Share

Dendam Terbalas Sang Istri Terkhianati
Dendam Terbalas Sang Istri Terkhianati
Author: Kurnia

Bab. 01. Kematianku

“Apa yang mau kamu lakukan?!”

Seorang perempuan di kursi roda menjerit histeris ke arah wanita yang mendorongnya.

“Tentu saja menyingkirkanmu, Kak Elina!”

Melisa kembali tertawa. Kali ini suara tawanya jauh lebih kencang ketimbang sebelumnya.

"Asal kamu tau ya, aku sama Kak Beni sudah berkencan sebelum kalian menikah. Ups! Aku keceplosan. Seharusnya aku gak boleh kasih tahu kamu soal ini. Tapi, berhubung kamu mau mati, jadi gak masalah lah."

Aku tak bisa menahan rasa sakit di hatiku. Sudah cukup dengan kenyataan perselingkuhan adik tiriku dengan suamiku. Ternyata, ada kenyataan lain yang baru aku ketahui.

"Kalian berdua adalah iblis! Bisa-bisanya kalian menipuku!" bentakku kehilangan kendali.

Aku menangis dengan dipenuhi amarah. Kedua tanganku terkepal kuat. Ingin rasanya memukul Melisa, namun apa daya, kelumpuhanku membuatku tidak berdaya.

Aku makin panik saat Melisa sengaja makin mendekatkan kursi rodaku di bibir tebing. Kepalaku menunduk, dan aku bisa melihat jurang yang begitu dalam. Tubuhku seketika bergetar hebat.

"Hentikan! Atau aku bakal teriak!" ancamku.

Aku sedikit merasa lega karena Melisa berhenti mendorong kursi rodaku. Pasti dia takut orang lain melihat tindakannya. Mengingat kita sedang berada di area pertambangan minyak milik keluargaku. Salah, tempat ini bukan lagi milik keluargaku, melainkan sudah menjadi milik Beni, suamiku. Sungguh menjengkelkan.

"Ka Elina mau berteriak? Silakan saja. Toh, ini hari minggu. Semua pekerja tambang sedang libur. Tidak akan ada yang mendengarmu," kata Melisa. "Kasihan sekali, mungkin mayatmu nanti gak bakal ditemukan, soalnya sudah dimakan binatang buas, atau malah membusuk. Iuh! Menjijikkan," ledek Melisa mengeluarkan ekspresi sedih yang dibuat-buat.

Aku hanya bisa diam, dan berdoa di dalam hati. Berharap dewa yang aku sembah menyelamatkan aku dari posisi ini. Jujur saja, aku sangat takut mati.

"Berhubung kita ada di tempat ini, aku bakal ngasih tahu kamu mengenai rahasia ibuku." Melisa mulai berucap kembali.

"Aku tidak peduli! Sekarang cepat pindahkan aku dari sini!" pintaku berteriak putus asa.

Melisa menoyor kepalaku cukup kasar lalu berkata, "Dengarkan aku berbicara terlebih dahulu. Kamu ini dari dulu hobinya memotong pembicaraan orang. Pantas saja Kak Beni lebih memilih aku."

"Beni memilihmu karena kamu sama dengannya. Sama-sama penuh kepalsuan," tandasku sedikit berdesis.

"Bla, bla, bla, ngomong apa sih? Dasar cewek jelek. Yang palsu itu kamu, hidungmu saja hasil operasi."

Melisa menghinaku lagi. Padahal dia tahu kalau aku operasi hidung bukan untuk mempercantik diri, melainkan gara-gara masalah pernapasan.

"Huft aku jadi kesal denganmu. Kalau diingat lagi, semua kemauanmu selalu dituruti ayah. Kalau aku engga, padahal kan ayahmu mencintai ibuku, seharusnya cinta aku juga dong," cerocos Melisa.

Aku hanya mendengarkan Melisa mengomel.

Meskipun ayahku tidak pernah memanjakan Melisa. Tapi, akulah orang yang selama ini menuruti semua kemauan Melisa. Aku bahkan sering membelikan Melisa barang mewah.

"Makanya, waktu tahu Kak Beni naksir aku, aku gak nolak," tambah Melisa.

"Karena kamu orang tidak tahu diri," sahutku menimpali perkataan Melisa.

"Aku tahu diri! Demi bisa menikah dengan Kak Beni, kamu harus mati! Hanya itu satu-satunya cara! Lagian, kamu juga sudah tidak berguna. Untuk apa hidup?" pekik Melisa menggebu-gebu.

Sepertinya aku membuat Melisa geram. Tapi, aku tidak peduli. Semua yang aku katakan murni dari sakit hatiku.

Kedua tangan Melisa kembali menyentuh kursi rodaku. Kali ini aku sudah pasrah bila Melisa mendorongku jatuh. Aku menyerahkan jiwaku pada dewaku.

"Lihat baik-baik tempat ini. Di sini adalah tempat yang sama di mana ibumu mati."

Aku terbelalak mendengar perkataan Melisa.

"Kamu akan mati dengan cara yang sama persis dengan ibu kandungmu. Terjun dari atas tebing, dan hancur di atas tanah tandus," pungkas Melisa. "Kamu pasti bertanya-tanya, dari mana aku bisa tahu? Tentu saja, karena ibuku yang telah membunuh ibumu."

Belum sempat aku menanggapi pernyataan Melisa. Tubuhku telah terdorong ke depan. Aku terjun bebas dari atas tebing yang curam. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Kedua mataku tertutup rapat.

Semua terjadi dengan begitu cepat. Aku berusaha membuka kedua mataku. Tubuhku terasa kaku, aku tidak bisa merasakan apa pun. Air mataku meluncur ketika aku melihat darahku menetes deras membasahi tanah kering.

Sedetik kemudian aku berteriak keras merasakan sakit luar biasa di perutku. Ternyata baru aku sadari, tubuhku menancap pada dahan kering, pantas saja kepalaku berjarak beberapa senti dari tanah.

Lama dalam posisi itu, seorang pria mendekat ke arahku. Pria itu menarik rambutku, dia ingin melihat wajahku yang pucat.

Sayup-sayup, dengan mataku yang masih bisa terbuka sedikit, aku melihat wajah tampan suamiku.

"Be... Ni...." panggilku lirih. Tenggorokanku rasanya sangat kering sehingga suaraku tercekat.

"Hebat juga, kamu masih hidup. Tapi, tenang saja. Aku akan mengakhiri penderitaanmu. Pasti perutmu sangat sakit kan?"

Setelah mengatakan kalimat itu, dengan kasar Beni menghempas kepalaku. Pria itu meraih tongat besi yang sebelumnya telah dia letakkan di atas tanah.

Tanpa basa-basi, Beni melayangkan besi itu ke arah kepalaku. Aku bisa merasakan sakit yang begitu luar biasa pada kepalaku. Kemudian, aku tidak merasakan apa pun lagi.

"Mati kamu! Mati!"

***

"Kakak bangun!"

Suara teriakkan seseorang membangunkanku. Kepalaku menoleh ke pemilik suara cempreng itu.

Seluruh tubuhku tiba-tiba terasa kaku saat aku melihat wajah cantik adik tiriku, Melisa.

"Kakak gimana sih? Sudah pakek make up malah tidur! Sebentar lagi acara pernikahan, Kakak bakal dimulai."

Aku hanya terdiam, mencoba untuk mencerna situasi. Maksudku, aku baru saja meninggal kan? Apa aku hanya mimpi? Memimpikan masa depan dengan begitu gamblang? Aku rasa tidak mungkin.

Ketika Melisa ingin menyentuh pundakku, aku otomatis menghindar. Aku langsung berpindah tempat. Aku sangat terkejut mengetahui diriku bisa berjalan.

"Aku gak lumpuh?" ucapku refleks melihat kakiku sendiri.

"Kakak kenapa? Apanya yang lumpuh?" tanya Melisa menatapku aneh.

Aku balik menatap tajam ke arah Melisa. Ketika aku ingin menekan Melisa, aku membungkam bibirku rapat.

"Kakak?" panggil Melisa lirih.

Aku berusaha keras menampilkan senyuman di wajahku.

"Hari ini, hari pernikahanku kan?"

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status