“Kamu sejak datang sama Nisa gak kedengeran suaranya, Nay. Jadi Aulia nyuruh aku buat ngecek ke sini,” jelas pria yang beberapa saat lalu mengetuk pintu rumah tanpa memanggil.
Aku masih bersandar pada pintu sambil mengatur napas, detak di dada masih saja riuh karena kekhawatiran yang sempat menguasai. Bukankah sewajarnya Kak Ijul mustahil berani mendekat karena aku tak sendirian?
“Kenapa gak dipanggil aja? Kakak bikin takut!” sungutku menekuk wajah.
Kak Makmur hanya merespon dengan tawa. Nisa yang kupikir akan segera keluar setelah berganti pakaian malah sama sekali tak terlihat. Beberapa kali, aku menengok ke belakang untuk memastikan tapi pintu kamar masih saja dalam keadaan sama, yaitu terkunci dari dalam.
“Nay, kamu masih belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Kak Makmur.
“P-pertanyaan yang mana, Kak?” Mendadak, lagi, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tercermin dari getar pada kedua tanga
“Ibu sudah bilang jangan main keluar, masih aja bandel! Mau kamu apa? Melawan orang tua? Jadi anak durhaka?” cecar wanita yang telah melahirkanku delapan tahun lalu itu. “Tapi, Bu. Nay cuma ke rumah Riska. Nay cuma ikut liat aja,” sahutku menunduk. Tubuh terlalu gemetar hanya untuk mengangkat wajah dan menatap Ibu. “Gak ada tapi-tapi! Kamu itu harus dengerin apa kata orang tua! Mau jadi apa masa depan kamu kalau ngelawan terus!” Sebuah cubitan sepedas gigitan semut api kembali singgah di lengan kananku. Meski sakit, aku bahkan tak berani mengusap sisa jejak cubitan itu. “Sudah belajar sana! Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas, kerjanya main aja terus! Coba lihat kakak kamu, dia rajin belajar makanya bisa juara satu tiap semester. Di mana-mana anak orang mau nurut sama omongan ibunya, cuma kamu yang bandel!” Langkah Ibu yang berpaling menuju kamar meninggalkanku sendiri di depan pintu. Setelah memastikan Ibu benar-benar telah memasuki kamar, b
Mataku masih terasa berat karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Pertengkaran Ayah dan Ibu membuatku hanya berani pura-pura tidur di balik selimut tanpa benar-benar terlelap. Hingga pagi pun suasana rumah terasa asing karena tak ada percakapan sedikit pun di antara mereka. Ibu mengurung diri di dalam kamar dan hanya ke luar saat hendak mandi, sedang Ayah menyibukkan diri dengan menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.Saat aku menyalami tangan Ibu untuk berpamitan pergi ke sekolah pun, ucapanku hanya dijawab dengan dehaman serta uluran tangan yang terkesan terpaksa. Meski begitu, aku tak berani bertanya apalagi protes dengan sikap Ibu.Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku segera turun dari sepeda motor Ayah. “Nay sekolah dulu, Yah.”“Kalau pulang nanti Ayah belum datang, tunggu aja. Jangan ke mana-mana, jangan pulang jalan kaki,” pesan Ayah yang bahkan tak melihat lagi pada anggukanku karena telah memutar sepeda motornya dan beranjak me
Aku menunduk dengan tangan memilin ujung jilab. Hani yang diminta ke luar membuatku hanya tertinggal berdua dengan Bu Wati. Ruang bimbingan konseling yang berada di sudut kanan kantor ini sebenarnya memiliki satu kipas yang terpasang di tengah-tengah antara pembatas ruangan. Namun, aku malah merasa tidak nyaman hingga berkeringat.“Nayla,” panggil Bu Wati yang membuatku sedikit mendongak meski gemetar hebat.Gerak tangan gemuk itu melepas kacamata yang sempat bertengger pada hidung mancungnya. “Ada yang mau diceritakan sama Ibu?”Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil menggeleng.“Kalau Nayla gak cerita, Ibu gak bisa bantu Nayla,” bujuk Bu Wati.Aku masih hanya berani menggelengkan kepala.“Nayla takut? Ibu gak menggigit, lho,” canda beliau yang berhasil membuatku menahan senyum.“Ibay sering nakal sama Nayla? Sering ganggu Nayla?” Pertanyaan itu kembali dilontarkan. Aku ta
“Kamu bikin masalah apa di sekolah?” Ibu melemparkan surat panggilan yang sudah diremas hingga tepat mengenai wajahku.“Nay gak ngapa-ngapain, Bu. Nay juga gak tau,” sahutku hampir-hampir tak bisa mengeluarkan suara dengan benar.“Nanti Ayah yang pergi ke sekolah. Kecil-kecil udah bikin malu, gimana besar nanti? Nyusahin aja.” Ibu berpaling dan melangkah menuju kamar.Meski berat, kulangkahkan kaki turut ke kamar Kak Nila untuk mengambil seragam. Sudah sejak kemarin aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberikan amplop itu pada Ibu, tapi tetap saja aku begitu gemetar saat menyerahkannya.Kak Nila yang telah selesai mandi membuatku bergegas menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Rasanya ingin cepat-cepat pergi ke sekolah karena aku benar-benar takut dengan kemarahan Ibu jika berlama-lama di rumah.Tak perlu waktu lama, kurang dari lima menit aku telah memakai seragam rapi, segera mengambil tas dan bersa
Kaki terasa begitu berat untuk berjalan. Sejak keluar dari ruang bimbingan konseling, waktu malah berlalu sangat cepat. Aku tak bisa berkonsentrasi selama belajar. Semakin sering melirik ke arah jam, tetap saja tak ada yang berubah dan sekarang bel pulang sudah berbunyi saja.Di seberang jalan, Ayah yang selalu menjemputku telah menunggu. Jika murid-murid lain bersemangat pulang dan berhamburan keluar gerbang dengan berlarian, aku malah ingin melangkah sepelan mungkin.Aku takut pulang. Aku takut kembali ke rumah. Ayah dan Ibu pasti akan marah besar.Benar saja, sepanjang jalan Ayah hanya diam tanpa mengucapkan apa pun. Padahal biasanya paling tidak Ayah akan mengajak sedikit bercanda.Sepeda motor yang dikendarai Ayah akhirnya berhenti di halaman. Setelah turun, kulangkahkan kaki menuju rumah dengan kepala menunduk. Pandangan hanya berani kuarahkan pada gerak kaki. Di dalam hati, aku menghitung langkahku sendiri.Baru selangkah aku memasuki pintu
Aku hanya berkata pada Bu Wati kalau Ibu seringkali sibuk hingga tak mendengarkanku saat bercerita. Tapi, Ibu marah besar dan terus menuduhku kalau terus mengatai Ibu dan Ayah jahat.Jika tak mendengarkan orang lain saat bercerita artinya telah berbuat jahat, kenapa tak ada satu pun yang mau mendengarkanku? Kenapa aku hanya dimarahi saat menyampaikan sesuatu?Pertanyaan demi pertanyaan itu terus mengusikku sejak kemarin. Kalau tak ada yang mendengarkan, ke mana aku harus bertanya?Sepeda motor yang dikendarai Ayah lagi-lagi telah sampai ke sekolah.“Kalau ketahuan uang jajannya buat teman lagi besok gak Ayah kasih uang. Pulang sekolah nanti Ayah tanyain ke temen-temen sama guru!” ancam Ayah setelah aku turun dan ingin menyalami.Aku hanya mengangguk menatap sepeda motor itu telah berpaling dan meninggalkan dengan kecepatan sedang.Kuempaskan napas panjang. Tak hanya Ayah, Ibu bahkan mengancam tak boleh makan siang di rumah kalau
Tahun-tahun berlalu dengan hal-hal yang selalu sama. Semua terasa datar, biasa saja, dan tak ada yang istimewa. Sejak hari itu, Hani berubah. Aku tak pernah tahu alasannya menjauh, aku juga tak pernah berani menanyakannya. Kami hanya bertegur sapa seperlunya lalu seperti tak pernah dekat. Aku duduk memandangi rapor kenaikan ke kelas enam yang baru saja dibagikan. Setelah selama ini hanya berhasil mendapat juara dua, akhirnya aku bisa duduk pada juara pertama. Rasanya tak sabar ingin menunjukkan pada Ibu dan Ayah agar mereka tak hanya menyebut dan membanggakan Kak Nila. Satu per satu murid lain mulai meninggalkan sekolah. Dari yang dijemput hingga berjalan kaki bersama. Sedang aku, Ayah pasti akan marah kalau mengetahui pulang jalan kaki. Ayah bilang pasti akan menjemput, jadi walau lama aku harus tetap menunggu saja. Hingga sekolah benar-benar sepi dan hanya aku yang tertinggal sendiri, Ayah masih saja belum datang. Rasa basah yang tiba-tiba dari dala
“Nay, buka pintunya!” Suara milik Kak Nila.Lekas aku menyeka air mata dan berdiri meski nyeri masih meliputi. Namun, baru saja pintu toilet terbuka tampak jelas raut wajah Kak Nila yang sedang marah.“Kenapa sih nangis pake teriak-teriak segala? Kamu bikin malu aja. PMS doang, gak sakit, kan? Dasar lebay!” omelnya sambil menyodorkan kantong plastik hitam.“T-tapiii ….” Belum tuntas aku mengucapkan satu kata, Kak Nila sudah menutup kembali pintu toilet.“Itu pembalutnya udah dipasangin Ibu di celana dalam kamu. Jadi gak usah dimacam-macamin. Buruan. Kalau kelamaan kutinggalin biar kamu pulang sendirian,” titahnya lagi dari luar meski dengan suara yang kali ini lebih pelan.Dengan terpaksa aku hanya menurut. Mengganti rok serta celana dengan yang telah dibawakan Kak Nila, kemudian membungkus yang kotor ke dalam kantong plastik. Selesai itu, aku mencuci muka terlebih dahulu sebelum membuka