Share

Manto

Manto yang baru saja hendak tertidur, tiba-tiba terdengar bunyi kaca jendela seperti diketuk. Lelaki itu turun dari ranjang dengan malas, lalu menuju arah jendela dan menyibak kain gorden.

"Tidak ada apapun, ganggu aja," ujarnya.

Lelaki itu kembali menuju ranjangnya. Saat akan memejamkan matanya, suara itu kembali terdengar. Manto kesal sekali.

"Hei ... Kalau kau macam-macam, aku akan membunuhmu!" hardik lelaki itu.

Lagi-lagi Manto menuju jendela dan menyibakkan gordennya, tetap tidak nampak apapun, selain aroma busuk mulai menguar. Semilir angin yang datang tiba-tiba membuat bulu kuduknya merinding. Dia mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

Saat akan menutup gorden nampak seraut wajah pucat yang menempel pada kaca jendela dan mulai masuk dengan menembus kaca.

Manto terjengkang ke belakang karena terkejut. Seraut wajah itu menembus jendela secara perlahan, kini sudah lengkap dengan seluruh tubuhnya.

"Pergi kau setan ... Atau aku akan membunuhmu dan kau mati dua kali," usir lelaki itu ketakutan.

Manto adalah putra pertama Darman dengan istri pertamanya. Lelaki garang serta sering bertindak sesukanya itu pun mulai gemetar dan ketakutan, wajahnya mulai pucat sekarang.

Sosok itu seolah berjalan terseok-seok dengan memegang dadanya yang berlubang. Darah mengucur deras dan beraroma busuk, belatung pun berloncatan dari lubang di dadanya itu.

Tiba-tiba angin kencang, kain gorden pun berkibar tertiup angin. Sosok itu menghilang, Manto menghembuskan nafas lega. Lelaki itu berusaha berdiri lalu membalikkan tubuhnya untuk menuju ranjangnya.

"Aaaah ... "

Suara jeritan kesakitan pun terdengar.

Sosok berwajah pucat dengan rambut acak-acakan itu mencengkeram dada kirinya lalu menusukkan kukunya yang tajam dan mengeluarkan jantungnya, kemudian menyumpal mulut lelaki itu dengan jantungnya sendiri.

Suara derit engsel terdengar, pintu terbuka dengan sendirinya dan bergoyang pelan. Seolah baru saja ada orang yang melewatinya.

Pagi harinya, warga desa Dukuh Seribu heboh dengan meninggalnya Manto, kasak kusuk warga yang melayat pun mulai terdengar.

"Tanda kematian ini terjadi lagi, sudah berulang kali, aku rasa sumpah Ningsih bukan isapan jempol belaka," ujar seorang lelaki.

Dua orang lelaki lainnya bergidik ngeri dan memintanya untuk berhenti membicarakan Ningsih. Wajah mereka tampak ketakutan.

Meski masih pagi, suasana mendung dan tampak suram. Awan hitam bergulung seolah tidak mau meninggalkan desa itu.

"Hiii ... Seram sekali, gelap, mana angin kencang seperti ini, jangan ... Jangan ... ," ujar salah seorang pelayat.

"Hus ... Jangan sembarangan bicara," timpal yang lainnya.

Seorang pria paruh baya, meminta agar para lelaki membantu menguburkan jasad Manto segera, karena, keadaan masih saja gelap. Beberapa lelaki mulai membungkus tubuh Manto dengan kain, lalu membawa di dalam tandu menuju ke area pemakaman.

Angin berhembus kencang dengan hawa dingin menusuk tulang. Sesekali pembawa tandu terlihat kewalahan akibat terjangan angin.

Perjalanan menuju area pemakaman berjarak satu kilometer itu terasa sangat lambat. Petir sesekali menyambar seakan lewat tepat di atas kepala mereka. Liang lahat untuk jasad lelaki itu sudah siap. Segera para lelaki memasukkan jasad itu, lalu menguburnya.

"Sebaiknya kita bergegas pulang, alam seperti sedang tidak berpihak kepada kita," ujar lelaki paruh baya tadi.

"Benar, Pak De, kami ketakutan," timpal pembawa tandu.

Akhirnya, pembawa tandu berlarian tunggang langgang terlebih dahulu, keluar dari area pemakaman, hingga kini tertinggal lelaki sepuh itu saja.

Dengan santai, lelaki itu mengambil tandu dan menyeretnya dengan tangan kirinya lalu keluar dari pemakaman.

"Tolong aku," ucap suara wanita lirih dan parau.

"Ningsih, sampai kapan kau akan seperti ini? Kasihan tubuh dan rohmu," jawab lelaki itu.

Suara tanpa wujud itupun menghilang, lelaki itu kembali menyeret tandu.

"Aku akan seperti ini sampai mereka semua mati menerima hukumanku,"

Terdengar suara yang berat dan seperti ada beberapa yang berbicara namun hanya satu suara yang terdengar.

Sosok itu tiba-tiba sudah berada tepat di depan lelaki itu dengan jarak satu jengkal saja. Aroma busuk serta wangi bunga setaman menguar, lalu sosok itu membuka mulutnya lebar, rahangnya seperti terlepas. Ribuan kelabang dan kalajengking berebutan keluar dari mulutnya.

"Pergilah, jika balas dendam memang pilihanmu, ingat ... kau sudah mengorbankan Ibumu, Kakak kandung kakekku," perintah lelaki itu.

"Akan tetapi, aku sudah lelah dengan dendam ini. Aku tidak berada di manapun. Bukan arwah, bukan juga manusia. Tolong aku," ungkap Ningsih.

Suara tangisan melengking pun terdengar di iringi gerimis yang mulai datang. Petir bersahutan.

Lelaki itu melanjutkan perjalanannya dengan menyeret tandu itu, hingga sampai di rumahnya. Petir menggelegar dan hujan deras pun turun. Raungan tangis tanpa wujud pun terdengar pilu dan mengerikan, menambah suasana semakin mencekam.

Pintu rumah penduduk semua tertutup, tidak ada aktivitas apapun di luar rumah. Ladang sepi, bahkan halaman yang biasanya ramai anak-anak mandi hujan pun tidak ada.

"Jangan pernah mendekati jendela jika ada yang mengetuk!" teriak lelaki itu.

Sepanjang jalan, lelaki itu terus menerus berteriak seperti itu, hingga sampai di depan rumahnya.

"Ini bukan salahku, semua ini karena kalian,"

"Hentikan dendammu itu, Ningsih,"

Terdengar suara lembut dari sisi kanan Ningsih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status