah mereka, karena, para tetangga mulai ketakutan untuk keluar rumah. Gumpalan awan hitam bergulung, angin semilir pun mulai merubah kencang.

"Aaaah."

Terdengar suara jeritan dari kamar nenek mereka, wanita tua itu kini tergeletak dan tidak bergerak lagi.

Lagi-lagi kematian beruntun. Wisnu kembali memukul kentongan, namun, tidak ada satupun warga yang datang. Akhirnya, Wisnu dan ketiga adiknya serta istrinya menguburkan neneknya di samping pusara ibunya. Usai memakamkan, mereka kembali.

"Warno, Lisna, Ambar. Terlalu banyak kesedihan di rumah dan desa ini. Bagaimana jika kita pindah ke Kota Kijang bersama Bu De?" usul Wisnu.

"Aku tinggal di desa ini saja, Mas. Bawalah Lisna dan Ambar. Tidak ada yang mengurus semua harta peninggalan orang tua," sahut Warno yang berusia lima belas tahun itu.

"Tidak, kamu juga harus ikut. Begini saja, kita kelola saja semua kebun selama dua tahun, kita kumpulkan uangnya dan mulai usaha di Kota Kijang, bagaimana?" usul Risma, istri Wisnu.

Mereka akhirnya sepakat dengan usul Risma.

Dua tahun berlalu tanpa teror, uang yang mereka peroleh lebih dari cukup untuk hidup mereka selama satu tahun dan untuk modal usaha.

Tanah peninggalan orang tua mereka dibagi-bagikan kepada para pekerja, lalu mereka meninggalkan desa itu.

"Wisnu ... Aku tidak bisa membunuhmu karena kekuatan dari tubuhmu, akan tetapi, aku tetap akan memburu kalian dan keturunanmu."

Wisnu tersentak dari tidurnya. Suara bisikan itu seolah mengancam dan terdengar jelas sekali di telinganya, seakan-akan tepat berada di sampingnya.

"Ada apa, Mas?" tanya Risma.

Wanita itu terbangun saat suaminya tersentak bangun.

"Aku mau menemui bapak besok, kamu ikut?" tanya Wisnu.

"Boleh, Mas. Sudah lama tak berkunjung ke rumah. Tidurlah, pagi masih lama," jawab Risma.

Keesokan harinya, Wisnu berkunjung ke rumah mertuanya dan menceritakan mimpinya semalam.

"Kekuatan sosok pendendam itu bukan main-main. Hanya dari keturunanmu dan seorang lelaki, dari keturunan ningrat yang di segani sosok ini, yang mampu memutus perjanjian laknat itu," jelas Abdul, ayah Risma.

"Kemana aku akan mencarinya Pak? Keturunan siapa lelaki itu?" tanya Wisnu.

Lelaki itu sangat penasaran dan juga antusias untuk memutus kematian keluarganya karena salah jalan dari orang tuanya.

"Sabar ... Waktunya bukan sekarang, sebentar lagi," jawab Abdullah.

Raut wajah kecewa terpancar dari wajah lelaki berparas tampan itu. Abdullah tersenyum lalu menepuk bahunya dan memintanya untuk bersabar.

* * *

Widuri mendengar suara tangisan tak jauh dari jendela kamarnya, gadis yang akan menikah lusa itu pun bangkit dari tempat tidurnya dan membuka jendela mencari sumber suara tangisan yang terdengar pilu.

Tampak seseorang wanita berdiri membelakanginya, memakai kebaya dan kain jarik.

"Mbak, kenapa nangis? Dari mana asalnya? Kok bisa tiba-tiba ada di dekat kamarku?" tanya gadis itu.

Bukannya jawaban, tetapi tangisan semakin menyayat hati. Widuri tetap memandangi sosok itu, tiba-tiba saja, sosok itu memutar kepalanya sehingga menatap gadis itu, sementara tubuhnya tetap membelakanginya.

"Aaaaaa ... " pekik Widuri.

Sosok itu kini sudah berada di depannya. Gadis itu terjatuh dan beringsut mundur menggunakan lengannya.

"Kau harus mati untuk menanggung kesalahan Darman, Ayahmu!" bentak Ningsih.

Suaranya berat dan seperti ada banyak orang yang berbicara dengan kalimat yang sama.

Belum selesai rasa terkejut Widuri, kuku tajam Ningsih sudah menghujam di dada dan mengoyaknya, suara tulang patah pun terdengar, lalu mengeluarkan jantungnya kemudian menyumpal mulut Widuri dengan bagian tubuhnya itu. Tawa melengking pun terdengar.

"Widuri ... Apa yang terjadi padamu, Nak? Tolong!" teriak Marni.

Wanita itu menangis sedih melihat anaknya sudah terbujur kaku dengan keadaan yang mengerikan dan bersimbah darah.

Joko, suami baru Marni pun terkejut dan meminta para pelayannya untuk membunyikan kentongan agar mengurus jasad anak dari istrinya itu.

Wisnu mendengar kabar suka langsung melayat. Saat tiba di depan gapura rumah Joko, dirinya berpapasan dengan seorang wanita cantik berwajah pucat.

"Sepuluh puluh tahun lagi aku akan datang untuk membunuh kalian semua, akan ku beri waktu untuk kalian memiliki keturunan," kata wanita itu berbisik, lalu menghilang.

"Hey .... tunggu, siapa Anda sebenarnya?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Sang Tumbal   Tamat

    Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku

  • Dendam Sang Tumbal   Rencana

    “Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab

  • Dendam Sang Tumbal   Darsima Melatih Fitri

    Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi

  • Dendam Sang Tumbal   Ningsih Datang Lagj

    “Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng

  • Dendam Sang Tumbal   Mengantar Maya

    “Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn

  • Dendam Sang Tumbal   Misteri Maya

    "Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b

  • Dendam Sang Tumbal   Kabar Dari Aidan

    "Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le

  • Dendam Sang Tumbal   Pertanda

    "Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b

  • Dendam Sang Tumbal   Menguburkan Sinta

    "Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status