Share

Duka Beruntun

Pertarungan Darman dan para peri itu berlangsung sengit, yang berakhir dengan Sembolo terluka dan keluar dari tubuh inangnya, yaitu Darman.

Tubuh Darman pun ambruk. Peri-peri itu pun menghilang setelah mendengar suara suitan dari sosok bayangan hitam. Angin pun berhenti, berganti suara yang mirip seperti lolongan.

Sosok Ningsih mendekati Darman perlahan, lelaki itu berusaha menggerakkan tubuhnya agar bisa lari. Ningsih mengangkat tubuh Darman dengan cara mencekiknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang berkuku tajam itu mengoyak dada kirinya mengambil jantung dan menyumpal mulut lelaki itu dengan organ tubuhnya sendiri.

"Aaaaah," teriak Sukemi.

Ningsih melempar tubuh Darman ke arah wanita itu. Seketika tubuhnya ambruk. Aroma busuk dan wangi bunga kembali menguar, suara melengking pun menggema, terdengar hingga ke seluruh desa itu.

Sukemi semakin berduka dengan kematian kedua putranya sekaligus. Wanita malang itu seketika di anggap gila dan warga meminta agar dirawat oleh Puspa menantunya.

"Haih ... Menyusahkan saja wanita gila ini. Mana aku lagi hamil tua seperti ini, untung saja harta yang ditinggalkan anak-anaknya sangat banyak, jadi aku bisa merawat dan bersikap baik padanya," umpat Puspa.

Sukemi meliriknya tajam, lalu memandang kosong. Ada rasa penyesalan di hatinya. Wanita itu ikut andil dalam menyumbang pikiran kepada Marwoto agar menjadikan Puspa sebagai istrinya karena menurutnya sudah berhasil memenangkan hatinya. Padahal, tujuan utama Puspa adalah menikah dengan Darman sebagai istri ketiganya.

Keadaan Desa Dukun Seribu kembali tenang, meski sesekali teror mengetuk jendela masih saja ada.

Istri Darman dan kedua anaknya pindah ke Kota Kijang karena ada juragan kopi yang menikahinya, separuh kekayaan Darman diserahkan kepada Puspa dan Manto, sisanya dibawa oleh Marni, istri kedua Darman.

Puspa kini menjadi janda yang sangat kaya di desa itu, namun, tidak ada satupun lelaki yang mau menikahinya. Akhirnya wanita itu membayar lelaki untuk memenuhi kebutuhan belaian lelaki. Hasilnya, tiga orang anak pun lahir dari hubungan itu. Putra sulungnya kini berusia sembilan belas tahun dan menikah dengan seorang gadis di desa itu, sedangkan ketiga adiknya masih kecil-kecil.

Semilir angin membawa aroma busuk dan wangi bunga setaman tercium oleh Puspa. Seraut wajah yang terkelupas bagian wajah hingga menyisakan sedikit daging saja. Wajah ketakutan Puspa tergambar jelas.

"Pergi ... Ku mohon, jangan bunuh aku, ingatlah bahwa ini sahabatmu," ujar Puspa memohon.

Wanita itu ketakutan saat Ningsih kembali datang.

"Aku tidak punya sahabat, apalagi pengkhianat sepertimu, hahaha. Matilah!" sergah Ningsih.

Ningsih pun melakukan hal seperti yang sudah-sudah. Wanita culas itu pun mati di hadapan seorang wanita renta, Sukemi.

"Bagaimana, Bu? Menyenangkan bukan? Pasti Ibu senang," ejek Ningsih.

Sosok itu mendekati Sukemi, wajah yang di hiasi belatung yang berebutan melompat keluar itu membuat wanita renta itu ngeri dan ketakutan.

Sukemi menitikkan air matanya dan menggeleng perlahan, bibirnya berusaha mengucapkan sesuatu. Setelah bersusah payah, akhirnya terdengar suara parau.

"Ma-ma-maaf-kan Ibu, aku tahu ka-lau sudah ber-salah kepada-mu," ucapnya lirih terbata-bata.

"Hahahaha, oh ... Manis sekali, namun, aku akan menyiksamu sebelum kematian datang secara alami datang menjemputmu," cibir Ningsih.

Semilir angin berhawa panas datang, disertai suara bisikan, suara daun jendela terhempas dengan sendirinya terdengar berulangkali, kemudian sesosok peri pun datang, lalu menakuti Sukemi sesuai perintah Ningsih.

Rumah Sukemi kini gaduh dengan suara teriakan histeris dan raungan dari istri Wisnu serta adik-adiknya yang menangisi kematian Puspa. Seorang tetangga memanggil Wisnu di ladang.

Wisnu sedang berada di ladang mengawasi pekerja saat kematian ibunya. Ningsih tidak bisa menyentuh Wisnu, anak Marwoto karena seperti ada kekuatan yang melindunginya. Lelaki itu sekarang memiliki agama dan taat beribadah.

"Sudah, hentikan raungan kalian itu. Itu semua akan memberatkan Ibu di alam sana, sebaiknya kita doakan saja," pungkas Wisnu.

Lelaki itu pun memukul kentongan di depan rumahnya dan tetangga mulai berdatangan. Usai membersihkan jasad ibunya, mereka segera menguburkannya karena hari mulai gelap.

Usai dari pemakaman, tidak ada acara di rumah mereka, karena, para tetangga mulai ketakutan untuk keluar rumah. Gumpalan awan hitam bergulung, angin semilir pun mulai merubah kencang.

"Aaaah."

Terdengar suara jeritan dari kamar nenek mereka, wanita tua itu kini tergeletak dan tidak bergerak lagi.

Lagi-lagi kematian beruntun. Wisnu kembali memukul kentongan, namun, tidak ada satupun warga yang datang. Akhirnya, Wisnu dan ketiga adiknya serta istrinya menguburkan neneknya di samping pusara ibunya. Usai memakamkan, mereka kembali.

"Warno, Lisna, Ambar. Terlalu banyak kesedihan di rumah dan desa ini. Bagaimana jika kita pindah ke Kota Kijang bersama Bu De?" usul Wisnu.

"Aku tinggal di desa ini saja, Mas. Bawalah Lisna dan Ambar. Tidak ada yang mengurus semua harta peninggalan orang tua," sahut Warno yang berusia lima belas tahun itu.

"Tidak, kamu juga harus ikut. Begini saja, kita kelola saja semua kebun selama dua tahun, kita kumpulkan uangnya dan mulai usaha di Kota Kijang, bagaimana?" usul Risma, istri Wisnu.

Mereka akhirnya sepakat dengan usul Risma.

Dua tahun berlalu tanpa teror, uang yang mereka peroleh lebih dari cukup untuk hidup mereka selama satu tahun dan untuk modal usaha.

Tanah peninggalan orang tua mereka dibagi-bagikan kepada para pekerja, lalu mereka meninggalkan desa itu.

"Wisnu ... Aku tidak bisa membunuhmu karena kekuatan dari tubuhmu, akan tetapi, aku tetap akan memburu kalian dan keturunanmu."

Wisnu tersentak dari tidurnya. Suara bisikan itu seolah mengancam dan terdengar jelas sekali di telinganya, seakan-akan tepat berada di sampingnya.

"Ada apa, Mas?" tanya Risma.

Wanita itu terbangun saat suaminya tersentak bangun.

"Aku mau menemui bapak besok, kamu ikut?" tanya Wisnu.

"Boleh, Mas. Sudah lama tak berkunjung ke rumah. Tidurlah, pagi masih lama," jawab Risma.

Keesokan harinya, Wisnu berkunjung ke rumah mertuanya dan menceritakan mimpinya semalam.

"Kekuatan sosok pendendam itu bukan main-main. Hanya dari keturunanmu dan seorang lelaki, dari keturunan ningrat yang di segani sosok ini, yang mampu memutus perjanjian laknat itu," jelas Abdul, ayah Risma.

"Kemana aku akan mencarinya Pak? Keturunan siapa lelaki itu?" tanya Wisnu.

Lelaki itu sangat penasaran dan juga antusias untuk memutus kematian keluarganya karena salah jalan dari orang tuanya.

"Sabar ... Waktunya bukan sekarang, sebentar lagi," jawab Abdullah.

Raut wajah kecewa terpancar dari wajah lelaki berparas tampan itu. Abdullah tersenyum lalu menepuk bahunya dan memintanya untuk bersabar.

* * *

Widuri mendengar suara tangisan tak jauh dari jendela kamarnya, gadis yang akan menikah lusa itu pun bangkit dari tempat tidurnya dan membuka jendela mencari sumber suara tangisan yang terdengar pilu.

Tampak seseorang wanita berdiri membelakanginya, memakai kebaya dan kain jarik.

"Mbak, kenapa nangis? Dari mana asalnya? Kok bisa tiba-tiba ada di dekat kamarku?" tanya gadis itu.

Bukannya jawaban, tetapi tangisan semakin menyayat hati. Widuri tetap memandangi sosok itu, tiba-tiba saja, sosok itu memutar kepalanya sehingga menatap gadis itu, sementara tubuhnya tetap membelakanginya.

"Aaaaaa ... " pekik Widuri.

Sosok itu kini sudah berada di depannya. Gadis itu terjatuh dan beringsut mundur menggunakan lengannya.

"Kau harus mati untuk menanggung kesalahan Darman, Ayahmu!" bentak Ningsih.

Suaranya berat dan seperti ada banyak orang yang berbicara dengan kalimat yang sama.

Belum selesai rasa terkejut Widuri, kuku tajam Ningsih sudah menghujam di dada dan mengoyaknya, suara tulang patah pun terdengar, lalu mengeluarkan jantungnya kemudian menyumpal mulut Widuri dengan bagian tubuhnya itu. Tawa melengking pun terdengar.

"Widuri ... Apa yang terjadi padamu, Nak? Tolong!" teriak Marni.

Wanita itu menangis sedih melihat anaknya sudah terbujur kaku dengan keadaan yang mengerikan dan bersimbah darah.

Joko, suami baru Marni pun terkejut dan meminta para pelayannya untuk membunyikan kentongan agar mengurus jasad anak dari istrinya itu.

Wisnu mendengar kabar suka langsung melayat. Saat tiba di depan gapura rumah Joko, dirinya berpapasan dengan seorang wanita cantik berwajah pucat.

"Sepuluh puluh tahun lagi aku akan datang untuk membunuh kalian semua, akan ku beri waktu untuk kalian memiliki keturunan," kata wanita itu berbisik, lalu menghilang.

"Hey .... tunggu, siapa Anda sebenarnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status