Share

Di teror Arwah Ningsih

Marwoto melemparkan sesuatu yang berada di telapak tangannya tadi, lalu berdiri di sudut kamarnya. Matanya memandang keliling kamarnya yang remang. Hanya ada satu lampu minyak berukuran kecil di dekatnya berdiri sekarang.

Lelaki itu merapatkan tubuhnya ke dinding kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu itu. Anehnya, ibunya seperti tak mendengar suaranya, padahal, kamarnya tepat berada di sebelahnya. Raut wajah ketakutan tergambar jelas di wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara seperti menggaruk kayu dengan kuku di jendelanya.

Dengan kaki gemetar dan takut, lelaki itu pun menuju jendela dan membukanya. Tidak ada apapun. Saat akan menutup kembali jendelanya, sesuatu menahan jendelanya, Marwoto berusaha menarik nya dengan paksa. Ternyata, tangan tanpa daging sedang menahan jendelanya.

Marwoto jatuh terjengkang, kini, tubuh Ningsih menembus dinding, lalu mendekati dirinya.

"Ah ... Jangan bunuh aku, Ningsih, aku terpaksa, sungguh," ucap Marwoto ketakutan.

Bau pesing pun menguar memenuhi rongga hidung lelaki itu, tentu saja bau itu berasal dari cairan yang keluar dari bagian tubuh Marwoto karena ketakutan.

"Apa kau pikir aku peduli dengan rengekanmu itu? Kau mengkhianati aku dan membunuhku dengan kejam. Sekarang, waktunya kau merasakan hal yang sama!" sergah sosok itu.

Udara mendadak berubah menjadi sangat dingin, seolah ingin membekukan apapun yang dilewatinya. Jangkrik enggan bersuara, hanya burung gagak yang terdengar bersahut-sahutan.

Marwoto beringsut ke belakang menggunakan tangannya, lagi-lagi dia merapatkankan tubuh ke dinding kamar. Suara gesekan dedaunan yang diterpa angin membuat hati semakin ciut. Belum lagi aroma busuk bercampur wangi bunga setaman yang menguar yang tertiup semilir angin.

Sosok itu tertawa melengking, lalu dengan cepat tangannya yang ber kuku tajam itu mengoyak dada lelaki itu lalu mengeluarkan jantungnya dan menjejalkan jantung Marwoto ke dalam mulutnya sendiri.

Mata lelaki itu terbelalak dan tubuhnya diam tak bergerak.

Teriakan histeris dari ibu Marwoto pun terdengar memecah malam yang sunyi. Ibu Marwoto menangis tersedu-sedu, terdengar pilu menangisi kematian putra kesayangannya itu. Suara guruh berhenti, kini hanya terdengar rintik hujan yang membasahi atap rumah penduduk.

"Apa yang terjadi padamu, Nak? Siapa yang berbuat keji seperti ini?" ratapnya.

Suara kentongan terdengar bertalu-talu di desa Dukuh Seribu. Para tetangga pun mulai berdatangan.

Beberapa warga tampak bergidik karena angin malam yang berhembus tanpa permisi. Dinginnya menusuk, hingga harus mengeratkan kain sarung di kepala untuk menangkis angin yang datang.

"Mengapa bisa seperti ini, Bu Sukemi? Ini cara kematian yang aneh sekali," tanya Pak Sugi.

Dia adalah Tetua Kampung Dukuh Seribu. Usai mengucapkan kalimat itu, angin seperti hembusan napas bertiup ke daun telinganya. Sontak saja bulu kuduknya merinding lelaki itu mengusap tengkuk lalu bergidik ngeri.

"Saya tidak tahu, Pak. Saat akan buang air kecil pintu kamar anakku terbuka tidak seperti biasanya, lalu saya melihatnya sudah dalam keadaan begitu." Jawab Bu Sukemi sambil menangis.

Pak Sugi pun mengangguk, entah mengapa perasaannya terus saja tidak enak dan merinding.

"Aku akan membunuh semuanya!" hardik Sukemi.

Pak Sugi terkejut bukan main lalu beringsut mundur. Mata wanita itu tiba-tiba memutih dan suaranya berubah menjadi seperti beberapa orang yang berbicara bersamaan dengan kalimat yang sama.

"Bu, sadar ... " ujar Pak Sugi.

Para tetangga yang melihat itu pun ikut ketakutan, suara burung gagak bersahutan dan semilir angin di sertai suara dedaunan yang bergesekan menambah seram suasana duka itu. Hembusan angin yang datang tiba-tiba hampir saja memadamkan obor yang berada di tangan beberapa penduduk dan lampu yang diletakkan di tengah ruangan.

Satu jam kemudian Darman pun tiba dan meratapi kematian adiknya. Ibunya yang baru siuman mendadak marah dan menyerang putra sulungnya itu.

"Semua ini karena kau. Pasti kau jadikan tumbal adikmu kan? Katakan, dasar kau pengabdi iblis!" tuduh Sukemi.

Darman diam saja tidak ingin melawan wanita yang sudah susah payah melahirkannya. Bahkan ketika sang ibu memukulinya dia diam saja, tidak bereaksi apapun. Sedih, hanya itu yang dirasakannya kini.

Hati Darman sakit sekali dituduh seperti itu. Tidak mungkin dirinya mengungkapkan keadaan yang sebenarnya kepada sang ibu.

Lelaki itu menunduk sedih. Perasaannya campur aduk, ibunya sering kali membedakan perhatian dan kasih sayangnya antara dirinya dengan Marwoto. Alasannya karena wajahnya terlalu mirip dengan ayahnya yang meninggalkan mereka demi wanita lain dari kampung sebelah.

"Darman, kemarilah," panggil Pak Sugi.

Lelaki itu menceritakan kejadian saat sebelum ibunya pingsan. Darman terkejut, benaknya berpikir bagaimana bisa Ningsih merasuki ibunya itu. Padahal Ningsih tidak jelas manusia atau arwah.

Pagi harinya, para warga pun menguburkan jasad Marwoto. Cuaca mendung mengiringi kepergian lelaki yang belum lama menikmati kekayaannya itu. Awan hitam bergulung seolah memberi tanda akan ada duka lainnya.

"Kasian sekali si Puspa. Padahal baru saja mereguk indahnya berumahtangga malah ditinggal mati," ujar salah seorang tetangga.

Angin kembali berhembus, suara ranting patah dan terjatuh pun mengagetkan mereka. Sontak saja mereka mengambil langkah seribu meninggalkan area pemakaman.

Sukemi meminta menantunya istirahat di kamar, karena sedang hamil muda yang kemungkinan berbahaya bagi calon cucunya.

Puspa menurut dan berjalan berjalan gontai menuju kamarnya, karena kelelahan wanita itu tertidur.

Istri Marwoto bermimpi melihat semua tindakan keji suaminya kepada Ningsih, lalu tiba-tiba wajah Ningsih berada tepat di depannya kemudian membuka mulut lebar. Ratusan kelabang dan belatung berebutan keluar dari mulut itu.

"Aaaaah ... " teriak Puspa.

Wanita itu ketakutan melihat penampakan yang menyeramkan dan terjaga dari tidur. Tangannya mengenggam sesuatu yang lunak dan terasa dingin sekali.

"Apa ... Kau bermimpi buruk, Puspa?" ujar seseorang dari arah samping.

"Ka-kau Ningsih?" tanyanya terbata-bata.

Puspa kembali ketakutan melihat tangannya sedang mengenggam tangan Ningsih yang sangat dingin, wajah itu tampak pucat dan rambut berantakan.

Perasaan Sukemi tidak enak dan teringat akan menantunya, Wanita itupun segera memeriksa keadaan Puspa di kamar.

Sesampainya di kamar, Sukemi melihat Puspa tertunduk lalu perlahan mendekatinya. Tiba-tiba saja menantunya itu mengangkat kepala, mata Puspa memutih dan seolah sedang memandang sang mertua.

"Berikutnya adalah kau!" seru Puspa.

Suaranya sama seperti saat Sukemi kerasukan tadi. Aroma busuk bercampur wangi bunga setaman kembali muncul, Sukemi mundur ketakutan sehingga menabrak tubuhnya anaknya, Darman.

"Ada apa, Bu?" tanya lelaki itu.

"Pu-Puspa kesurupan," sahut Sukemi.

Wanita itu memalingkan wajahnya dari menantunya dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Puspa. Darman tidak melihat tanda apapun, karena yang dilihatnya adik iparnya itu sedang tertidur pulas.

"Bu, lihat. Puspa lagi tidur," ucap Darman.

Sukemi pun perlahan menolehkan wajahnya ke arah Puspa, lalu memberanikan diri memandang dari ujung kaki hingga ke arah kepala, tiba-tiba mata Puspa terbuka dan menyeringai mengerikan. Wanita itu kembali terkejut.

"Di-dia menyeringai mengerikan, Darman," kata Sukemi.

Wanita itu menenggelamkan wajahnya di dada putranya itu.

Darman memandang adik iparnya itu, tidak ada yang aneh. Lelaki itu meminta ibunya menunggunya sementara dia mendekati Puspa yang tampak tertidur pulas itu.

Pencahayaan yang mulai redup membuatnya kesulitan melihat dari jarak jauh.

Tiba-tiba, mata Puspa terbuka lebar dengan bola mata memutih lalu bertukar menjadi hitam gelap seperti palung yang kelam, tepat saat Darman mendekatkan wajahnya untuk memastikan keadaannya.

"Aaaah ... " seru Darman.

Lelaki itu terkejut dan jatuh terduduk. Sukemi heran karena dalam pengelihatannya Puspa masih memejamkan mata, mengapa anaknya terjatuh seperti itu?

Perlahan Puspa memutar tubuh dengan kepala masih menghadap ke atas, tangannya kini mencekik Darman. Lelaki itu terengah-engah.

'Sembolo ... Datanglah, tolong aku!' jerit Darman dari dalam hatinya.

Angin kencang disertai petir menyambar berulang kali. Puspa menjerit melengking lalu tubuhnya kembali pada posisi semula dan masih dalam keadaan tertidur.

"Dendam arwah ini bukanlah hal yang bisa kau atasi dengan mudah, buka matamu lebar-lebar, lihat siapa yang kini berada di dekatmu. Grrrrrr," ujar Sembolo.

Darman membaca sebuah mantra sambil memejamkan matanya, kemudian memandang sekelilingnya.

Nyatanya, kini lelaki itu bukan berada di dalam rumah Ibunya lagi namun, berada di bawah jendela kamar Marwoto.

Tampak olehnya beberapa mahluk berjenis peri yang mampu menghipnotis manusia dengan mudah dan memakannya. Wujud sosok itu bertelinga kecil namun lebar menempel ke kulit kepala dengan manik mata hijau dan berambut putih keperakan.

"Kurang ajar, kalian berani menyerangku!" hardik Darman.

Sembolo segera merasuki tubuh Darman dan menyerang semua peri itu. Ternyata bukan hal yang mudah untuk menaklukan peri itu, karena, mereka adalah utusan terkuat dari Jenggala Manik, iblis taklukan sekaligus peliharaan Darsima.

Tiba-tiba saja angin kencang dan suara bergemuruh kembali terdengar, pohon tua mulai berderak seolah akan tumbang. Terdengar suara dari bayangan hitam sambil menunjuk ke arah Darman.

"Bunuh dia."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status